Filsuf Jerman, Ludwig von Wittgenstein berkata “Die Grenzen meiner Sprache bedeuten die Grenzen meniner Welt” yang dalam bahasa Indonesia berarti batas bahasaku adalah batas duniaku. Lantas apa hubungannya dengan judul tulisan ini?
Di bulan Ramadhan, seperti sekarang, istilah ‘buka puasa’ sudah sering kita dengar dan ucapkan. Hampir setiap hari menjelang adzan Magrib – tentunya dengan jam yang berbeda di setiap daerah – seluruh umat Islam melakukan aktivitas buka puasa. Entah sendiri, bersama keluarga atau bersama rekan-rekan semasa sekolah, kuliah atau rekan kantor. Istilah buka puasa tak lagi menjadi asing di telinga kita.
Lantas ‘Buka Puisi’? Apakah memiliki korelasi dengan aktivitas di bulan Ramadhan? Apakah sama dengan aktivitas buka puasa? Ya, pasti pembaca akan menanyakan korelasi judul itu dengan segudang aktivitas di bulan puasa ini.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan, puasa berarti menghindari makan, minum, dsb dng sengaja (terutama bertalian dng keagamaan); 2 n Isl salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yg membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari; saum. Jadi buka puasa adalah aktivitas membatalkan pantangan makan, minum dan lain sebagainya.
Sedangkan Puisi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan memiliki arti 1 ragam sastra yg bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait; 2 gubahan dl bahasa yg bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus; 3 sajak. Jadi, buka puisi adalah aktivitas membuka ragam sastra yang bahasanya terikat dengan pelbagai cara.
Apa jadinya jika dua aktivitas berbeda itu disatukan dalam satu momentum. Artinya, dapatkah buka puisi dilakukan waktu buka puasa? Atau sebaliknya, buka puasa sambil buka puisi.
Baru-baru ini, di Komunitas Salihara, Jakarta, digelar Mendaras Puisi. Panitia memilih 4 penyair untuk mendaraskan puisinya di hadapan penonton usai Shalat Tarawih, tepatnya pukul 20.00 wib. Keempat penyair itu, Joko Pinurbo, D. Zawawi Imron, Remy Sylado dan Acep Zamzam Noor. Keempat penyair ini dianggap panitia menggarap tradisi keagamaan tempat mereka lahir dan tumbuh, tanpa menundukkan sastra di kaki panglima agama.
Mendaras Puisi, merupakan aktivitas apresiasi sastra di bulan Ramadhan. Artinya, meski umat Islam sedang khusyuk menjalankan rukun Islam yang ketiga – puasa – aktivitas bersastra tetap berjalan tanpa mengganggu satu sama lain. Bagaimana di Bogor?
Sebagai mitra Kota Jakarta, Bogor tak mau ketinggalan. Apresiasi seni bertajuk ‘Ngabuburit Teater I’tibar’ MAN 2 Kota Bogor akan menjadi bukti bahwa di bulan Ramadhan tahun ini, aktivitas kesenian tetap ada. Acara itu akan digelar, Jumat, 3 September 2010, pukul 15.00 wib bertempat di Aula MAN 2 Kota Bogor.
Galibnya kelompok teater dimanapun berada, ngabuburit atau menanti waktu buka puasa, pasti akan diisi dengan sejumlah pertunjukan. Informasi yang saya terima, ada beberapa guru – yang jelas bukan hanya guru bahasa Indonesia dan guru seni – akan tampil membacakan puisi sembari menunggu bedug adzan Magrib. Usai parade pembacaan puisi – masih menurut informasi yang saya terima – anggota Teater I’tibar yang digawangi Neno Suhartini, guru seni budaya MAN 2 Kota Bogor tampil sebagai acara puncak. Bentuk pementasannya, masih dirahasikan, kata Neno lewat pesan singkatnya.
Menurut Neno, acara ini terbuka untuk umum. Artinya, siapa pun orangnya, bukan saja warga MAN 2 Bogor, boleh ikut atau menyaksikan apresiasi seni di bulan Ramadhan ini. Tentunya dengan tidak mengurangi pahala puasa Anda.
Saya bayangkan, buka puasa sambil berbuka puisi. Semoga tak menjadi batas dunia dan batas bahasa. Selamat Menunaikan Ibadah Puisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar