01 Oktober 2010

Djenar dan Hasrat Sastra Bogor

Dalam sebuah perbincangan ringan yang digelar BEM Sastra Universitas Pakuan, Sabtu (27/6) kemarin, penulis novel Mereka Bilang Saya Monyet (MBSM) Djenar Maesa Ayu membongkar sebuah konsepsi bahwa menulis tak memerlukan konsep dan teori sastra (literasi.red). “Menulis itu jangan dibebani teori-teori literasi. Itu malah menjebak dan mengurung kreativitas penulis membongkar kata,” kata Djenar kepada peserta Talkshow Sastra bertajuk Jadi Remaja Multi Talenta Lewat Sastra.

Menurut dia, menulis itu satu pekerjaan mudah yang membutuhkan ketekunan. Sebab, menulis merupakan satu upaya menggabungkan dari apa yang dilihat, didengar dan dirasa. “Inilah yang menjadi alasan bagi saya untuk mengurangi penggunaan teori dalam proses menulis,” ungkapnya.

Putri almarhum Sjuman Djaya dan Tutie Kirana itu, terlihat lugas ketika menyampaikan proses kreatif yang selama ini diterapkan. Namun sayang, kehadiran ibu dari Banyu Bening dan Bidari Maharani tersebut kurang direspon. Ini terlihat dari minimnya pertanyaan mendalam yang ditujukan kepadanya.

Pertanyaan yang diajukan terkesan normatif dan tak memperlihatkan background sastra yang mayoritas pesertanya mahasiswa sastra. Bisa jadi, ini akibat dari minimnya ruang apresiasi dan diskusi di kalangan mahasiswa atau kalangan pecinta sastra di Bogor. Jika asumsi ini benar, maka sungguh menyedihkan.

Djenar yang terbiasa menulis novel-novel berbau seks kurang mendapat rentetan pertanyaan yang membuat penulis kumpulan cerpen Jangan Main-main (Dengan Kelaminmu) tersebut gelagapan. Djenar memang jago menulis. Tapi untuk pengetahuan teori sastranya barangkali kurang. Buktinya, Djenar mengakui kalau proses kepenulisan sejumlah novelnya jauh dari teori sastra. “Saya akui kalau sejumlah tulisan lahir dari rasa dan bukan teori,” ujarnya.

Di sinilah seharusnya peran mahasiswa sastra mengetahui lebih jauh ihwal proses kreatif Djenar. Tapi rupanya, ratusan peserta talkshow sastra hanyut dan terpesona dengan penampilan dan cara tutur Djenar.

Kendati demikian, ada hal-hal yang patut diacungi jempol dari event tersebut. Di tengah minimnya apresiasi karya sastra di Bogor, BEM Sastra Unpak mampu eksis dan menunjukkan diri sebagai salah satu organisasi kemahasiswaan yang memiliki kepedulian terhadap perkembangan sastra, khususnya di Bogor.

Maman S. Mahayanan M.Hum yang ditunjuk sebagai moderator talkshow mengaku miris melihat minimnya apresiasi sastra di Bogor. Terkait dengan acara yang digelar di Auditórium Unpak tersebut, Maman menilai ada satu upaya yang harus dijaga konsistensinya. “Bogor itu minim ruang apresiasi sastra. Acara ini harus terus dikembangkan ruang lingkupnya. Sehingga, Bogor bisa menjadi barometer penulis-penulis Indonesia untuk berdiskusi dengan pecinta sastra di Bogor,” kata Maman kepada Jurnal Bogor, kemarin.

Keinginan Maman membangkitkan iklim bersastra di Bogor patut disambut. Paling tidak, dengan adanya Fakultas Sastra Unpak, karya sastra dapat menempati tempat yang layak dan semestinya. Semoga.

1 komentar:

Triyanto mengatakan...

teori-teori baku sering kali "memenjarakan" penulis untuk menjadi "liar"