18 April 2009

Sastra dan Masyarakat

Sebagai simbol verbal, karya sastra dalam hal ini puisi memiliki andil besar di dalam masyarakat. Dituliskan Kontowijoyo dalam bukunya yang berjudul Budaya dan Masyarakat (2006), andil besar sastra dalam masyarakat di antaranya sebagai cara pemahaman (model of comprehension), perhubungan (mode of communication), dan cara penciptaan (mode of creation).

Menurut dia, obyek karya sastra adalah realitas. Dari sini tampak jelas bahwa tugas sastrawan dalam kasus ini penyair harus mewartakan realitas dalam bentuk puisi yang bagi Gaston Bachelard dalam buku Poetics of Space, suatu realitas adalah sebuah kawasan yang terkait dengan pikiran, tindakan, ingatan, dan mimpi. Artinya, tafsiran realita yang diinginkan masyarakat adalah sesuatu yang hadir dari gagasan yang mampu menggerakkan.

Melihat upaya yang dilakukan ruang 8 Jurnal Bogor, Komunitas Menulis Bogor dan Komunitas Gubuk Kata dalam acara bertajuk Sastra Bulan Genap, Minggu (12/4) di Aula Radio Sipatahunan, pantas bagi kita untuk memberikan apresiasi setinggi-tingginya terhadap proses penyadaran masyarakat.

Penyair sekaligus pemerhati lingkungan dan sosial Eka Budianta mengatakan, menjadi penyair berarti tidak tinggal diam, melainkan ikut terlibat dalam menyelesaikan masalah di masyarakat, merasakannya, berpikiran bersama untuk dan tentang masyarakat.

Sastra Bulan Genap menjadi sebuah simbol verbal yang akan diberikan kepada masyarakat, baik pecinta atau pemerhati sastra maupun masyarakat awam bahwa karya sastra harus mendapat tempat yang layak dan semestinya.

Dari acara yang menghadirkan Dadan Suwarna (Dosen Sastra Universitas Pakuan) dan Cunong N. Suraja (Pemerhati Sastra dan Dosen Universitas Ibn Khaldun Bogor) sebagai pembicara maka tampak jelas jika generasi muda memiliki gairah menghidupkan sastra di Bogor yang sejauh ini terlihat loyo dan ngos-ngosan.

Loyo dan tak adanya ruang apresiasi karya sastra terutama puisi menjadi sebuah dasar bahwa apa yang disampaikan Kuntowijoyo belum sampai. Pun dengan adanya Fakultas Sastra di Bogor belum mampu memberikan warna dan tanda-tanda untuk menggerakkan masyarakat. Tentunya mereka (mahasiswa dan dosen sastra.red) punya alasan sendiri dalam hal ini.

Jean-Francois Lyotard menilai, apa yang penting dalam sebuah teks (sastra-puisi) bukanlah maknanya, tetapi apa yang dikerjakan dan ingin dikerjakannya, beban pengaruh yang dikandung dan ditransmisikan.

Acara yang juga menghadirkan komunitas lintas sastra, seperti Arisan Teater, Low Rider, Majalah Arti (grup Jurnal Bogor), Candle Light Dinner (grup musik akustik) dan Clarinet feat Indri (kelompok jazz) menjadi bukti bahwa eksistensi sastra mulai bisa diterima masyarakat. Meski baru kali pertama menggelar acara Sastra Bulan Genap, paling tidak bola salju itu siap menggelinding.

Melihat acara Sastra Bulan Genap, seolah mengingatkan kepada apa yang pernah dituliskan Friedrich Wilhelm Nietzsche dalam bab Mengapa Aku adalah Takdir. Dengan tegas Filsuf Jerman ini mengakui, ‘Aku tahu takdirku…aku bukan seorang manusia, aku sebuah dinamit…’. Jika dikembalikan ke konteks sastra dan masyarakat, maka Sastra Bulan Genap adalah dinamit yang siap memberikan ledakan dahsyat di tengah-tengah masyarakat yang lelap dan latah budaya.

Jika kita percaya bahwa sastra sebagai sistem simbol mempunyai kaitan erat dengan sistem sosial yang melahirkannya, maka kita akan temukan bahwa mempelajari sastra dari segi intelektualnya sama dengan mempelajari kesadaran masyarakat.

Sebagai potret masyarakat, sastra mampu memberikan landasan penilian tentang apa yang sedang terjadi. Hubungan langsung atau tak langsung antara karya sastra sebagai sistem simbol dan sistem sosial dalam arti ketergantungan dan ketidaktergantungannya, menentukan apa yang dinamakan arah (Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, 2006).

Semoga Sastra Bulan Genap menjadi titik awal penemuan arah kesusastraan di Bogor. Sekaligus membuka babak baru seni budaya di kota hujan ini. Lantas tugas masyarakat? Berilah apresiasi dan semangat agar seni budaya khususnya sastra tetap eksis di tengah serbuan budaya populer yang mulai meracuni generasi muda. Lantas tugas akademisi dan seniman (sastrawan.red)? Teruslah berproses mencipta karya kreatif dan memberikan edukasi bahwa sastra sangat erat hubungannya dengan masyarakat.

Dony P. Herwanto

Dimuat di Jurnal Bogor Edisi Minggu, 19 April 2009 di Rubrik Jendela Halimun