Selera bersastra Pemerintah Hindia Belanda pada masa penjajahan di Bogor, sekitar tahun 1752 cukup tinggi. Daerah peristirahatan di sisi selatan Ibukota Jakarta pun dinamai Buitenzorg – yang dalam bahasa Belanda – artinya alam ketenangan. Mengapa Buitenzorg? Sebab, pada masa itu, banyak pelancong luar negeri yang merasa nyaman dan tenang tinggal di daerah yang akhirnya bernama Bogor itu.
Mengapa saya bilang selera bersastra Pemerintah Hindia Belanda cukup tinggi? Tak lain dan tak bukan, nama Buitenzorg sungguh puitis. Alam ketenangan. Ya, inilah salah satu alasan saya berkata demikian, meski masih banyak alasan yang tak mungkin disebutkan satu per satu di rubrik ini. Dan saya pikir, alasan itu bisa diterima bersama. Alam ketenganan. Seperti sebuah judul puisi yang sengaja maupun tidak sengaja diberikan Pemerintah Hindia Belanda.
Kecurigaan asal memberikan nama pun luruh ketika saya mendengar cerita dari pelbagai sumber hal ihwal Bogor masa lalu – yang tentunya jauh dari kemacetan, kesumpekan, bising dan panas. Bogor – kata banyak orang – adalah kota dalam taman. Tentunya ini tak terlepas dari keberadaan Kebun Raya Bogor di pusat Kota Bogor. Selain itu – hingga kini – pohon-pohon berusia tua masih banyak berdiri di sepanjang Jalan Ahmad Yani hingga Sudirman. Identitas Buitenzorg makin kuat. Tapi itu dulu. Kini Bogor, khususnya Kota Bogor, jauh dari kesan Buitenzorg itu.
Bogor dengan pelbagai aktivitas masyarakat urbannya telah menyulap dirinya sendiri. Alam ketenangan yang bagi banyak penulis (cerpen, puisi, novel dan prosa) sering dijadikan tema tulisan berubah menjadi alam kesemerawutan. Dari ketenangan inilah, penulis, budayawan dan negarawan, macam Hatta, Sitor Situmorang, Taufik Ismail, Hamsad Rangkuti, Pamusuk Eneste, Maman S. Mahayana dan Hasan Aspahani lekat dengan alam di Bogor. Meski nama-nama besar itu bukan asli orang Bogor, paling tidak, ada sejarah yang menuliskan bahwa nama-nama besar itu pernah menjejakkan kaki dan kreativitasnya di Bogor – tentunya dengan ketenangan yang disajikan.
Bahkan menurut pengakuan Sitor Situmorang dalam buku catatan kepenyairannya, Bogor merupakan salah satu kota pelarian yang nyaman. Tentu saja, pelarian mencari ide untuk berkarya, khususnya karya sastra, puisi. Bagi Sitor, Bogor menghipnotis dirinya untuk terus menulis. Entah bagi yang lain, tulisnya. Bagi saya, ini adalah kesepakatan bersama, bahwa Bogor merupakan satu daerah Selatan Jakarta yang nyaman untuk berkarya, terutama karya sastra.
Berangkat dari itulah, Ruang 8 Jurnal Bogor dan Wahana Tesilik Seni dan Sastra berencana menggelar hajatan bersama bertajuk Festival Sastra Bogor 2010. Penamaan itu bukan dimaksudkan sebagai upaya gagah-gagahan dan mencari sensasi, melainkan sebagai satu bentuk usaha kelahiran iklim bersastra di Bogor. Jika menilik sejarah, warga Bogor patut berbangga diri. Pasalnya, banyak penulis besar Indonesia menjejakkan karyanya di Bogor.
Mengapa saya memberi judul tulisan ini Napak Tilas Sastra Bogor? karena menurut saya, ada sebuah keterputusan sejarah yang mesti segera dicarikan solusinya. Keterputusan itu, tak terlepas dari adanya Fakultas Sastra Universitas Pakuan (Unpak) Bogor, yang hingga kini belum nyata kontribusinya bagi kemajuan sastra di Bogor. Karya-karya – baik puisi, cerpen dan novel – yang ditelurkan mahasiswa sastra Pakuan pun tak banyak dimuat media lokal maupun nasional (jika ukurannya dilihat dari seberapa seringkah karya dimuat di media).
Festival Sastra Bogor 2010 adalah sebagian kecil upaya komunitas sastra Bogor menggeliatkan iklim bersastra di Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar