02 Januari 2011

Taman Budaya Bogor?

Oleh: Dony P. Herwanto

Wacana pembangunan Taman Budaya di Kota Bogor masih relevan diperbincangkan. Kenapa? Sebab – ini rahasia umum – seniman kota ini, yang tergabung dalam Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kota Bogor (DK3B) turut mengantarkan Diani Budiarto menduduki – lagi – jabatan Walikota Bogor untuk periode kedua. Dan tak sedikit seniman Kota Bogor mencoblos gambar Diani kala pemilihan kepala daerah 2009 silam.

Permintaan mereka – seniman-seniman itu – tak lain dan tak bukan adalah adanya ruang apresiasi. Artinya – jika Diani mau menjabarkan maksudnya – seniman Kota Bogor, dari disiplin apapun meminta dibangunkan gedung yang khusus menampung kreativitasnya, semacam Taman Budaya. Gedung Kemuning Gading yang selalu diusulkan untuk dijadikan tempat pertunjukan, belum mampu menjawab kebutuhan seniman Kota Bogor.

Dan untuk melegalkan Gedung Kemuning Gading, pemerintah membuatkan kantor – entah siapa yang meminta dibuatkan – DK3B itu. Secara simbolik, jika kantor DK3B ada di Kemuning Gading, itu berarti gedung yang berada di kompleks perkantoran Pemerintah Kota Bogor itu sekaligus ‘bisa’ dijadikan atau disebut ‘Taman Budaya’. Sungguh aneh jika berfikir demikian. Dan itu nyata terjadi di kota yang hingga sekarang belum memiliki gedung kesenian yang representative.

Saya ilustrasikan Taman Budaya Bali: Sebuah patung Kumbakarna berukuran tinggi sekitar lima meter, hasil sentuhan tangan terampil seniman I Wayan Nyungkal asal Desa Tegallalang, Kabupaten Gianyar, menjadi salah satu hiasan halaman Taman Budaya Bali. Kehadiran patung Kumbakarna tersebut sekaligus menjadikan Taman Budaya Bali sebagai sebuah percontohan bagaimana sebaiknya sebuah taman budaya dibangun yang sesuai dengan impian para seniman.

Taman Budaya Bali berlokasi di jantung Kota Denpasar, dibangun di atas lahan seluas 6,5 hektar. Pelbagai bentuk kesenian rutin ditampilkan di sana. Tak ayal, tiap akhir pekan, masyarakat Bali maupun wisatawan kerap kali berbondong-bondong memadati area Taman Budaya tersebut. Akses menuju Taman Budaya Bali pun terbilang mudah.

Lantas, bagaimana dengan Kota Bogor? Apakah pemerintah Kota Bogor sudi membangun Taman Budaya Bogor sebagai salah satu wujud kepedulian terhadap pelestarian kesenian dan kebudayaan? Jika mau, lantas siapa atau lembaga apa atau dinas apa yang akan mendapatkan proyek pembangunan Taman Budaya Bogor tersebut?

Jika amanah itu diberikan kepada DK3B, sudah mampukah lembaga kesenian Kota Bogor itu mengelolanya? Sanggupkah, lembaga yang dipimpin Sambas Bratasondjaja itu membangun Taman Budaya Bogor yang bercirikan seni budaya setempat?

Jika diberikan kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bogor, siapkah mencarikan lahan sekitar 6,5 hektar, seperti yang ada di Bali? Siapkah menerima kritik atas pengelolaan dananya? Sebab, ini proyek yang menguntungkan. Tak cukup ratusan juta membangun Taman Budaya Bogor, lengkap dengan fasilitas dan pelbagai ornament yang mencirikan seni budaya setempat.

Kepemimpinan Diani sebagai Walikota Bogor memang tinggal dua tahun lagi. Artinya, masih banyak waktu bagi seniman-seniman Kota Bogor mendesak Pemerintah Kota Bogor memenuhi janjinya, membangun ruang apresiasi, Taman Budaya Bogor.

Jika elit kekuasaan kota ini peka, posisi Kota Bogor sangat menguntungkan. Dengan makin ruwetnya Jakarta, Kota Bogor mampu menjadi magnet bagi wisatawan. Wisata kuliner dan wisata belanja sudah tak diragukan lagi. Kota Bogor menjadi salah satu kota tujuan orang-orang Jakarta untuk berakhir pekan.

Kondisi Jakarta yang sudah macet, sumpek memungkinkan Bogor menjadi peralihan dari berbagai kegiatan seni di Indonesia. Seperti yang diimpikan para seniman Kota Bogor. Taman Budaya itu kelak bisa menjadi pusat kesenian di Indonesia. Ini bukan mimpi, tapi melihat peluang yang ada.

Terlepas dari itu semua, jika Taman Budaya Bogor berdiri, harus sejak dini dipikirkan tentang pengelolaan Taman Budaya tersebut. Bangunan itu tidak akan ada artinya jika tidak dikelola oleh tangan yang kreatif dan minat yang tinggi dalam pembangunan budaya dan kreativitas di Bogor.

Pemerintah harus berani keluar dari mainstream, menunjuk orang-orang yang betul -betul ahli agar Taman Budaya Bogor nantinya fungsional dan harapan seniman agar taman budaya ini menjadi pusat budaya terwujud. Jika tidak, Taman Budaya Bogor akan menjadi sarang ‘penjahat’ yang mengganggu masyarakat dan seniman itu sendiri. Begitu.

Reaksi dan Traumatik

Oleh : Dony P. Herwanto

Naluri-naluri dan segala jabarannya dapat dijajarkan sebagai pasangan-pasangan yang bertentangan, seperti hidup-mati, benci-cinta dan perbuatan-pasivitas. Kalau salah satu dari naluri-naluri menimbulkan kecemasan dengan mengadakan tekanan terhadap ego, baik langsung maupun melalui perantara superego, ego dapat mencoba untuk mengalihkan impuls yang ofensif itu dengan memusatkannya terhadap lawan.

Sigmund Freud mencontohkan, kalau perasaan benci orang lain, ego dapat mendorong arus rasa cinta untuk menyembunyikan rasa permusuhan itu. Kita dapat berkata, cinta menjadi pengganti kebencian tetapi ini tidak benar, karena perasaan agresif masih ada di bawah lapisan perasaan sayang.

Hasan Aspahani (HAH) – penyair yang kini tinggal di Batam – pernah menulis puisi berjudul, Bibirku Bersujud di Bibirmu – puisi yang ia bacakan di Taman Ismail Marzuki, 29 Januari 2006. Ini salah satu penggalan kalimat yang saya catat. Aku masih sabar menunggu, kau kirim tanda zikir-zikir/Semakin mendekat gemetar bibir, pada persujudan pasir/rukuk musafir, sampai mengerti isyarat ombak terakhir.

Apa yang kita dapatkan dari kutipan kalimat di atas? Ada semacam pertentangan batin yang tersembunyi dari ‘aku lirik’. Kesabaran ‘aku lirik’, merupakan satu pertentangan batin atau naluri. Menilik teori Freud, apa yang dilakukan HAH adalah upaya pembentukan reaksi. Kalimat, aku masih sabar dari penggalan di atas menjadi satu kedok yang menyembunyikan satu ketergesa-gesaan.

Menurut Freud, pembentukan reaksi adalah alat yang digunakan untuk menyembunyikan naluri dari kesadaran dengan mempergunakan lawannya. Bisa dibilang, ‘aku lirik’ berhasil menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Di sinilah, perasaan sabar yang sesungguhnya ditekan sebagai reaksi dari kemarahan atau semacam kekecewaan. Sabar sedemikian adalah palsu dan kepalsuan ini muncul akibat penekanan ego melalui perantara superego.

Sifat yang lain dari pembentukan reaksi ini adalah sifat paksaannya. Mari kita simak penggalan kalimat tersebut, Semakin mendekat gemetar bibir, pada persujudan pasir/rukuk musafir, sampai mengerti isyarat ombak terakhir. Dari penggalan tersebut, sampai mengerti isyarat ombak terakhir merupakan sifat paksaan dari pembentukan reaksi. Inilah naluri yang dijajarkan sebagai pasangan-pasangan yang bertentangan. Sabar menunggu dan memaksakan mengerti isyarat ombak terakhir.

Altruisme dapat menyembunyikan kepentingan diri sendiri, kesalahan dapat menyembunyikan kejahatan. Puisi Bibirku Bersujud di Bibirmu adalah pembentukan reaksi dari libido kekuasaan. Pertanyaannya, seberapa seringkah, HAH menyembunyikan perasaan sebenarnya itu? Proses penyembunyian perasaan inilah yang melatarbelakangi munculnya libido kekuasaan.

Bagi Freud, pembentukan-pembentukan reaksi dipergunakan baik terhadap ancaman dari luar maupun dari dalam. Seseorang yang takut terhadap orang lain, dapat memaksa diri untuk sangat ramah. Atau – kata Freud lagi – ketakutan terhadap masyarakat dapat mengambil bentuk ketaatan yang kuat terhadap tata tertib masyarakat.

Di puisi Bibirku Bersujud di Bibirmu merupakan satu bentuk ketaatan kepada masyarakat. HAH - sebagai penulis – beberapakali mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Jelas, sebagai puisi, makna kata bisa bias. Artinya, pertanyaan itu akan ditujukan kepada siapa. Berikut beberapa pertanyaan yang diajukan HAH, tanpa mengubah tipografi aslinya.

Siapa yang menangis di dermaga? Siapa menghangatkan
laut dengan airmata? Siapa yang melambai di atas palka?

Siapa yang menghentak kaki berlari ke surut samudera?
Siapa mengarak riak jadi mahagelombang maharaksasa?

Bagi saya, HAH bukan sekedar mengajukan pertanyaan-pertanyaan. HAH – menurut saya – cemas menghadapi kenyataan. Menurut Freud – dalam teori kecemasan – kecemasan tentang kenyataan adalah suatu pengalaman perasaan sebagai akibat pengamatan suatu bahaya dalam dunia luar. Bahaya adalah setiap keadaan dalam lingkungan seseorang yang mengancam untuk mencelakakannya.

Pertanyaan atau kecemasan yang diajukan HAH sangat wajar. Karena kecemasan atau ketakutan bersifat pembawaan. Artinya bahwa seseorang mewarisi kecenderungan untuk menjadi takut kalau ia berada dekat benda-benda tertentu atau keadaan tertentu dari lingkungannya.

Telah diketahui juga, ketakutan dapat membunuh seseorang. Dalam puisi ini, HAH tak mencoba membunuh orang lain. Dia membunuh perasaannya sendiri. Ya, dengan cara pembentukan reaksi dan lahirnya rasa cemas terhadap lingkungan sekitar.

Akan tetapi, kita dapat belajar untuk mengambil sikap efektif jika lonceng kecemasan itu dibunyikan. Kita lari dari bahaya atau kita berbuat sesuatu untuk meniadakannya. Kita bisa menganalisa kecemasan itu, sebelum kecemasan itu menjadi traumatik. Di puisi itu, traumatik ‘aku lirik’ terdapat dalam kalimat tanya, kenapa harus gelombang.

Kadang-kadang, pembentukan reaksi dapat memuaskan keinginan yang semula, yang terhadapnya diadakan pertahanan. Calvin S. Hall dalam bukunya Kecemasan Perpisahan, mengatakan, seorang ibu takut mengakui bahwa ia membenci anak-anaknya mungkin demikian banyak mencampuri kehidupan mereka di bawah alasan sangat memikirkan kesejahteraan dan keselamatan mereka, sehingga perlindungan yang berlebih-lebihan ini sebenarnya adalah bentuk hukuman.

Pembentukan reaksi dalam puisi Bibirku Bersujud di Bibirmu adalah satu penyesuaian yang irasional terhadap kecemasan. Sikap ini mempergunakan energi untuk tujuan-tujuan yang bukan sebenarnya. Bibirku Bersujud di Bibirmu adalah sikap HAH untuk mengaburkan kenyataan. Begitu.

Pada akhirnya, Aku semakin tak sanggup. Dengar. Dendang itu semakin sayup*

*) Diambil dari puisi Hasan Aspahani berjudul Bibirku Bersujud di Bibirmu

Jurnal Bogor Literary Award?

Oleh : Dony P. Herwanto

Maret 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melawat ke Australia. Di negeri Kanguru itu, Presiden SBY disambut hangat mantan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd. Rombongan kepresidenan – waktu itu – tak menyangka jika Presiden SBY memberikan Kopi Luwak kepada Sang Perdana Menteri. Kalangan pers Australia menyebut peristiwa tersebut, Dung Diplomacy.

***

Baru-baru ini, saya menemui seorang kawan dari Jakarta di Food Life Yogya Bogor Junction. Kawan saya itu, seorang sastrawan dan pengusaha. Usahanya itu tak jauh dari dunia tulis menulis. Kawan saya itu memiliki perusahaan penerbitan. Saya mengenalnya dengan nama Handoko F. Zainsam. Nama kawan saya itu, mulai naik daun di Kota Bogor.

Beberapakali, dia sering diminta menjadi pembicara di acara-acara sastra di Kota Bogor. Selain pembicara yang handal, Kang Han, begitu kami (rekan-rekan komunitas sastra) mengakrabinya, juga cakap membaca puisi. Oh iya, dia juga seorang marketing yang handal. Tak percaya? Satu waktu, Anda harus menemuinya!

Sebagai sastrawan, Kang Han, sudah menerbitkan beberapa buku, baik puisi, naskah drama, dan novel. Buku puisi teranyarnya, Ma’rifat Bunda Sunyi. Sebagai pengusaha yang bergerak di bidang penerbitan buku, Kang Han yang memiliki penerbitan Mata Aksara dan Genta Pustaka sudah banyak membantu penulis menerbitkan buku, baik karya tunggal maupun antologi.

Sekilas, Kang Han ini, wajahnya mirip, hampir mirip dengan gitaris grup band Padi. Piyu. Ya, itu benar. Sekilas memang mirip. Rambut gondrong, kurus, tirus, dan mata yang tajam. Kebetulan, kedua orang yang dibicarakan ini berasal dari provinsi yang sama, Jawa Timur. Selain kemiripan fisik, entah kebetulan atau tidak, kedua-duanya suka sastra. Kuat dugaan, Kang Han dan Piyu Padi saudara sedarah. Ketika saya bertanya, benarkah ada hubungan saudara, Kang Han hanya mengumbar senyum seraya berkata, “Ah, kamu bisa saja,”

***

Sabtu (4/12) sore, saya memutuskan berakhir pekan di Food Life Yogya Bogor Junction. Itu pun atas rekomendasi kawan sekantor. Katanya, tempatnya nyaman dan menu-menunya tak kalah enak dengan menu masakan di restoran yang ada di Bogor. Tanpa pikir lama, saya pun tergoda mencoba tempat itu. Dan benar, apa yang dikatakan kawan sekantor saya itu.

Kebetulan juga, akhir pekan ini, saya ada janji dengan Kang Han. Rencana, ingin membicarakan satu proyek kerjasama, antara Jurnal Bogor dan penerbitan miliknya itu. Sekitar pukul 17.00 wib, saya sudah semeja dengan Kang Han. “Tempat barumu enak juga,” katanya, ketika melihat sekeliling food life ini.

Sehari sebelum pertemuan ini, kebetulan, Store Manager Yogya Bogor Junction, Endang Yudhi menyuguhi Kopi Luwak. Mendung di Kota Bogor memang pas untuk menikmati kopi termahal itu. Sebagai coff-a-holic, saya tak menyia-nyiakannya. Terimakasih Pak Yudhi.

Seperti membayar ucapan terimakasih Store Manager Yogya Bogor Junction, saya pun menawarkan Kopi Luwak kepada Kang Han. Dia menerima tawaran saya itu. Tanpa menunggu lama, saya segera memesan kopi kami, Kopi Luwak. Tak lama, pesanan pun datang. Lantas, kami menyeduhnya dengan hati-hati, sangat hati-hati.

***

Teguk demi teguk, kami menikmati Kopi Luwak di Food Life Yogya Bogor Junction. Di sela-sela tegukan, saya mendiskusikan ide Jurnal Bogor Literary Award, sebuah penghargaan kepada penulis cerpen dan puisi yang karyanya pernah dimuat di Jurnal Bogor. Kang Han menyimak dengan serius, seperti seorang ayah mendengarkan cerita dari anaknya usai pulang sekolah.

Satu per satu rencana yang sudah saya susun - jauh sebelum pertemuan ini – didengarkan dengan sesekali mengajukan pertanyaan, seperti kapan rencana itu akan dimulai, berapa banyak karya yang akan diikutkan Jurnal Bogor Literary Award, sampai jenis penghargaannya. Tapi yang jelas – karena ini murni ide saya – penghargaan itu akan berbentuk buku. Artinya, cerpen atau puisi yang saat ini ada di Jurnal Bogor akan dibukukan.

Sebagai seorang pengusaha di bidang penerbitan, dia langsung menyetujui dan tertarik dengan ide itu. Dia pun menawarkan diri menerbitkan buku kumpulan cerpen dan puisi Jurnal Bogor. Lantas, dia bertanya, “Siapa kuratornya?,” Nah, untuk yang satu ini belum bisa saya jawab. Kemudian, dia merekomendasikan beberapa nama untuk dijadikan kurator. Jika ada kurator, saya harus menyiapkan anggaran untuk honornya. Yang pasti, honor ini dalam jumlah yang tidak sedikit.

Kelak, jika buku itu terbit – rencananya – semua keuntungan penjualan akan masuk ke Jurnal Bogor. Sebab, karya-karya itu sudah menjadi hak milik Jurnal Bogor sejak dikirim penulisnya. Kemungkinan, Jurnal Bogor akan memberikan semacam bonus dari hasil penjualan itu. Kang Han pun berjanji, buku-buku itu akan masuk ke semua toko buku ternama yang ada di Indonesia.

Saya berimajinasi, ada sponsor yang mau memberikan modal untuk penerbitan buku kumpulan cerpen dan puisi terbaik Jurnal Bogor ini. Nah, sekarang adakah yang mau memberi kami modal? Semoga ini bukan seperti dung diplomacy itu. Begitu.

Bogor dalam Seni Rupa Kontemporer




Dalam sebuah buku sejarah seni rupa kontemporer Eropa, istilah Stuckisme atau gerakan stuckism banyak dijadikan rujukan gerakan kesenian kala itu. Adalah Billy Childish dan Charles Tompson yang memulai gerakan itu. Gerakan seni ini muncul sebagai reaksi dari dominasi wacana estetika dan pasar seni dari eksponen-eksponen Young British Artists (YBA).

Seperti yang tertulis dalam buku sejarah seni rupa di Inggris yang ditulis sendiri oleh Billy, dominasi YBA yang begitu besar juga didukung oleh monopoli pasar oleh dealer seni Charles Saacthi, yang ditandai oleh tersingkirnya para seniman lain yang berada di luar form mereka. Gerakan ini selain mempertentangkan persoalan dominasi YBA, monopoli Saacthi, juga menentang ideologi seni postmo dan conceptual art yang dianggap sudah terlalu establish di Inggris.

Selain itu, para stuckisme juga menyoroti permainan-permainan kotor para pejabat dan skandal di Tate Britain. Aksi mereka banyak mandapat sorotan publik terutama ketika mereka membeberkan beberapa skandal yang terjadi di seni rupa kepada dewan kehormatan seni.

Penamaan stuckism diambil begitu saja dari sebuah puisi Tracey Emin ketika mengomentari lukisan Billy Childish, pacarnya. Stuckism berasal dari kata “stuck” yang merupakan kata yang sering diulang oleh tracey emin dalam puisinya itu ” Your panting are stuck, …. Stuck! Stuck! Stuck!). Anggota yang bergabung dalam kelompok stuckisme ini disebut stuckist.

Untuk menandai keberadaannya, para stuckist ini membuatkan manifesto-manifesto yang intinya berisikan sikap mereka terhadap seni postmo dan conceptual art serta ketidakpercayaan mereka terhadap para kritikus seni dan pejabat. Manifesto pertama mereka menentang sikap anti proses dari seni postmo, pemakaian artisan, dimana seniman tidak lagi terlibat secara fisik dalam pembuatan karya seni.

Pada manifesto kedua, mereka menyatakan keinginan untuk menggusur seni postmo dengan paham remodernisme sebagai periode pembaharuan nilai spiritual seni, sosial dan kebudayaan.

***

Pameran Seni Rupa Bogor ArtSpirit 2010 di Gedung Kemuning Gading, Kota Bogor 13-19 Desember hampir luput dari perhatian banyak kalangan. Padahal, pameran tersebut merupakan peristiwa penting yang barangkali dapat menjawab pelbagai masalah aktual di Indonesia, khususnya di Bogor, seperti kegelisahan masyarakat urban sampai global warming. Isu-isu seperti itu masih layak diperbincangkan dalam seni rupa kontemporer. Dan di pameran seni rupa Bogor ArtSpirit 2010, ada sejumlah lukisan yang merefleksikan peristiwa-peristiwa tersebut.

Pameran yang dijadikan salah satu penanda kebangkitan seni rupa di Bogor ini pun digadang-gadang banyak perupa Bogor bernafas panjang. Ini tak terlepas dari tradisi berkesenian di Bogor yang sering muncul-tenggelam seiring minimnya apresiasi dari masyarakat, pun mungkin dari para senimannya sendiri. Dan pameran ini pun belum dapat disebut sebagai sebuah gerakan baru berkesenian di Bogor. Pasalnya, jauh sebelum pameran yang menampilkan 102 lukisan dari 42 lukisan, beberapa seniman, khususnya perupa Bogor pernah melakukan hal yang sama. Bahkan bisa dibilang lebih ekstrim.

Tahun 2003, beberapa seniman atau lebih tepatnya perupa Bogor menggelar pameran lukisan dan patung yang digelar di tempat terbuka. Itu artinya, kegelisahan terhadap kebijakan atau apresiasi dari pemerintah terhadap seni rupa sangat minim. Mengapa? Pameran di ruang terbuka memiliki arti perlawanan. Apa yang dilawan? Hanya perupa-perupa Bogor kala itu yang tahu. Dan ketika saya mencari tahu sebab musababnya, sebagian besar perupa yang ketika itu terlibat dalam perlawanan tersebut enggan berkomentar banyak. Entah dengan alasan apa, informasi sejarah peristiwa 2003 ditutupi.

Yang jelas tercatat dalam ingatan beberapa perupa Bogor kala itu adalah ketidakpedulian pemerintah Kota Bogor terhadap seniman Bogor, khususnya perupa. Pemerintah Kota Bogor hanya peduli terhadap seni tradisi yang menurut mereka (Pemerintah Kota Bogor.red) mampu mengangkat nama baik Kota Bogor di mata dunia. Itu hanya secuil kisah masa lalu proses berkesenian di Kota Bogor. Seiring waktu, seniman-seniman Bogor lebih banyak diam. Artinya, setiap proses kreatif sudah tidak memedulikan perhatian dan sumbangsih dari pemerintah yang entah karena apa, sengaja atau tidak, seolah menutup diri.

Dan kini, gerakan yang dimotori Himpunan Pelukis Bogor (HPB) ini, melanjutkan apa yang pernah dilakukan sebelumnya. Entah dengan orang-orang yang sama atau tidak. Tetapi, dari 42 pelukis yang ikut memamerkan karyanya, ada beberapa yang pernah terlibat dalam gerakan tahun 2003 itu, salah satunya Yana WS. Pematung Bogor ini menjadi salah satu saksi hidup perjuangan seniman Bogor menembus barikade birokrasi yang dipraktekkan pejabat Kota Bogor kala itu. Dan spirit perlawanan dan kegelisahan itu masih hidup hingga kini.

Apa yang sekarang ini dikerjakan HPB bersama Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kota Bogor sama halnya dengan yang dilakukan kaum stuckist di Inggris. Gerakan perlawanan melalui pameran menjadi satu penanda kebangkitan perupa Bogor. Pertanyaannya, mampukah HPB, melalui pameran seni rupa Bogor ArtSpirit 2010 ini mengubah kebandelan dan ketakpedulian Pemerintah Kota Bogor akan keberadaan perupa-perupa Bogor yang ternyata jumlahnya tak sedikit. Dan perlukah, HPB memaklumatkan manifesto kesenian di Bogor? Kita tunggu bersama kelanjutan program kreatif HPB. Begitu.

Silet

Oleh: Dony P. Herwanto

Oprah Gail Winfrey terlalu berjarak dengan kami. Ia terlalu kaya. Dengan kekayaan sekitar 1,3 milyar dolar AS, ia masuk dalam daftar milyarder di dunia. Kala melihat penampilannya di layar televisi untuk kali pertama, kami tahu, dia adalah pengusaha. Kami bermimpi seperti dia saja tak berani. Apalagi memandu acara sebegitu hebatnya.

The Oprah Winfrey Show – nama acaranya - membuat debut nasional pertamanya pada tahun 1986. Acara itu meraih sukses dengan cepat dengan menjadi pertunjukan paling populer di televisi. Oprah menjadi wanita kulit hitam yang bangkit dari kemiskinan dan menjadi bintang dengan bayaran tertinggi.

The Oprah Winfrey Show menjadi talk show nomor satu saat itu, Acara ini di tonton oleh 48 juta pemirsa setiap minggunya di Amerika dan disiarkan secara internasional di 126 negara. Kata yang pantas untuknya: Cerdas, kaya, dan humoris.

Kami lebih akrab dengan Feni Rosewidyadhari atau Feni Rose, presenter utama acara Silet. Awal karirnya jelas jauh berbeda dengan Oprah. Dia memulai karir sebagai pembawa acara babak kualifikasi Formula 1 di TPI yang kini berubah menjadi MNC TV. Setelah itu, karirnya menanjak. Pada 2003, Feni sukses menjadi pembawa acara utama.

Dari sinilah, kami mengenal sosok lulusan FISIP Antropologi Universitas Indonesia tahun 1998. Sosoknya sporty, smart, and confidence. Barangkali itu karena tuntutan pekerjaan sebagai pembawa acara olahraga. Awal karirnya – tahun 1999 – Feni hanya menjadi pembawa acara pada segmen kuis GP Formula 1 di RCTI.

Selain menjadi pembaca acara F-1, Feni – yang kami kenal – juga memandu acara perempuan di Metro TV bersama Ojie Naniek, Maudy Koesnaedi, Melanie Subono dan Caroline Zachrie. Dan kami semakin akrab dengan sosok Feni yang selalu tertawa renyah diakhir pertanyaan yang dia ajukan kepada narasumbernya.

Wajah Feni Rose makin dikenal banyak kalangan, setelah menerima tawaran menjadi bintang iklan sabun cuci bermerek Surf. Dan wajah ayu perempuan kelahiran Malang, Jawa Timur, 1 November 1973 itu makin dekat dengan kami setelah menjadi presenter infotainment ‘Silet’ yang kini menunai kritik di berbagai media, termasuk Twitter, karena meresahkan dan membuat takut pengungsi dengan ‘ramalan’ palsunya.

Minggu, 7 November 2010, Feni Rose, Si Presenter ayu itu melakukan kesalahan besar. Dalam tayangan itu disebutkan, radius awan panas Gunung Merapi mencapai 65 km dan diramal akan ada ledakan besar. Ada juga pernyataan dari Feni Rose, Yogya adalah kota malapetaka. Tayangan ini juga diimbangi dengan statemen dari ahli vulkanologi.

Jelas, Feni Rose tidak sedang dalam kondisi depresi, seperti ribuan pengungsi korban Merapi. Feni dalam kondisi – dalam istilah psikologi – full consciousness (kesadaran penuh). Feni sadar, dia sedang membawakan materi yang mengandung risiko. Artinya, bila sedikit salah ucap, akan banyak datang kritik. Bagi kami, materinya sensitif.

Setelah menerima banyak kritik, Redaksi Silet meminta maaf atas kalimat yang dibacakan Feni Rose. Permintaan maafnya, mulai ditayangkan di layar RCTI hari itu juga. Permintaan maaf itu dengan latar belakang hitam dengan tulisan putih, dengan logo 'Silet' di pojok kanan bawah.

Seperti ini tulisannya, "Segenap tim Redaksi Silet memohon maaf yang sedalam-dalamnya atas pemberitaan Silet edisi Minggu, 7 November 2010 yang memuat ramalan dan pesan berantai yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya tentang prediksi Merapi. Simpati dan doa kami untuk seluruh korban bencana." Selain melalui tayangan beberapa detik itu, permintaan maaf Redaksi Silet juga disampaikan melalui running text.

Feni Rose yang pernah kami temui adalah sosok peremuan yang sederhana. Kami juga mengenalnya sebagai salah satu instruktur tari tradisional. Ketika kami tanya apa cita-citanya, Feni menjawab dengan nada santun, ‘Ingin membuat media dengan pemberitaan positif,’.

01 Oktober 2010

Djenar dan Hasrat Sastra Bogor

Dalam sebuah perbincangan ringan yang digelar BEM Sastra Universitas Pakuan, Sabtu (27/6) kemarin, penulis novel Mereka Bilang Saya Monyet (MBSM) Djenar Maesa Ayu membongkar sebuah konsepsi bahwa menulis tak memerlukan konsep dan teori sastra (literasi.red). “Menulis itu jangan dibebani teori-teori literasi. Itu malah menjebak dan mengurung kreativitas penulis membongkar kata,” kata Djenar kepada peserta Talkshow Sastra bertajuk Jadi Remaja Multi Talenta Lewat Sastra.

Menurut dia, menulis itu satu pekerjaan mudah yang membutuhkan ketekunan. Sebab, menulis merupakan satu upaya menggabungkan dari apa yang dilihat, didengar dan dirasa. “Inilah yang menjadi alasan bagi saya untuk mengurangi penggunaan teori dalam proses menulis,” ungkapnya.

Putri almarhum Sjuman Djaya dan Tutie Kirana itu, terlihat lugas ketika menyampaikan proses kreatif yang selama ini diterapkan. Namun sayang, kehadiran ibu dari Banyu Bening dan Bidari Maharani tersebut kurang direspon. Ini terlihat dari minimnya pertanyaan mendalam yang ditujukan kepadanya.

Pertanyaan yang diajukan terkesan normatif dan tak memperlihatkan background sastra yang mayoritas pesertanya mahasiswa sastra. Bisa jadi, ini akibat dari minimnya ruang apresiasi dan diskusi di kalangan mahasiswa atau kalangan pecinta sastra di Bogor. Jika asumsi ini benar, maka sungguh menyedihkan.

Djenar yang terbiasa menulis novel-novel berbau seks kurang mendapat rentetan pertanyaan yang membuat penulis kumpulan cerpen Jangan Main-main (Dengan Kelaminmu) tersebut gelagapan. Djenar memang jago menulis. Tapi untuk pengetahuan teori sastranya barangkali kurang. Buktinya, Djenar mengakui kalau proses kepenulisan sejumlah novelnya jauh dari teori sastra. “Saya akui kalau sejumlah tulisan lahir dari rasa dan bukan teori,” ujarnya.

Di sinilah seharusnya peran mahasiswa sastra mengetahui lebih jauh ihwal proses kreatif Djenar. Tapi rupanya, ratusan peserta talkshow sastra hanyut dan terpesona dengan penampilan dan cara tutur Djenar.

Kendati demikian, ada hal-hal yang patut diacungi jempol dari event tersebut. Di tengah minimnya apresiasi karya sastra di Bogor, BEM Sastra Unpak mampu eksis dan menunjukkan diri sebagai salah satu organisasi kemahasiswaan yang memiliki kepedulian terhadap perkembangan sastra, khususnya di Bogor.

Maman S. Mahayanan M.Hum yang ditunjuk sebagai moderator talkshow mengaku miris melihat minimnya apresiasi sastra di Bogor. Terkait dengan acara yang digelar di Auditórium Unpak tersebut, Maman menilai ada satu upaya yang harus dijaga konsistensinya. “Bogor itu minim ruang apresiasi sastra. Acara ini harus terus dikembangkan ruang lingkupnya. Sehingga, Bogor bisa menjadi barometer penulis-penulis Indonesia untuk berdiskusi dengan pecinta sastra di Bogor,” kata Maman kepada Jurnal Bogor, kemarin.

Keinginan Maman membangkitkan iklim bersastra di Bogor patut disambut. Paling tidak, dengan adanya Fakultas Sastra Unpak, karya sastra dapat menempati tempat yang layak dan semestinya. Semoga.

Setapak di Candi Muaro Jambi

Sebagai situs purbakala terluas di Indonesia, keberadaan Kompleks Candi Muaro Jambi amat memprihatinkan. Padahal, candi yang terletak di Desa Muaro Jambi, Kecamatan Muaro Sebo, Kabupaten Muara Jambi menjadi bukti bahwa kerajaan Melayu pernah beribukota di Muaro Jambi. Dengan nilai teramat penting bagi ilmu pengetahuan, kilau Candi Muaro Jambi justru tersembunyi dari peradaban.

‘Selamat Datang di Kompleks Situs Percandian Muaro Jambi’. Sapaan lewat tulisan yang hampir pudar dan posisi papannya agak miring tersebut menjadi saksi dimana situs tersebut kurang mendapatkan perhatian instansi terkait. Setelah melewati gapura itu, saya yang kebetulan berkesempatan pergi ke situs peninggalan kerajaan Melayu tersebut tak melihat ada sambutan lagi bagi calon pengunjung. Kios-kios-pun tampak kosong, dan tak terawat. Sekitar 20 meter dari gapura, tampak tempat loket yang lagi-lagi tak berpenghuni. Ini sungguh disayangkan.

Kendati jaraknya dari Ibukota Provinsi Jambi sekitar 40 kilometer, tapi untuk mencapai ke Muaro Jambi dapat menggunakan dua jalur, darat dan air. Kompleks ini tak jauh dari daerah aliran sungai Batanghari. Candi dengan luas mencapai 12 kilometer tersebut merupakan kawasan ibadat Budha. Candi ini kali pertama ditemukan oleh tentara Inggris bernama SC Crooke pada tahun 1820. Menurut Dasril, petugas Museum Candi Muaro Jambi, kompleks tersebut memiliki 80-an candi dan sembilan candi berukuran besar.

Kesembilan candi besar tersebut, di antaranya Candi Kotomahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Gumpung, Candi Tinggi, Telago Rajo, Candi Kembar Batu dan Candi Astano.

Dari sembilan candi besar tersebut, enam di antaranya selesai dipugar. Uniknya, candi di Muaro Jambi selalu dikelilingi kanal. Ini menunjukkan, transportasi air sanagt akrab di kalangan masyarakat. Akan tetapi, kanal-kanal itu kini tertutup tanah dan semak belukar, sehingga tak dapat digunakan lagi.

Candi Gedong I terhitung unik di kompleks candi Muaro Jambi. Tak diketahui secara pasti kapan candi ini dibangun. Luas halamannya sekitar 500-an meter persegi, terdiri dari bangunan induk dan gapura. Bentuknya sangat berbeda dengan candi umumnya di Pulau Jawa. Candi tak dibuat dari batu alam, tapi dari batu bata. Pada tiap bata merah, terdapat pahatan relief. Sebagian dari bata ini ada yang disimpan di museum.

“Semua candi terbuat dari batu bata. Jadi, untuk pemugaran semua candi itu sudah renovasi. Sekarang sudah menggunakan semen untuk lemnya. Dulu kami belum tahu pakai apa untuk lemnya. Jadi, sekarang sudah pakai semen untuk perekatnya,” kata Dasril.
Selain candi, komplek Muaro Jambi banyak memiliki benda bersejarah yang tak ternilai harganya. Kini, barang-barang itu disimpan di museum, seperti Arca Gajah Singa, dan Arca Dwarapala.

Arca Dwarapala, ditemukan di Candi Gedong pada tahun 2002. Sebetulnya ini dua arca, cuma satu yang kita temukan. Kalau dulu fungsinya sebagai penjaga gerbang, kalau sekarang katakanlah sekuritinya atau satpamnya. Satu arca lagi adalah Arca Prajnaparamita, dewi perlambang kesuburan. Sayang, beberapa bagian arca ini belum ditemukan seperti tangan dan kepalanya.

“Arca tersebut ditemukan di Candi Gumpung. Sayangnya sampe sekarang kepalanya belum ditemukan. Ini perempuan, ini adalah suatu lambang suci agama Budha,” ungkapnya.
Di museum ini juga tersimpan belanga dari perunggu seberat 160 kilogram, tingginya 60-an sentimeter, dengan diameter lubang belanga sekitar satu meter. Belanga ini diduga sebagai salah satu alat ritual umat Budha aliran Tantrayana.

Benda-benda purbakala bersejarah di Kompleks Candi Muaro Jambi sungguh tak ternilai harganya. Tapi harta ini terbengkalai, kesepian dan tak terurus mengingat prasarana tidak diperhatikan. Jalan rusak menuju candi, tak ada sarana transportasi memadai, fasilitas yang tersedia pun payah.

Kalau dilihat dari sejarahnya, candi tersebut termasuk candi yang lebih tua daripada candi Borobudur yang ada di Magelang, Jawa Tengah. Luasnya juga jauh lebih besar. Dan disini juga dulu ada kerajaan Sriwijaya yang memang tempat keberadaan candi di Muaro Jambi. Ini salah satu kekayaan besar bagi negara ini.

Di Tanah Pilih Pesako Betuah tersebut, situs peninggalan sejarah kurang diperhatikan. Ini sama halnya dengan kota-kota lain di Pulau Jawa, seperti Kota dan Kabupaten Bogor. Di tempat ini, situs-situs purbakala yang dapat dijadikan aset kunjungan wisata kurang tergarap maksimal.

Sebagai kota mitra Ibukota Jakarta, Bogor menjadi satu kota alternatif kunjungan wisatawan, baik asing maupun lokal. Tapi sayang, hal ini malah terabaikan. Sungguh ironis. Kemegahan Istana Bogor dan Kebun Raya malah menenggelamkan sejumlah situs-situs berharga lainnya.

Pantomim yang Minim

Pantomim sebagai pertunjukan teatrikal merupakan permainan dengan bahasa gerak. Berkaitan dengan akting, pantomime pada awalnya untuk menyebut aktor komedi di masa Yunani yang menggunakan gerak tubuh untuk berkomunikasi. Kemudian, kedua dipakai untuk menyebut aktor di Romawi yang menyampaikan perannya melalui tari dan lagu. Kini, pantomime sering diasosiasikan sebagai gaya akting komedi tanpa kata-kata.

Meski jenis pertunjukan ini telah dikenal sejak zaman Romawi Kuno dan sering digunakan dalam ritus keagamaan, tapi bagi masyarakat Bogor yang hingga kini belum menunjukkan apresiasi terhadap seni purba ini makin menguatkan anggapan bahwa seni yang menggunakan dialog dalam bentuk mimik wajah atau tubuh belum dibutuhkan.

Jika menilik dari apa yang dilakukan Bengkel Ao dengan mime-street-nya, seolah konsep Commedia Dell’arte yang pernah mencapai puncaknya di Italia pada abad ke-16 kembali diusung sebagai salah satu upaya mengenalkan seni tersebut. Meski respon belumlah ada, tapi niat mengenalkan pantomime ke tengah-tengah masyarakat yang sibuk merias diri patut diacungi jempol. Meski kadang hal ini tak diimbangi dengan perhatian dari pemerintah, baik kota dan kabupaten.

Pantomime sebagai seni pertunjukan seperti karya seni lainnya, seperti sastra, teater, adalah salah satu cara memahami kehidupan. Setiap karya seni pertunjukan termasuk pantomime dapat dijadikan sebagai wahana untuk memahami kehidupan dalam masyarakat.

Hal itu jelas terlihat dari seni pertunjukan pantomime yang dihasilkan oleh mimer, seperti Anggit Saranta, dengan karya-karya yang merefleksikan lingkungannya. Pun dengan solah tingkah penguasanya.

Seni pertunjukan pantomim di Bogor yang masih terus mencari dalam gerak budaya yang dinamis setidaknya membutuhkan daya imajinasi yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.

Jika melihat dari akar kehadiran pantomime di jagat pertunjukan, maka sudah selayaknya-lah Bogor bisa menerima seni purba yang mampu mengocok perut dan meneteskan airmata tersebut.

Sebab, di tengah laju perkembangan seni budaya kontemporer, pantomime hadir sebagai penyejuk. Pasalnya, dalam pantomime ada unsur tari dan mimik ekspresi yang tingkatnya jauh lebih sulit ketimbang seni tari dan akting itu sendiri. Mengapa? Karena pantomime adalah drama minim kata, bahkan benar-benar bisu.

Pertanyaannya, siapa lagi yang akan mengenalkan pantomime ke tengah generasi yang lebih menyukai budaya pop? Jika pantomime tak bisa dikenalkan lewat pertunjukan di panggung dan di jalanan, mungkinkah pantomime bisa dikenalkan lewat sekolah-sekolah yang juga mulai menganaktirikan pendidikan kesenian?

Seni Tradisi Dalam Montase

Maraknya pentas kemasan wisata, seperti tari-tarian di Bogor adalah satu indikasi bahwa program pariwisata, khususnya wisata budaya, berhasil. Namun, keberhasilan tersebut masih bersifat kuantitatif. Kualitas dan prospeknya di masa mendatang masih perlu digali lagi. Tampaknya, keberhasilan tersebut tak lepas dari peranserta pelbagai pihak dalam pengemasan wisata budaya, seperti seniman dengan pengelola pertunjukan wisata (café, restoran dan hotel).

Bogor sebagai salah satu kota tujuan wisata telah mengantisipasi kehadiran wisatawan dengan membuka pelbagai tempat pertunjukan konsumsi wisatawan, salah satunya di Café dan Resto Gumati, Jalan Paledang, Kota Bogor. Di tempat ini, hampir setiap malam Minggu atau Sabtu malam menyajikan pelbagai pementasan, khususnya tari-tarian tradisional. Rupanya, geliat seperti ini sudah menjadi salah satu alasan mengapa Café dan Resto Gumati selalu ramai dikunjungi wisatawan manca dan dalam negeri. Terlepas dari menu makanan yang disediakan dan pemandangan yang elok, yakni Gunung Salak.

Ada beberapa poin plus yang dapat diambil dari pentas kemasan yang sering digelar di luar ruangan, tepatnya di dekat kolam. Pertama, latar belakang Gunung Salak sangat mendukung suasana pementasan. Dan yang kedua, pencahayaan yang langsung ditujukan ke air di atas kolam. Sungguh capaian estetis yang memesona.

Dalam konteks pementasan tari tradisional, pertunjukan tersebut jelas memberi dampak positif terhadap upaya pelestarian kebudayaan lokal yang kini tengah digerus modernitas. Maurice Duverger mengatakan bahwa tidak ada generasi yang puas dengan mewariskan seni yang diterimanya dari peninggalan masa lalu. Oleh sebab itu, setiap generasi berusaha membuat sumbangannya sendiri.

Sejalan dengan teori di atas, keberadaan tari-tari tradisional di pelbagai tempat di Bogor harus dipikirkan masa depannya, terutama dalam menghadapi persaingan dengan budaya-budaya barat yang lebih mudah diterima oleh sebagian besar generasi muda.
Di zaman modern ini, nilai-nilai tradisional sangat sulit dipertahankan. Pola tradisional yang statis tidak lagi relevan dengan situasi zaman yang selalu berubah-ubah. Sajian tari tradisi, seperti Jaipong di panggung terbuka Café dan Resto Gumati mau tak mau harus berkejaran dengan pelbagai tampilan budaya-budaya modern yang tampil tak kalah garang dengan tari tradisional.

Di satu sisi, ini tantangan seniman tradisi untuk memertahankan kearifan lokal. Di sisi lain, mau tak mau, pemilik dan pengelola tempat-tempat yang masih menyajikan tari-tari tradisi harus memberikan porsi lebih kepada seni pertunjukan tradisi. Ini yang musti segera digarap. Tentunya, hal ini membutuhkan kreativitas seniman dalam mengemas seni pertunjukan.

Menurut Umar Kayam, seni sebagai bagian dari kebudayaan adalah salah satu unsur penyangga kebudayaan. Dengan demikian, kesenian atau seniman harus mengerti situasi masyarakat penikmatnya. Selain itu, pengelola tempat wisata harus dapat menempatkan sajiannya sebagai suatu cermin dari perkembangan budaya yang terjadi. Jadi seni tradisi tak hanya berperan sebagai media hiburan semata, seperti yang banyak terhadi di pelbagai tempat di Bogor.

Tak hanya Café dan Resto Gumati saja yang banyak menampilkan seni tradisi, khususnya tari-tarian. Dan jika ini terjadi di banyak tempat dan dilakukan berulang-ulang, maka akan muncul tradisi baru yang sebelumnya tak pernah terjadi.

Sistem bergilir yang acapkali digunakan pemilik café dan restoran serta hotel, sangat memungkinkan munculnya karya-karya baru dan seniman-seniman baru yang nantinya akan mewarnai wajah-wajah kesenian di Bogor. Dan ini juga menjadi salah satu upaya pelestarian seni tradisi yang ada di Bogor. Dalam pementasan yang digelar, konsep penghadiran sajian disarankan yang tidak membahayakan keberadaan seni tradisional. Kreativitas seniman memang tak dibatasi. Tapi, demi tegak dan utuhnya kebudayaan lokal, seniman diminta tetap menghormati peninggalan-peninggalan leluhur.

Sebagai produk wisata yang berbeda dari produk cenderamata (Soeprapto Soejono), produk seni pertunjukan lebih kompleks keberadaannya. Di sinilah dibutuhkan seniman dan pengelola yang intens memertahankan nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki. Khusus untuk seni pertunjukan yang masih memiliki nilai kesakralan, seniman diminta tak mengihilangkan semua unsur kesakralan tersebut. Melainkan, memodifikasinya sedemikian hingga agar penikmat tak terjerumus ke dalam hal-hal yang berbau mistik.

Dengan adanya seni tradisi di pelbagai tempat, seperti café, restoran dan hotel, nilai kearifan lokal yang tak ada di tempat manapun akan tetap kokoh berdiri. Meski kerap mendapat serbuan dari budaya modern yang lebih mengedepankan fleksibilitas daripada mengedepankan pendekatan humanis, seperti yang terlihat dari tari-tari tradisional.

Sekali lagi, kita menaruh beban berat di pundak para seniman agar tetap memertahankan nilai-nilai kearifan lokal di tengah era globalisasi tersebut. Dan acungan jempol, pantas diberikan kepada tempat-tempat yang masih sudi menampilan ragam budaya nusantara. Entah dengan alasan apapun itu. Sebab yang terpenting adalah lokalitas seni tradisi tetap utuh terjaga

Monolog & Etika Berkesenian

Merasa Bisa, Belum Bisa Diartikan Sebagai Benar-Benar Bisa
(Building a Character, Constantin Stanislavski)

Teater adalah dunia imaji. Demikian dituliskan Slamet Rahardjo Djarot dalam buku berjudul Membangun Karakter, salah satu buku hasil telisik buku karangan Constantin Stanislavski berjudul Building a Character. Sungguh luar biasa. Sebab, imaji dijadikan kunci untuk memahami teater. Satu hal yang patut digaris bawahi.

Dan kalimat Merasa Bisa, Belum Bisa Diartikan Sebagai Benar-Benar Bisa menjadi paradoks ketika menilik upaya sejumlah seniman di Bogor yang dengan keseriusan serta keuletan, membangun kembali dunia imaji (teater.red) yang terserak itu. Betapa tidak, semangat membangun kembali masa-masa kejayaan teater di Bogor sirna. Seiring dengan banyaknya perlombaan-perlombaan teater, baik di tingkat umum maupun pelajar. Pasalnya, ‘gelar juara’ seolah-olah menjadi harga mati berkesenian. Sungguh tujuan berkesenian yang kurang etis. Berkarya demi mengejar ‘gelar juara’ dengan kata lain, memburu ‘popularitas’.

Fenomena seperti ini baru saja terjadi, (atau mungkin sudah menjadi semacam tradisi di Bogor). Lomba monolog dalam rangka La Sastra yang digelar SMAN 5 Bogor menjadi satu bukti. Dimana semua sekolah yang mengirimkan utusan mengikuti lomba tersebut hanya mengejar ambisi juara. Tak lebih dari itu. Sebab menjadi juara sama artinya dengan membawa nama baik sekolah setingkat lebih tinggi dibanding sekolah lain, dalam hal ini khusus lomba monolog.

Predikat juara, seakan telah menutup ruang-ruang kreativitas dalam penggarapan monolog. Kesan apa adanya sangat kuat terlihat. Ini terbukti dari properti dan makeup serta kostum yang kurang digarap maksimal. Amat disayangkan, ketika monolog mulai ditinggalkan atau bahkan dilupakan oleh sebagian besar pelajar Bogor, upaya untuk menyajikan satu bentuk pengenalan monolog kepada meraka (pelajar.red) tidak dilakukan. Lagi-lagi, utusan sekolah dalam hal ini guru pendamping dan mungkin juga sang aktor sudah dilenakan dengan predikat ‘juara’ entah juara dalam lomba monolog dimanapun. Merasa Bisa Belum Bisa Diartikan Sebagai Benar-Benar Bisa.

Seniman teater, atau aktor harus benar-benar merenungkan kalimat di atas dan bertanya dalam hati, apakah kita tergolong aktor yang ‘bisa’ dalam arti ‘mampu’ mengejawantahkan apa yang tersurat dan tersirat dari makna berkarya, mencipta dan berkreativitas. Alih-alih berkreativitas, sang aktor atau seniman cenderung terjebak dengan sesuatu yang statis dengan alasan ‘itu karakter karya saya’. Sungguh satu alasan yang kurang masuk akal. Padahal, dengan daya cipta yang dimiliki, seorang seniman mampu mencipta pelbagai karakter karya.

Kembali ke pesta monolog pelajar yang ternyata sudah menjadi satu agenda rutin acara La Sastra SMAN 5 tanggal 23-24 November 2009. Banyak hal-hal yang terlepas dari acara tahunan tersebut, salah satunya muatan edukasi tentang monolog itu sendiri. Hal ini terlihat dari beberapa peserta yang terkesan asal-asalan dalam menyajikan karya. Pertanyaannya, apakah mereka tahu apa itu monolog? Atau memang guru kesenian di sekolah tersebut sangat terbatas pengetahuan monolognya.

Banyak catatan yang mesti segera ditindaklanjuti pihak-pihak terkait, seperti penyelenggara, guru dalam hal ini pelatih teater dan aktor atau siswa itu sendiri. Ambisi untuk menjadi juara menjadi satu catatan penting yang harus dibenahi. Bukan apa-apa. Sebab, akibat ambisi mengejar popularitas, nilai-nilai kreativitas malah dikorbankan. Ini efek dari ambisi itu sendiri. Entah ambisi sang guru dalam hal ini pelatih teater, atau ambisi sang aktor (murid.red) yang mempertaruhkan harga dirinya sebagai sang juara.

Ambisi tersebut sangat wajar, mengingat di Bogor jarang sekali ada perlombaan monolog, baru Festival Monolog Perempuan (FMP) 2009 yang digelar ruang8 Jurnal Bogor awal tahun ini di SMAN 7 Bogor. Selebihnya hanya perlombaan-perlombaan kecil yang kurang terekspos media.

Tapi yang disayangkan, ambisi itu malah menjerumuskan mereka (aktor dan sang pelatih.red) untuk berlaku jujur dalam berkarya dan menilai kekurangan diri. Merasa diri paling hebat menjadi satu-satunya kendala menerima semua resiko dalam perlombaan, menang dan kalah.

Tapi sekali lagi, tujuan berkesenian bukanlah menang kalah, melainkan membuat satu karya yang layak dinikmati dan mencerdaskan penonton atau penikmat seni itu sendiri. Kearifan terbesar adalah mengenali dan mengakui kurangnya kearifan diri. Bagaimanapun juga, menerima dan mengakui kelebihan orang lain adalah satu etika berkesenian yang harus dijunjung tinggi.

Kemana Sejarah Bojong Kokosan?

Sejarah mencatat, tanggal 2 Desember 1945 terjadi pertempuran sengit di Bojong Kokosan, Kecamatan Parung Kuda, Kabupaten Sukabumi. Dan tepat pada tanggal 9 Desember 1945, para pejuang Sukabumi melakukan penghadangan terhadap konvoi tentara Sekutu sehingga terjadi pertempuran yang dasyat dan dikenal dengan Pertempuran Bojong Kokosan. Sayang, pertempuran heroik itu tak banyak yang tahu. Atas dasar itulah, puluhan seniman Bogor, Sukabumi dan Bandung menghidupkan kembali cerita-cerita yang mengharu biru itu dalam satu fragmen. Intinya, mereka (seniman.red) ingin mengajak penonton mengingat kembali sejarah Bojong Kokosan yang kini sudah dilupakan.

Gedung Kemuning Gading pun disulap ke tahun 1945, dimana sejarah itu tercatat. Tak pelak, memori penonton yang didominasi generasi tua itu pun muncul. Dulu, keperkasaan pejuang Sukabumi itu hanya bisa didengar lewat cerita-cerita orangtua sebelum berangkat tidur. Kini, cerita itu divisualisasikan ke dalam satu cerita singkat berdurasi kurang lebih 90 menit. Alih-alih menghidupkan cerita, mereka malah terjebak pada usaha memberikan pesan.

Ini terlihat dari satu adegan dimana para pejuang itu menangkat tandu beramai-ramai dengan iringan musik yang kadang menyayat dan kadang-kadang terkesan biasa. Selain itu, alur cerita yang terlihat cepat, dan hanya menonjolkan penokohan seorang komandan tak sampai kepada inti persoalan yang coba diangkat. Padahal, sejarah Bojong Kokosan penuh dengan muatan semangat patriotisme dan nasionalisme. Entah mengapa, seniman-seniman itu hanya mengambil potongan cerita yang menurut hemat penulis kurang layak ditampilkan dalam fragmen itu.

Seharusnya, peristiwa berawal dari adanya berita yang diterima para pejuang Sukabumi di Pos Cigombong, bahwa tentara Sekutu sedang menuju Sukabumi. Mendengar berita tersebut, Kompi III yang dipimpin Kapten Murad dan kepala seksi I dan seksi II serta laskar rakyat Sukabumi berusaha menduduki tempat pertahanan di tebing utara dan selatan Jalan Bojong Kokosan.

Barisan TKR yang ikut terlibat dalam peristiwa Bojong Kokosan diperkuat 165 orang yang bersenjata senapan Ediston/ Hamburg, Bou-man/Double Loap, Pistol Parabelm, granat tangan, dan senjata tajam (golok, tombak, dan bamboo run-cing) serta senjata buatan sendiri berupa botol berisi bensin yang di-sumbat karet mentah yang disebut “krembing” (granat pembakar). Sedangkan laskar rakyat didukung oleh Barisan Banteng pimpinan Haji Toha, Hisbullah pimpinan Haji Akbar, dan Pesindo. Barisan laskar rakyat bersenjatakan Kara-ben Jepang, pistol, dan bom Molotov (Badan Pengelola Monumen: 20).

Sekitar pukul 15.00, konvoi tentara Sekutu datang. Konvoi di-dahului dengan tank, panser wagon, 100 truk berisi pasukan Gurkha dan pembekalan, serta dilindungi 3 pesawat terbang pemburu. Pada saat mendekati Bojong Kokosan konvoi berhenti karena terhalang barikade yang dibuat para pejuang Sukabumi. Adanya barikade ter-sebut membuat tentara Sekutu terlihat panik dan bersiaga. Pada saat itulah, Kapten Murad, komandan kompi III memberi isyarat dengan tembakan dua kali, sebagai tanda mulai penyerangan. Terjadilah pertempuran sengit. Para pejuang segera melemparkan granat tangan, granat krembing, dan tembakan. Serangan ini mengakibatkan korban jatuh di pihak tentara Sekutu.

Nampaknya, cerita ini tak diangkat pelakon yang sudah di dukung dengan kostum yang lengkap. Fragmen itu malah cenderung mengangkat dialog-dialog yang menurut hemat penulis tak perlu dilakukan di dalam cerita yang penuh nilai-nilai semangat patriotisme. Entah lupa atau untuk kepentingan apa, mereka (seniman.red) lebih memilih adegan yang monoton dari awal sampai akhir pertujukan. Tercatat, hanya adegan keranda itulah yang mengingatkan akan sejarah Bojong Kokosan. Dan itu pun hanya terjadi beberapa menit saja. Tak pelak, penonton yang menanti visualisasi sejarah Bojong Kokosan sedikit mengerutkan dahi. Entah berfikir atau kecewa akan adegan tersebut.

Tapi bagaimanapun juga, fragmen Bojong Kokosan patut diacungi jempol. Pasalnya, di tengah pelupaan sejarah Bojong Kokosan, seniman lintas daerah tersebut masih mampu dan sudi menghadirkan fragmen sejarah yang kini jarang sekali ditemui di tempat-tempat pertujukan, seperti di Gedung Kemuning Gading, salah satu gedung pertunjukan yang sudah sangat jarang menyajikan pertunjukan-pertunjukan berkualitas, baik seni tradisi maupun modern.

Memestakan Budaya Urban

Hilangnya ruang publik yang diperlukan untuk berkreasi dan melakukan pertunjukan melahirkan budaya urban. Budaya tersebut mengumpulkan semua jenis seni yang secara tak sadar terbentuk di jalan, sebagai salah satu tempat bermuaranya semua penciptaan yang tiada habisnya. Tak salah jika banyak generasi muda yang senang dengan budaya urban tersebut. Pasalnya, budaya urban memberi tempat seluas-luasnya terhadap semua bentuk kreasi, mulai dari garapan musik, tari atau dance dan fesyen. Tak dapat dipungkiri, jika budaya urban cepat mendapat tempat di mata generasi muda dibanding budaya tradisional yang banyak memiliki aturan-aturan yang kecil kemungkinannya diubah.

Budaya urban yang lebih dulu dikenal masyarakat adalah musik, yakni hip-hop. Pada awalnya, musik ini adalah budaya daerah pinggiran kota. Jelas, musik jenis ini langsung menggebrak. Sebab, ruh dan tampilan musisinya tampak beda dari kebanyakan musisi lainnya. Hip-hop dan rap dalam musik, break dance atau smurf dalam tari dan seni rupa yang diwakili dengan graffiti menjadi satu bukti bahwa budaya urban sudah menjadi ruh generasi muda di belahan bumi manapun. Selain seni yang disebutkan di atas, fashionn style mulai marak diperbincangkan dan bahkan dipamerkan. Baru-baru ini di Komplek Kuil Myogan, Megamendung, Kabupaten Bogor ratusan kawula muda mengikuti ajang semarak akhir tahun bertajuk Indonesian Dream Festival atau nama bekennya IDeFest 2009.

Salah satu jenis lomba yang digelar adalah pameran fashion stylist. Di mana para pesertanya diberi kebebasan penuh mendesain pakaian. Walhasil, stand pameran tersebut dipenuhi para kawula muda yang ingin menyaksikan rancangan busana dari para peserta. Dan di luar dugaan, ketika kebebasan ekspresi diberi tempat, hasil kreasi dan inovasi generasi muda sungguh luar biasa.

Pameran tersebut sebagai salah satu bentuk perlawanan kaum muda yang saat ini lebih asik memilih menggelar pameran dalam kampus-kampus atau bahkan dalam komunitas tertentu tanpa diketahui masyarakat pada umumnya. Dan ini sudah menjadi satu konsekuensi logis. Ketika budaya urban belum bisa diterima masyarakat luas, mereka (pelaku budaya urban.red) lebih memilih menggelar acara secara diam-diam.

Dan sebagai simbol perlawanan, budaya urban tak lepas dari masalah. Mulai dari penolakan hingga pencemoohan. Banyak kalangan masyarakat yang belum siap menerima budaya tersebut. Sebab menurut mereka, budaya urban sama sekali tidak mencerminkan adat ketimuran yang lebih mengedepankan kesopan-santunan, baik dalam hal apapun. Dan bahkan kata mereka, budaya urban telah merebutlarikan akar budaya ketimuran.

Hadirnya budaya urban di tengah masyarakat bukan semata-mata kesalahan generasi mudanya yang kurang mengenal atau memahami budaya sendiri. Melainkan kurangnya kepedulian para pendahulu yang enggan atau mungkin tak ada waktu untuk melakukan pengkaderan disiplin seni kepada generasi muda. Jadi wajar, ketika sebagian generasi muda lebih asik menggeluti budaya urban daripada budaya tradisional yang dinilainya kurang memiliki daya jual.

Jadi jangan heran, ketika budaya urban cepat diterima generasi muda. Sebab, ekspresi yang ditampilkannya membawa pesan yang sama, yaitu kegelisahan daerah pinggiran kota. Selain itu, budaya urban juga sebagai saksi konteks sosial budaya dan politis yang terjadi pada suatu masa.

Patung & Monumen, Simbol Kota yang Terlupakan

Sebagai simbol dan kebanggaan suatu daerah (baca: kota), keberadaan patung dan monumen di Kota Bogor dipandang sebelah mata bahkan dilupakan. Patung Narkoba yang berdiri di simpang empat Kedung Halang jadi bukti nyata, betapa patung itu kini sudah tak memiliki nilai. Bahkan, patung atau monumen yang seharusnya menjadi alat komunikasi ini tak bernilai seni (estetika).

Bukan maksud menghakimi sang pembuat patung. Tapi, spirit yang coba ditampilkan melalui simbol seorang anak laki-laki dengan pelbagai asesoris yang menunjukkan perlawanan terhadap segala macam bentuk narkoba tak ada. Sebagai simbol komunikatif, Patung Narkoba sedikit berhasil. Akan tetapi keberadaannya terlupakan.

Patung dan monumen yang berdiri di sebuah daerah merupakan simbol-simbol visual dengan fungsi sebagai sarana edukasi, peringatan sejarah perjuangan, estetika, bahkan kerap menjadi ikon kota.

Karena patung itu berada di ruang publik, maka alangkah bijaknya pemerintah setempat menganggarkan dana untuk perawatan. Tapi sayang, hal ini tidak dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor bahkan Kabupaten Bogor, yang konon katanya pengerjaan Patung Narkoba tersebut dilakukan oleh Pemkab Bogor melalui Syafrudin Zaenal yang saat ini menjabat Camat Babakan Madang.

Tak adanya anggaran perawatan atau perbaikan menyiratkan ketidakpedulian dari Pemkot dan Pemkab Bogor akan karya seni. Patung atau monumen saja tak diperhatikan, lantas bagaimana nasib para seniman patung (baca: perupa) di Kota Hujan ini? Sementara, jumlah perupa di Bogor terbilang cukup untuk menyulap Patung Narkoba menjadi satu ikon kota yang bisa dibanggakan. Tidak seperti sekarang.

Sebenarnya, masyarakat juga bisa memiliki dimensi apresiasi andai sejumlah karya seni di ruang publik dipelihara dengan baik. Pada akhirnya, kesempatan untuk berapresiasi tersebut akan memengaruhi perkembangan sebuah masyarakat. Ironisnya, perhatian pemerintah terhadap keberadaan benda seni di ruang publik Kota Bogor sangat minim. Padahal, banyak keuntungan yang sebenarnya dapat diperoleh pemerintah dengan keberadaannya.

Benda seni juga bisa menjadi aset kultural sebuah wilayah. Aset tersebut memiliki potensi yang dapat memberi nilai tambah bagi aspek pariwisata andai Pemkot Bogor memberi perhatian. Lagi-lagi, hal ini kurang diperhatikan. Pemkot Bogor lebih memilih membangun mall dan mengalihfungsikan bangunan-bangunan tua untuk disulap menjadi factory outlet (FO).

Tak seperti di kota-kota besar lain, macam Solo, Bandung, Yogya, dan Semarang. Di kota-kota ini, patung dan monumen pantas dijadikan ikon atau kebanggaan kota tersebut. selain sebagai simbol kota, patung-patung tersebut juga bisa dijadikan sebagai obyek wisata yang tak kalah pentingnya dengan obyek wisata lain.

Di zaman sekarang di mana seni kontemporer mulai berkembang pesat, patung bisa menjadi semacam ‘seni pertunjukan’. Misalnya di beberapa tempat seperti di Kota Solo dan Yogya sering menggelar event-event kesenian di area patung itu sendiri. Sementara itu, di sejumlah negara sering juga mengadakan pameran patung kinetik, istilah patung kinetik dipakai untuk patung yang dirancang untuk bisa bergerak. Beberapa seniman yang membuat karya patung kinetik adalah Marcel Duchamp, Alexander Calder, George Rickey dan Andy Warhol.

Pertanyaannya, mungkinkah Patung Narkoba diubah atau direnovasi menjadi patung yang lebih layak dijadikan ikon Kota Bogor? Kalau mungkin, lantas siapkah Pemkot Bogor memberikan anggaran dananya untuk perbaikan patung tersebut, barangkali tak hanya Patung Narkoba, tapi patung dan monumen yang ada di Bogor? Jika benar ada anggaran dananya, lantas siapakah yang pantas diberi tugas membuat patung yang nantinya akan menjadi kebanggaan warga Bogor? Seniman patung atau orang-orang yang mengambil keuntungan dari proyek tersebut.

Pelukis Jalanan dan Kota Bogor

Ambisi Kota Bogor untuk menjadi kota metropolis telah mengubur impian sebagian besar seniman lukis, khususnya pelukis jalanan yang mengatasnamakan kelompoknya GSJ (Galeri Sisi Jalanan). Impian memiliki galeri atau ruang-ruang pameran, kalah pamor dengan pelbagai bangunan-bangunan mewah dan program yang belum jelas arahnya.

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Istilah inipun lekat dalam setiap jengkal langkah para pelukis yang saban hari menggelar karya di pinggir jalan, tepatnya di samping Kantor Pos, Jalan Juanda, Kota Bogor. Kondisi tersebut jelas bertolakbelakang dengan penjual bunga, yang dengan penuh perhatian, diberi tempat istimewa. Sungguh ironis. Padahal, seni lukis bisa menjadi salah satu aset wisata yang bisa dibanggakan.

Saat ini, seni lukis pinggir jalan adalah fenomena kota. Bentuk seni lukis ini, yang umumnya menggambar potret atau menyalin potret-potret orang terkenal, apakah kaum selebritis ataupun tokoh-tokoh negara, hidup di tengah hiruk pikuk kota metropolitan dengan kecongkakannya. Berbeda dengan pertumbuhan sebagian seni lukis atas yang sibuk dengan “nilai-nilai”, seni lukis pinggir jalan berhadapan dengan realitas sehari-hari pelakunya, dan kebutuhan-kebutuhan praktis konsumennya.

Dalam menjalani kegiatan sehari sebagai pelukis pinggir jalan, tak jarang persoalan yang mereka hadapi seperti pengalaman para pedagang di kaki lima yang senantiasa terancam oleh petugas ketertiban umum. Namun di sisi lain, mereka juga sering berhadapan dengan para pembeli atau konsumen dari kalangan pejabat-pejabat penting yang memesan lukisan dari mereka.

Sebagai pelukis pinggir jalan, mereka senyatanya adalah seniman pinggiran yang tentu kurang mendapat tempat di galeri-galeri di pusat-pusat kota yang kian hari kian marak pertumbuhannya. Padahal, jika kita mau meluangkan perhatian mengkaji teknik dan semangat kerja yang mereka tuangkan, banyak karya-karya mereka yang tidak kalah kuatnya dari segi teknik dari karya-karya pelukis modern lainnya.

Selain itu, sebagai pelukis yang memiliki kemampuan yang memadai, mereka dapat memandang hidup secara lebih realistis dan bijak. Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka membuat lukisan “pesanan”, namun dalam waktu luangnya, mereka membuat karya-karya yang lebih memperlihatkan ungkapan “bebas” mereka sebagai pribadi.

Minimnya ruang pameran di Kota Bogor diakui R. Manggala, pelukis jalanan yang sudah lima tahun menggelar hasil kreativitasnya di pinggir jalan. “Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor kurang peduli dengan kami. Meski dibiarkan menggelar lukisan di pinggir jalan, itu bukan berarti, mereka (Pemkot.red) peduli dan perhatian dengan aktivitas kami. Sudah selayaknya, Kota Bogor memiliki ruang pameran,” ujar Manggala kepada Jurnal Bogor, kemarin.

Menurut pengakuan Manggala, beberapa tahun yang lalu, GSJ pernah berniat menemui Walikota Bogor, Diani Budiarto. Namun, lagi-lagi, sistem birokrasi memupuskan harapan mereka bertemu langsung dengan Walikota Bogor. Keinginan menyampaikan aspirasipun kandas di tengah jalan. “Dulu jumlah kami delapan orang. Kami berniat menemui Walikota. Tapi sayang, birokrasi menghalangi kami menemui orang nomor satu di Kota Bogor ini,” ungkap pelukis yang mentasbihkan diri menggeluti lukis potret itu.

Terlepas dari suara hati pelukis jalanan, agenda-agenda kebudayaan atau apresiasi kesenian pun jarang terlihat. Prioritas untuk agenda kesenian yang besar, justru lahir dari pelbagai kantung-kantung kesenian dan kebudayaan. Inipun tak sertamerta mendapatkan dukungan penuh dari pihak-pihak terkait.

Kendati tak mendapatkan perhatian dari pemerintah, Manggala dan rekan-rekan sesama pelukis tak surut semangat mengenalkan karya-karya di pinggir jalan depan BCA, Jalan Juanda. Baginya, melukis di jalanan memiliki kepuasan tersendiri, terlepas dari keinginan memiliki galeri dan ruang pameran khusus yang memajang karya-karya pelukis Bogor yang saat ini lebih banyak menggelar pameran di luar kota.

Di GSJ ini, hampir semua pelukis memilih jalur lukis foto yang dikemas dengan karikatur. Pasalnya, menurut Manggala, lukis foto lebih diminati sebagian besar warga yang kebetulan lalu-lalang di sekitar Kantor Pos Kota Bogor. Tak jarang, banyak wisatawan mancanegara memesan lukisan kawan-kawan GSJ.

Sejujurnya, dari lubuk hati terdalam, Manggala dan kawan-kawan tak ingin menggelar karya di pinggir jalan. Tapi apa mau dikata, keterbatasan fasilitas dan perhatian pemerintah terhadap kemajuan seni budaya sungguh minim. Perhatian pemerintah yang tampak terlihat adalah ketika Kota Bogor kedatangan tamu asing atau pemerintah daerah lain.

Mereka sibuk menyiapkan diri dan merias tempat-tempat yang sekiranya bakal dikunjungi tamu-tamu tersebut. Segala bentuk kesenian yang dimiliki ditampilkan. Ini sekedar gagah-gagahan atau memang sudah menjadi tradisi? Usai tamu meninggalkan Kota Bogor, perhatian pemerintah kepada seniman turut pergi. Inilah yang saat ini terjadi di Bogor. Pemerintahnya lebih asik membangun pusat-pusat perbelanjaan dan mengusir pedagang kaki lima serta anak jalanan. Inilah wajah Kota Bogor.

Sebagai kota tujuan wisata, sudah sepantasnya pemerintah memerhatikan hal-hal tersebut. Sebab, ruang pameran atau galeri-galeri mampu mendatangkan pengunjung yang fanatik, baik dari luar Kota Bogor maupun dalam kota. Pertanyaannya, beranikah Pemerintah Kota membangun satu ruang pameran yang mampu menampung karya-karya pelukis lokal?

Membincangkan Buku Puisi Bode

1/ Awal Perkenalan
Sekitar pertengahan Oktober 2009, saya mengenal Bode Riswandi, penyair muda potensial Tasikmalaya, Jawa Barat melalui jejaring pertemanan, facebook. Seperti galibnya perkenalan, kami saling tegur-sapa, sesekali membincangkan puisi satu sama lain. Sesekali, saling lempar kritik dan saran. Sungguh pertemanan yang menyenangkan.

Pengaruh jejaring facebook sungguh luar biasa. Karya-karya kami, wabil khusus puisi, melayang, melesat hingga ruang-ruang renung satu sama lain. Tak jarang, selesai menulis puisi, kami bergegas mengantarnya ke beranda facebook.

Ah, lagi-lagi, facebook menjadi ruang diskusi yang menyejukkan. Karena itulah, satu-satunya cara kami memadu komunikasi. Dan komunikasi antara saya dan Bode masih terjaga. Baik lewat pesan singkat, facebook maupun yahoo messenger. Akhir Januari 2010, Bode yang juga sebagai salah satu pengajar di FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Tasikmalaya (Unsil), memposting cover buku puisi berjudul ‘Mendaki Kantung Matamu’ terbitan Ultimus, Bandung.

Cover buku yang didominasi warna merah itu, langsung menghentak pikiran saya. Seketika itu juga saya bertanya dalam diri, inikah buku kumpulan puisi Bode? Sejenak saya terdiam, padahal, dulu sekitar dua bulan ke belakang, Bode tak pernah menyentuh soal buku puisi yang hendak ia terbitkan. Sungguh mengagetkan sekaligus menaruh bangga pada lelaki kelahiran Tasikmalaya 6 November 1983 itu.

Tak menunggu lama, sejak posting cover buku Bode yang diantar oleh Prof. Jakob Sumardjo itu saya lihat, lagi-lagi di jejaring facebook, saya langsung menghubungi Bode, yang kebetulan ketika itu sedang online via facebook. ‘Kapan buku itu terbit?’ tanyaku.

Bode yang karya-karya puisinya sering dimuat di media massa, seperti Jurnal Bogor, Pikiran Rakyat, Lampung Pos dan Bali Pos langsung menjawab, Februari Don, begitu ia menyapa akrab saya. Kebetulan, saya berada dalam sebuah komunitas Ruang 8 Jurnal Bogor, sebuah komunitas yang mengkhususkan diri menghidupkan jejaring komunitas seni budaya di Bogor, langsung menawarkan melaunching buku puisi yang dicetak 1.000 eksemplar itu di Kota Bogor.

Gayung bersambut. Bode yang ketika itu memang sedang merencanakan launching buku di luar kota kelahirannya, Tasikmalaya, mengiyakan tawaran itu. Tawar menawar tanggal pun dilakukan melalui yahoo messenger, seperti percakapan yang sudah-sudah. Akhirnya ditetapkanlah tanggal 3 April 2010 sebagai momentum perjalanan puitik buku puisi ‘Mendaki Kantung Matamu’ ke Kota Bogor, kota yang pada 2005 pernah dikunjungi bersama kawan-kawan di Teater 28. Dan Fakultas Sastra Universitas Pakuan (Unpak) Bogor ditunjuk sebagai tuan rumah launching buku puisinya.

2/ Bogor, 3 April 2010, Pukul 24.00 wib
3 April 2010, dini hari, handphone berdering. Ada pesan singkat dari Bode Riswandi, dia mengabarkan dirinya dan ketiga rekannya sudah ada di depan Kampus Pakuan. Ketika itu, Bogor sedang dilanda angin kencang dan sedikit hujan. Tak berselang lama, saya meluncur ke Kampus Pakuan, di mana dirinya dan ketiga rekannya sedang menikmati makan malam di salah satu warung makan. Gerimis masih saja menjejakkan kaki-kaki mungilnya. Kami pun bergegas meninggalkan kampus Pakuan menerobos gerimis yang hendak menjelma hujan.

3/ Siang itu di Fakultas Sastra Universitas Pakuan
Ruang Mashudi 2 lantai 3 Fakultas Sastra Unpak, siang itu tak seperti biasa. Banyak mahasiswa dan penikmat sastra Bogor berkumpul. Obrolan hal ihwal sastra dan perkembangan sastra di Bogor pun tak luput jadi bahan perbincangan singkat. Di deretan kursi paling depan, tampak Sasongko, Pri dan Dadan Suwarna, ketiganya adalah pengajar di Fakultas Sastra Unpak jurusan Sastra Indonesia.

Dadan Suwarna yang menjadi narasumber acara launching dan bedah buku kumpulan puisi Mendaki Kantung Matamu, karya Bode Riswandi langsung menyentak seisi ruangan dengan mengatakan, puisi tidaklah tercipta dari ruang kosong keadaan, melainkan ia pengalaman atau amatan penyairnya.

Selain itu, Dadan menilai jika intertualitas adalah gejala yang tak terbantahkan. Dalam buku puisi Mendaki Kantung Matamu ini, lanjut Dadan, ada tipikal atau gaya ungkap yang sering dipakai penyair Tasikmalaya, Acep Zamzam Noor, yang diketahui dan diakui Bode, sebagai guru sastranya. “Dalam diri Acep sendiri terdapat Abdul Hadi MW. Bahkan Rendra telah menelurkan banyak pemuja yang hidup pada era kepenyairan 1990-an atau 2000-an,” ujar Dadan.

Lain Dadan, lain Pri. Pengajar mata kuliah Stilistika ini menilai bahwa puisi yang ditawarkan Bode memiliki sebuah gerakan ke arah puncak pencapaian kepenyairan. “Di awal buku puisinya, kepolosan Bode masih terasa. Tapi mulai periode kepenulisan 2009, kematangan seorang Bode mulai jelas terlihat,” kata Pri. Pri merupakan salah satu dosen Sastra Unpak yang mulai dimunculkan Ruang 8 Jurnal Bogor dan Himpunan Mahasiswa Sastra Indonesia (Himsina) ke pentas sastra di Kota Bogor.

Bode pun angkat bicara terkait kesamaan karyanya dengan Acep. “Jujur, saya pengagum Acep. Tapi jika karya saya disamakan dengan Azan (panggilan akrab Acep Zamzam Noor), itu sah-sah saja,” jelas Bode. Dadan pun seolah melindungi penyair muda ini. Dengan tegas Dadan mengatakan, epigonitas kepada sang idola itu wajar. Selama, tak meniru 100 persen. “Intertekstualitas bukanlah plagiarisme. Semata-mata keterpesonaan akan sang tokoh idola pada diri penyairnya. Itulah intertekstualitas,” tegas Dadan.

Menurut Jakob Sumardjo, seperti yang ditulis di pengatar buku puisi tunggal pertamanya ini, kepenyairan Bode berkembang ke arah penyair sufistik. Sajak-sajaknya berpola hubungan timbal-balik antara dunia mikro dan makrokosmos. Bode pun terang-terangan menolak anggapan Prof. Jakob Sumardjo. Sebab, karya-karyanya jarang menyentuh hubungan antara manusia dengan sang pencipta.

4/ Dan Akhirnya
Seperti yang diutarakan Dadan Suwarna, menguji kepenyairan atau perpuisian adalah dalam rentang waktu kemudian. Akankah seseorang jadi penyair abadi, seperti sisa-sisa sentuhan pada Amir Hamzah, Chairil Anwar WS. Rendra dll. Dan akhirnya, buku puisi Mendaki Kantung Matamu karya Bode Riswandi telah mengantarnya terbang melintasi ruang, tempat dan waktu. Bode, seperti kata Acep, adalah salah satu dari sedikit penyair muda Jawa Barat yang potensial. Jika saja ia (Bode.red) terus menjaga intensitas, mentalitas dan integritas sebagai penyair. Begitu..

Menggagas Pertemuan Sastrawan Bogor

Kemarin, Sabtu 1/5, saya bertemu dengan seorang kawan di kampus IPB. Kawan saya itu, selalu gelisah dengan iklim sastra di kota hujan ini. Setiap kali bertemu, entah kebetulan atau dalam acara-acara sastra, kawan saya, yang bukan asli Bogor, tampak kebingunan memetakan sastra di Bogor. ‘Mau dibawa kemana ya sastra di Bogor’. Kerap kali, dia selalu bertanya seperti itu kepada saya.

Siang kemarin, kawan saya, yang juga salah satu penggerak sastra di kampusnya itu, tiba-tiba nyeletuk, mungkinkah ada kegiatan yang bisa mempertemukan sastrawan lintas generasi di Bogor.

Entah habis makan apa dia, tiba-tiba punya gagasan seperti itu. Ini satu wacana yang harus direalisasikan. Sebab, Bogor, kata Ace Sumanta, salah satu sastrawan kahot Bogor, memiliki tradisi sastra yang kuat. Mengingat, Bogor memiliki Fakultas Sastra di Universitas Pakuan. Ini satu nilai tambah, kata Ace, yang juga memiliki kegelisahan yang sama soal iklim sastra di Bogor.

Kawan saya, yang juga alumnus Fakultas Kehutanan IPB itu, terlihat antusias mendeskripsikan idenya. Terlihat, berkali-kali, dia membetulkan tempat duduknya. Siang kemarin, kami bertemu dalam satu ruang perlombaan IPB Art Competition (IAC), sebagai juri baca puisi. Dengan seksama, saya mendengarkan uraian kawan saya. Dalam hati, bertanya, dari mana dia mendapatkan ide cemerlang itu. Ini gagasan yang luar biasa.

Kita harus mulai memetakan sastrawan di Bogor kang, begitu katanya kepada saya. Padahal secara usia, dia jauh lebih tua daripada saya. Tanpa berpikir panjang, saya langsung menerima ajakan tersebut. Kawan saya, yang juga sebagai penggelola Wahana Telisik Sastra (WTS) itu, sedikit demi sedikit menyusun pelbagai agenda, salah satunya mempertemukan dirinya dengan Ace Sumanta.

Setelah meneguk segelas kopi, yang disediakan panitia, dia melanjutkan cerita gagasannya. Pertemuan sastrawan Bogor jangan sebatas silaturahmi antar sastrawan lintas generasi. Melainkan harus merumuskan satu gagasan memajukan sastra di Bogor. Paling tidak untuk mengimbangi dominasi sastra di Jakarta dan Bandung. Sebab, katanya, sastra Bogor kurang maksimal gerakannya. Itu betul, tegas saya.

Meski ini satu gagasan yang mengandung resiko, paling tidak, wacana pertemuan sastrawan Bogor lintas generasi patut mendapat perhatian bersama. Kawan saya itu, bernama Fatkurrahman Abdul Karim, lelaki kelahiran Banyuwangi, 22 Februari 1981, pekerja puisi, dan bergiat di Wahana Telisik Sastra Bogor. Semoga gagasan itu, tak sekedar wacana sepintas lalu. Begitu kawan.

Art Center

Kemarin, salah seorang kawan saya dari Solo, Jawa Tengah mengirim pesan lewat surat elektronik. Intinya, kawan saya itu hendak berkunjung ke Kota Bogor. Jelas, dia tak sekedar mampir makan atau menikmati kopi jelang sore. Dia seorang seniman yang memiliki pengaruh kuat di Solo. Dia kawan satu kampus dengan saya di Solo.

Ada beberapa point penting yang saya catat. Pertama, kedatangan ke Kota Bogor untuk menggelar pertunjukan teater. Kedua, menanyakan prosedur dan ketiga animo masyarakat serta keberadaan art center di kota ini. Pertanyaan pertama, jelas saya sambut dengan senang hati. Pasalnya, di tengah keringnya pementasan teater, kawan saya itu mampu menjadi oase di tengah keringnya iklim teater di Kota Bogor.

Pertanyaan kedua, sama seperti pertanyaan pertama, dapat saya jawab. Tapi kali ini sedikit beretorika. Tak enak jika harus berterus terang, jika prosedur di kota ini, tak sama dengan di Solo, tempat dulu kami menggelar pelbagai pementasan teater. Saya jawab : “Sudah, kamu tenang saja. Masalah perijinan, akan saya kerjakan dengan kawan-kawan di Bogor”. Nah, untuk pertanyaan ketiga, mengenai animo masyarakat dan keberadaan art center, jujur sulit untuk saya jawab.

Selain kering pementasan teater, Kota Bogor juga minim apresiasi dari masyarakat. Ini masih ditambah dengan ketakadaannya art center, pusat berkumpulnya seniman dari pelbagai disiplin ilmu untuk bertukar pikiran. Lewat surat elektronik pula, kawan saya, yang baru pada tahun 2005 mengenal internet, mengirim icon orang tertawa terbahak-bahak. Saya mengerti betul maksud kirimannya itu pada saya.

Memang, jika dibandingkan dengan Solo, terutama masalah art center, Bogor belum ada apa-apanya. Apresiasi masyarakat terhadap pertunjukan pun masih minim. Dengan penuh percaya diri, saya sampaikan kepada kawan saya itu bahwa art center di Bogor akan segera berdiri. Anehnya, kawan saya itu malah mengirim balasannya lewat pesan singkat, bunyinya, “Tingkatkan dulu animo masyarakat, lalu cerdaskan penontonnya, baru bermimpi punya art center”. Kata kawan saya itu, percuma punya art center semegah apapun, jika animo dan apresiasinya minim.

Menelisik Elan Vital Hanna

Di helai daun kangkung aku menulis lembar surat ini.
Bersama aroma darah yang patut dibela
Darah keluarga

(Kepada Adik, Hanna Fransisca)

Kemunculan Hanna Fransisca (HF) di percaturan kesusasteraan Indonesia memperkokoh posisi sastra hibrida. Kumpulan puisi ‘Konde Penyair Han’ (KPH), karya HF disebut Sapardi Djoko Damono (SDD) sebagai salah satu upaya mempertontonkan bahwa sastra hibrida sudah menjadi bagian dari proses kreatif masyarakat. Dan Hanna, lewat kumpulan puisi tersebut membuktikan itu.

Buku terbitan KataKita setebal 141 halaman dengan 66 judul itu makin mendedahkan HF, bahwa etnis Tionghoa patut diperhatikan. Perempuan kelahiran Kota Seribu Kuil, Singkawang, Kalimantan Barat, 31 Mei 1979 itu seakan-akan meminta para pembaca kumpulan puisinya ikut terlibat merasakan perjalanan HF di kota kelahirannya, Singkawang.

Keahlian HF mendeskripsikan kondisi geografis Singkawang, mengingatkan kita kepada penyair Tasikmalaya, Jawa Barat, Acep Zamzam Noor. HF begitu kuat dalam hal ini. Selain itu, HF, dalam mayaoritas puisinya, tak bisa melepaskan diri dari persoalan domestik kaum perempuan, seperti memasak alias kuliner. SDD dan penyair Joko Pinurbo, yang ditunjuk sebagai pembicara diskusi peluncuran buku KPH di Gothe Haus, Gothe Institute, Jakarta pun mengamini hal itu.

Keduanya menilai, HF adalah penyair yang mampu menghadirkan sastra kuliner dengan kejam. Berkali-kali, dalam diskusi yang dimoderatori esais Agus R. Sarjono itu, berkata, HF cukup berhasil membawa pembaca masuk ke dunia yang dilukiskannya. Dunia kuliner yang tak melulu sedap dan lezat.

Menurut SDD, usai diskusi, puisi-puisi HF menyadarkan dirinya bahwa masyarakat Indonesia ini berbagai-bagai, sebagian bahkan hibrid. Dan sastra kita, kata SDD, memang hibrid, itu sebabnya sangat sehat dan jauh lebih kuat dari keadaannya sebelum menjalani penyilangan.

Sementara itu, Joko Pinurbo, seperti yang tertulis dalam pengantar yang tertera dalam agenda acara mengaku tergagap ketika kali pertama melihat warna baju buku tersebut. “Buku ini benar-benar merah,” kata Joko Pinurbo. Bahkan sampul novel karya Iwan Simatupang, Merahnya Merah (1968) warnanya tak sekuat baju HF. Merah menurut etnis Tionghoa membawa keberkahan. Ini simbolik.

Menurut Joko Pinurbo yang ditemui usai diskusi mengatakan, masalah jati diri itu tak sesederhana yang dibayangkan. Persoalannya acapkali pelik, sensitif dan sarat trauma etnis. Dan sekali lagi, HF dengan terang-terangan membuktikan bahwa peranakan etnis Tionghoa di Indonesia tak bisa dilepaskan dari sejarah peradaban bangsa ini. Meski, sejarah kelam pernah HF rasakan. Tentu saja, trauma yang berkepanjangan.

Sejak kecil, saya menyukai kesendirian. Memandang rumputan, memperhatikan capung meluruskan sayap seperti pesawat kecil yang meluncur ke angkasa, juga belalang yang memiliki kaki panjang untuk melompat. Saya juga menyukai warna kupu-kupu, dan seringkali membayangkan bisa terbang dengan sayap warna-warni. Begitu tulis HF dalam kata pengantar buku kumpulan puisi perdananya itu. Begitu.

Sastra Poskolonial Indonesia, Relevankah Diperbincangkan?

Antonio Gramsci (22 January 1891 – 27 April 1937) filsuf Italia, dan juga salah seorang penulis besar di masanya pernah menulis tentang hegemoni – salah satu tanda kemunculan poskolonialisme – dan inilah yang melahirkan konsep Gramscian. Hegemoni sendiri menurut Gramsci merupakan sebuah relasi kuasa di mana terjadi dominasi dan subordinasi, hingga tingkat bahasa, yang sejak awal menjadi ruh perbincangan para poskolonialis.

Isu di atas membentuk satu pengertian yang kini menjadi kelumrahan intelektual. Menurut Radhar Panca Dahana dalam makalah yang disampaikan dalam diskusi sastra yang diselenggarakan oleh Arena Studi dan Apresiasi Sastra (ASAS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, di Lembang belum lama ini, perjalanan dan orientasi sastra modern – jika tak dikendalikan – akan dipengaruhi secara kuat oleh kerja-kerja politik. Kerja-kerja yang menempatkan hegemoni sebagai perangkat utama keberadaannya, mekanisme yang mengalirkan kepentingannya.

Sastra modern Indonesia banyak dianggap sebagai hasil warisan dari politik etis pemerintah kolonial Belanda melalui badan bentukannya, seperti penerbit Balai Pustaka. Dan Radhar meminta pemakluman atas sejarah waris itu. “Sesama pekerja sastra, alangkah baiknya memafhumi bila dalam Balai Pustaka, banyak terdapat kepentingan-kepentingan kolonial. Mulai dari ideology, politik, ekonomi hingga budaya,” kata Radhar.

Dalam Cinta di Zaman Kolonial, Ras dan Roman dalam sebuah Novel Awal di Indonesia karya Paul Tickell, dibahas novel Matahariah karya Mas Maarco Kartodikromo. Karya tersebut mengangkat pemikiran multikulturalisme. Itu disebabkan teksnya ditulis dalam teks heteroglossic, yakni percampuran aneka bahasa, seperti Melayu, Belanda dan Jawa. Tickell menunjukkan bahwa Matahariah memiliki tema hibriditas antara gagasan-gagasan barat dan cara berfikir tokoh-tokoh pribumi yang mengungkapkan peranan ras dan gender masa itu.

Selain cerita percintaan, sastra poskolonial Indonesia juga diwarnai dengan konsep pahlawan, sekaligus wacana colonial tentang ras. Ini bisa kita lihat dalam novel Bumi Manusia, karya Pramoedya Ananta Toer yang dibahas Henk Maier. Dalam esainya yang berjudul Si Tukang Dobrak dan Pintu yang Keropos, Maier mengatakan, Bumi Manusia merupakan dongeng yang kuat sebagai titik tolak peranan pahlawan kebudayaan sekaligus simbol si tokoh, Minke, dalam peranannya melawan arus kolonialisme Belanda dan otoriter rezim Orde Baru.

Menurut Maier, Pram termasuk para pendobrak wacana kolonialisme, mengisyaratkan kebebasan gelisah tetapi menyala-nyala. Akan tetapi, ia juga mengkritik pemikiran Pram yang ditumpahkan dalam karya-karyanya, bahwa Pram hanya menceritakan sebuah dongeng dari pengalamannya, yang akhirnya terlalu fokus pada estetikisme dan otonomi serta keinginan menampung koherensi. Dan masih banyak lagi karya-karya yang mendedahkan sastra poskolonial Indonesia, diantaranya Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang, dan Belenggu. Karya-karya tersebut juga bisa dijadikan penanda sastra pascakolonialisme Indonesia.

Relevankah mengungkit sastra poskolonial Indonesia di tengah dominasi sastra modern – jika boleh disebut demikian – sebab hingga kini, kita acapkali disuguhi pelbagai macam karya sastra yang justeru mengungkit-ungkit kekelaman sejarah bangsa ini. Jadi, masih relevankah?

Napak Tilas Sastra Bogor

Selera bersastra Pemerintah Hindia Belanda pada masa penjajahan di Bogor, sekitar tahun 1752 cukup tinggi. Daerah peristirahatan di sisi selatan Ibukota Jakarta pun dinamai Buitenzorg – yang dalam bahasa Belanda – artinya alam ketenangan. Mengapa Buitenzorg? Sebab, pada masa itu, banyak pelancong luar negeri yang merasa nyaman dan tenang tinggal di daerah yang akhirnya bernama Bogor itu.

Mengapa saya bilang selera bersastra Pemerintah Hindia Belanda cukup tinggi? Tak lain dan tak bukan, nama Buitenzorg sungguh puitis. Alam ketenangan. Ya, inilah salah satu alasan saya berkata demikian, meski masih banyak alasan yang tak mungkin disebutkan satu per satu di rubrik ini. Dan saya pikir, alasan itu bisa diterima bersama. Alam ketenganan. Seperti sebuah judul puisi yang sengaja maupun tidak sengaja diberikan Pemerintah Hindia Belanda.

Kecurigaan asal memberikan nama pun luruh ketika saya mendengar cerita dari pelbagai sumber hal ihwal Bogor masa lalu – yang tentunya jauh dari kemacetan, kesumpekan, bising dan panas. Bogor – kata banyak orang – adalah kota dalam taman. Tentunya ini tak terlepas dari keberadaan Kebun Raya Bogor di pusat Kota Bogor. Selain itu – hingga kini – pohon-pohon berusia tua masih banyak berdiri di sepanjang Jalan Ahmad Yani hingga Sudirman. Identitas Buitenzorg makin kuat. Tapi itu dulu. Kini Bogor, khususnya Kota Bogor, jauh dari kesan Buitenzorg itu.

Bogor dengan pelbagai aktivitas masyarakat urbannya telah menyulap dirinya sendiri. Alam ketenangan yang bagi banyak penulis (cerpen, puisi, novel dan prosa) sering dijadikan tema tulisan berubah menjadi alam kesemerawutan. Dari ketenangan inilah, penulis, budayawan dan negarawan, macam Hatta, Sitor Situmorang, Taufik Ismail, Hamsad Rangkuti, Pamusuk Eneste, Maman S. Mahayana dan Hasan Aspahani lekat dengan alam di Bogor. Meski nama-nama besar itu bukan asli orang Bogor, paling tidak, ada sejarah yang menuliskan bahwa nama-nama besar itu pernah menjejakkan kaki dan kreativitasnya di Bogor – tentunya dengan ketenangan yang disajikan.

Bahkan menurut pengakuan Sitor Situmorang dalam buku catatan kepenyairannya, Bogor merupakan salah satu kota pelarian yang nyaman. Tentu saja, pelarian mencari ide untuk berkarya, khususnya karya sastra, puisi. Bagi Sitor, Bogor menghipnotis dirinya untuk terus menulis. Entah bagi yang lain, tulisnya. Bagi saya, ini adalah kesepakatan bersama, bahwa Bogor merupakan satu daerah Selatan Jakarta yang nyaman untuk berkarya, terutama karya sastra.

Berangkat dari itulah, Ruang 8 Jurnal Bogor dan Wahana Tesilik Seni dan Sastra berencana menggelar hajatan bersama bertajuk Festival Sastra Bogor 2010. Penamaan itu bukan dimaksudkan sebagai upaya gagah-gagahan dan mencari sensasi, melainkan sebagai satu bentuk usaha kelahiran iklim bersastra di Bogor. Jika menilik sejarah, warga Bogor patut berbangga diri. Pasalnya, banyak penulis besar Indonesia menjejakkan karyanya di Bogor.

Mengapa saya memberi judul tulisan ini Napak Tilas Sastra Bogor? karena menurut saya, ada sebuah keterputusan sejarah yang mesti segera dicarikan solusinya. Keterputusan itu, tak terlepas dari adanya Fakultas Sastra Universitas Pakuan (Unpak) Bogor, yang hingga kini belum nyata kontribusinya bagi kemajuan sastra di Bogor. Karya-karya – baik puisi, cerpen dan novel – yang ditelurkan mahasiswa sastra Pakuan pun tak banyak dimuat media lokal maupun nasional (jika ukurannya dilihat dari seberapa seringkah karya dimuat di media).

Festival Sastra Bogor 2010 adalah sebagian kecil upaya komunitas sastra Bogor menggeliatkan iklim bersastra di Bogor.