Maraknya pentas kemasan wisata, seperti tari-tarian di Bogor adalah satu indikasi bahwa program pariwisata, khususnya wisata budaya, berhasil. Namun, keberhasilan tersebut masih bersifat kuantitatif. Kualitas dan prospeknya di masa mendatang masih perlu digali lagi. Tampaknya, keberhasilan tersebut tak lepas dari peranserta pelbagai pihak dalam pengemasan wisata budaya, seperti seniman dengan pengelola pertunjukan wisata (café, restoran dan hotel).
Bogor sebagai salah satu kota tujuan wisata telah mengantisipasi kehadiran wisatawan dengan membuka pelbagai tempat pertunjukan konsumsi wisatawan, salah satunya di Café dan Resto Gumati, Jalan Paledang, Kota Bogor. Di tempat ini, hampir setiap malam Minggu atau Sabtu malam menyajikan pelbagai pementasan, khususnya tari-tarian tradisional. Rupanya, geliat seperti ini sudah menjadi salah satu alasan mengapa Café dan Resto Gumati selalu ramai dikunjungi wisatawan manca dan dalam negeri. Terlepas dari menu makanan yang disediakan dan pemandangan yang elok, yakni Gunung Salak.
Ada beberapa poin plus yang dapat diambil dari pentas kemasan yang sering digelar di luar ruangan, tepatnya di dekat kolam. Pertama, latar belakang Gunung Salak sangat mendukung suasana pementasan. Dan yang kedua, pencahayaan yang langsung ditujukan ke air di atas kolam. Sungguh capaian estetis yang memesona.
Dalam konteks pementasan tari tradisional, pertunjukan tersebut jelas memberi dampak positif terhadap upaya pelestarian kebudayaan lokal yang kini tengah digerus modernitas. Maurice Duverger mengatakan bahwa tidak ada generasi yang puas dengan mewariskan seni yang diterimanya dari peninggalan masa lalu. Oleh sebab itu, setiap generasi berusaha membuat sumbangannya sendiri.
Sejalan dengan teori di atas, keberadaan tari-tari tradisional di pelbagai tempat di Bogor harus dipikirkan masa depannya, terutama dalam menghadapi persaingan dengan budaya-budaya barat yang lebih mudah diterima oleh sebagian besar generasi muda.
Di zaman modern ini, nilai-nilai tradisional sangat sulit dipertahankan. Pola tradisional yang statis tidak lagi relevan dengan situasi zaman yang selalu berubah-ubah. Sajian tari tradisi, seperti Jaipong di panggung terbuka Café dan Resto Gumati mau tak mau harus berkejaran dengan pelbagai tampilan budaya-budaya modern yang tampil tak kalah garang dengan tari tradisional.
Di satu sisi, ini tantangan seniman tradisi untuk memertahankan kearifan lokal. Di sisi lain, mau tak mau, pemilik dan pengelola tempat-tempat yang masih menyajikan tari-tari tradisi harus memberikan porsi lebih kepada seni pertunjukan tradisi. Ini yang musti segera digarap. Tentunya, hal ini membutuhkan kreativitas seniman dalam mengemas seni pertunjukan.
Menurut Umar Kayam, seni sebagai bagian dari kebudayaan adalah salah satu unsur penyangga kebudayaan. Dengan demikian, kesenian atau seniman harus mengerti situasi masyarakat penikmatnya. Selain itu, pengelola tempat wisata harus dapat menempatkan sajiannya sebagai suatu cermin dari perkembangan budaya yang terjadi. Jadi seni tradisi tak hanya berperan sebagai media hiburan semata, seperti yang banyak terhadi di pelbagai tempat di Bogor.
Tak hanya Café dan Resto Gumati saja yang banyak menampilkan seni tradisi, khususnya tari-tarian. Dan jika ini terjadi di banyak tempat dan dilakukan berulang-ulang, maka akan muncul tradisi baru yang sebelumnya tak pernah terjadi.
Sistem bergilir yang acapkali digunakan pemilik café dan restoran serta hotel, sangat memungkinkan munculnya karya-karya baru dan seniman-seniman baru yang nantinya akan mewarnai wajah-wajah kesenian di Bogor. Dan ini juga menjadi salah satu upaya pelestarian seni tradisi yang ada di Bogor. Dalam pementasan yang digelar, konsep penghadiran sajian disarankan yang tidak membahayakan keberadaan seni tradisional. Kreativitas seniman memang tak dibatasi. Tapi, demi tegak dan utuhnya kebudayaan lokal, seniman diminta tetap menghormati peninggalan-peninggalan leluhur.
Sebagai produk wisata yang berbeda dari produk cenderamata (Soeprapto Soejono), produk seni pertunjukan lebih kompleks keberadaannya. Di sinilah dibutuhkan seniman dan pengelola yang intens memertahankan nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki. Khusus untuk seni pertunjukan yang masih memiliki nilai kesakralan, seniman diminta tak mengihilangkan semua unsur kesakralan tersebut. Melainkan, memodifikasinya sedemikian hingga agar penikmat tak terjerumus ke dalam hal-hal yang berbau mistik.
Dengan adanya seni tradisi di pelbagai tempat, seperti café, restoran dan hotel, nilai kearifan lokal yang tak ada di tempat manapun akan tetap kokoh berdiri. Meski kerap mendapat serbuan dari budaya modern yang lebih mengedepankan fleksibilitas daripada mengedepankan pendekatan humanis, seperti yang terlihat dari tari-tari tradisional.
Sekali lagi, kita menaruh beban berat di pundak para seniman agar tetap memertahankan nilai-nilai kearifan lokal di tengah era globalisasi tersebut. Dan acungan jempol, pantas diberikan kepada tempat-tempat yang masih sudi menampilan ragam budaya nusantara. Entah dengan alasan apapun itu. Sebab yang terpenting adalah lokalitas seni tradisi tetap utuh terjaga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar