01 Oktober 2010

Memestakan Budaya Urban

Hilangnya ruang publik yang diperlukan untuk berkreasi dan melakukan pertunjukan melahirkan budaya urban. Budaya tersebut mengumpulkan semua jenis seni yang secara tak sadar terbentuk di jalan, sebagai salah satu tempat bermuaranya semua penciptaan yang tiada habisnya. Tak salah jika banyak generasi muda yang senang dengan budaya urban tersebut. Pasalnya, budaya urban memberi tempat seluas-luasnya terhadap semua bentuk kreasi, mulai dari garapan musik, tari atau dance dan fesyen. Tak dapat dipungkiri, jika budaya urban cepat mendapat tempat di mata generasi muda dibanding budaya tradisional yang banyak memiliki aturan-aturan yang kecil kemungkinannya diubah.

Budaya urban yang lebih dulu dikenal masyarakat adalah musik, yakni hip-hop. Pada awalnya, musik ini adalah budaya daerah pinggiran kota. Jelas, musik jenis ini langsung menggebrak. Sebab, ruh dan tampilan musisinya tampak beda dari kebanyakan musisi lainnya. Hip-hop dan rap dalam musik, break dance atau smurf dalam tari dan seni rupa yang diwakili dengan graffiti menjadi satu bukti bahwa budaya urban sudah menjadi ruh generasi muda di belahan bumi manapun. Selain seni yang disebutkan di atas, fashionn style mulai marak diperbincangkan dan bahkan dipamerkan. Baru-baru ini di Komplek Kuil Myogan, Megamendung, Kabupaten Bogor ratusan kawula muda mengikuti ajang semarak akhir tahun bertajuk Indonesian Dream Festival atau nama bekennya IDeFest 2009.

Salah satu jenis lomba yang digelar adalah pameran fashion stylist. Di mana para pesertanya diberi kebebasan penuh mendesain pakaian. Walhasil, stand pameran tersebut dipenuhi para kawula muda yang ingin menyaksikan rancangan busana dari para peserta. Dan di luar dugaan, ketika kebebasan ekspresi diberi tempat, hasil kreasi dan inovasi generasi muda sungguh luar biasa.

Pameran tersebut sebagai salah satu bentuk perlawanan kaum muda yang saat ini lebih asik memilih menggelar pameran dalam kampus-kampus atau bahkan dalam komunitas tertentu tanpa diketahui masyarakat pada umumnya. Dan ini sudah menjadi satu konsekuensi logis. Ketika budaya urban belum bisa diterima masyarakat luas, mereka (pelaku budaya urban.red) lebih memilih menggelar acara secara diam-diam.

Dan sebagai simbol perlawanan, budaya urban tak lepas dari masalah. Mulai dari penolakan hingga pencemoohan. Banyak kalangan masyarakat yang belum siap menerima budaya tersebut. Sebab menurut mereka, budaya urban sama sekali tidak mencerminkan adat ketimuran yang lebih mengedepankan kesopan-santunan, baik dalam hal apapun. Dan bahkan kata mereka, budaya urban telah merebutlarikan akar budaya ketimuran.

Hadirnya budaya urban di tengah masyarakat bukan semata-mata kesalahan generasi mudanya yang kurang mengenal atau memahami budaya sendiri. Melainkan kurangnya kepedulian para pendahulu yang enggan atau mungkin tak ada waktu untuk melakukan pengkaderan disiplin seni kepada generasi muda. Jadi wajar, ketika sebagian generasi muda lebih asik menggeluti budaya urban daripada budaya tradisional yang dinilainya kurang memiliki daya jual.

Jadi jangan heran, ketika budaya urban cepat diterima generasi muda. Sebab, ekspresi yang ditampilkannya membawa pesan yang sama, yaitu kegelisahan daerah pinggiran kota. Selain itu, budaya urban juga sebagai saksi konteks sosial budaya dan politis yang terjadi pada suatu masa.

Tidak ada komentar: