Waktu demi waktu terus berlalu. Masa dan tempat semakin membuat si air terlena. Suatu hari ia bersua dengan minyak. Alangkah terkejutnya air melihat perilaku dan keluwesan minyak. Kedudukan minyak mulai mengusik keberadaan air. Awalnya, hal ini tidak digubris oleh air. Tapi, lama-kelamaan cukup mengganggu integritasnya. Simpel saja, si minyak senantiasa berada di atas permukaan dirinya.

Dengan malu-malu, sambil berbisik-bisik, sang air menanyakan kepada minyak. “Mengapa engkau senantiasa ada di atas saya, wahai minyak?”

Dengan penuh kearifan, sang minyak mengatakan, “Duhai, sang air. Perhatikan diri Hamba Allah yang lemah ini. Terbentuknya saya yang lemah ini karena senantiasa berada dalam tempaan demi tempaan. Ratusan juta hingga milyaran tahun yang lampau, kita pernah hidup berdampingan. Ingatkah engkau masa-masa Adam tersebut? Pasti engkau ingat. Saya terkubur di kedalaman yang tiada terkira dalamnya hingga masa yang panjang tak dapat diukur.”

“Kini, engkau tahu. Betapa kemuliaan ini bisa teraih, tidak datang begitu saja. Karunia ini turun, karena saya telah lulus pada masa-masa yang sangat sulit untuk dibayangkan pada masa sekarang.”

“Engkau lihat kini keadaan saya. Saya bisa menghadirkan terang, tatkala kegelapan datang. Setiap insan mencari-cari saya untuk bahan bakar api yang mereka rancang.”

“Di dunia akhir zaman ini, betapa keadaan saya demikian dicari-carinya. Kedudukan saya yang sedemikian rupa ini, saya rasa, engkau sudah bisa memahaminya lebih jauh lagi.”

“Aduhai air. Berbagai unsur zarah yang membentuk kita ini, sebenarnya janganlah membuat diri kita lalai. Fastaqul khairat. Maka, engkau akan mengetahui, siapakah yang paling mulia di mata dan di sisi Tuhan kita, Allah subhaanaHu wa ta’aalaa.” Sang air akhirnya mengerti.

Begitulah dengan kita, sebagai manusia tentunya kedudukan kita dihadapan Allah sama saja kecuali orang yang bertaqwa. Dengan tempaan ujian hiduplah yang membuat manusia semakin terasah dan teruji. Manusia semakin matang dan sempurna kualitasnya. Hendaknya kita mengerti.