Sebagai situs purbakala terluas di Indonesia, keberadaan Kompleks Candi Muaro Jambi amat memprihatinkan. Padahal, candi yang terletak di Desa Muaro Jambi, Kecamatan Muaro Sebo, Kabupaten Muara Jambi menjadi bukti bahwa kerajaan Melayu pernah beribukota di Muaro Jambi. Dengan nilai teramat penting bagi ilmu pengetahuan, kilau Candi Muaro Jambi justru tersembunyi dari peradaban.
‘Selamat Datang di Kompleks Situs Percandian Muaro Jambi’. Sapaan lewat tulisan yang hampir pudar dan posisi papannya agak miring tersebut menjadi saksi dimana situs tersebut kurang mendapatkan perhatian instansi terkait. Setelah melewati gapura itu, saya yang kebetulan berkesempatan pergi ke situs peninggalan kerajaan Melayu tersebut tak melihat ada sambutan lagi bagi calon pengunjung. Kios-kios-pun tampak kosong, dan tak terawat. Sekitar 20 meter dari gapura, tampak tempat loket yang lagi-lagi tak berpenghuni. Ini sungguh disayangkan.
Kendati jaraknya dari Ibukota Provinsi Jambi sekitar 40 kilometer, tapi untuk mencapai ke Muaro Jambi dapat menggunakan dua jalur, darat dan air. Kompleks ini tak jauh dari daerah aliran sungai Batanghari. Candi dengan luas mencapai 12 kilometer tersebut merupakan kawasan ibadat Budha. Candi ini kali pertama ditemukan oleh tentara Inggris bernama SC Crooke pada tahun 1820. Menurut Dasril, petugas Museum Candi Muaro Jambi, kompleks tersebut memiliki 80-an candi dan sembilan candi berukuran besar.
Kesembilan candi besar tersebut, di antaranya Candi Kotomahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Gumpung, Candi Tinggi, Telago Rajo, Candi Kembar Batu dan Candi Astano.
Dari sembilan candi besar tersebut, enam di antaranya selesai dipugar. Uniknya, candi di Muaro Jambi selalu dikelilingi kanal. Ini menunjukkan, transportasi air sanagt akrab di kalangan masyarakat. Akan tetapi, kanal-kanal itu kini tertutup tanah dan semak belukar, sehingga tak dapat digunakan lagi.
Candi Gedong I terhitung unik di kompleks candi Muaro Jambi. Tak diketahui secara pasti kapan candi ini dibangun. Luas halamannya sekitar 500-an meter persegi, terdiri dari bangunan induk dan gapura. Bentuknya sangat berbeda dengan candi umumnya di Pulau Jawa. Candi tak dibuat dari batu alam, tapi dari batu bata. Pada tiap bata merah, terdapat pahatan relief. Sebagian dari bata ini ada yang disimpan di museum.
“Semua candi terbuat dari batu bata. Jadi, untuk pemugaran semua candi itu sudah renovasi. Sekarang sudah menggunakan semen untuk lemnya. Dulu kami belum tahu pakai apa untuk lemnya. Jadi, sekarang sudah pakai semen untuk perekatnya,” kata Dasril.
Selain candi, komplek Muaro Jambi banyak memiliki benda bersejarah yang tak ternilai harganya. Kini, barang-barang itu disimpan di museum, seperti Arca Gajah Singa, dan Arca Dwarapala.
Arca Dwarapala, ditemukan di Candi Gedong pada tahun 2002. Sebetulnya ini dua arca, cuma satu yang kita temukan. Kalau dulu fungsinya sebagai penjaga gerbang, kalau sekarang katakanlah sekuritinya atau satpamnya. Satu arca lagi adalah Arca Prajnaparamita, dewi perlambang kesuburan. Sayang, beberapa bagian arca ini belum ditemukan seperti tangan dan kepalanya.
“Arca tersebut ditemukan di Candi Gumpung. Sayangnya sampe sekarang kepalanya belum ditemukan. Ini perempuan, ini adalah suatu lambang suci agama Budha,” ungkapnya.
Di museum ini juga tersimpan belanga dari perunggu seberat 160 kilogram, tingginya 60-an sentimeter, dengan diameter lubang belanga sekitar satu meter. Belanga ini diduga sebagai salah satu alat ritual umat Budha aliran Tantrayana.
Benda-benda purbakala bersejarah di Kompleks Candi Muaro Jambi sungguh tak ternilai harganya. Tapi harta ini terbengkalai, kesepian dan tak terurus mengingat prasarana tidak diperhatikan. Jalan rusak menuju candi, tak ada sarana transportasi memadai, fasilitas yang tersedia pun payah.
Kalau dilihat dari sejarahnya, candi tersebut termasuk candi yang lebih tua daripada candi Borobudur yang ada di Magelang, Jawa Tengah. Luasnya juga jauh lebih besar. Dan disini juga dulu ada kerajaan Sriwijaya yang memang tempat keberadaan candi di Muaro Jambi. Ini salah satu kekayaan besar bagi negara ini.
Di Tanah Pilih Pesako Betuah tersebut, situs peninggalan sejarah kurang diperhatikan. Ini sama halnya dengan kota-kota lain di Pulau Jawa, seperti Kota dan Kabupaten Bogor. Di tempat ini, situs-situs purbakala yang dapat dijadikan aset kunjungan wisata kurang tergarap maksimal.
Sebagai kota mitra Ibukota Jakarta, Bogor menjadi satu kota alternatif kunjungan wisatawan, baik asing maupun lokal. Tapi sayang, hal ini malah terabaikan. Sungguh ironis. Kemegahan Istana Bogor dan Kebun Raya malah menenggelamkan sejumlah situs-situs berharga lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar