01 Oktober 2010

Sastra Poskolonial Indonesia, Relevankah Diperbincangkan?

Antonio Gramsci (22 January 1891 – 27 April 1937) filsuf Italia, dan juga salah seorang penulis besar di masanya pernah menulis tentang hegemoni – salah satu tanda kemunculan poskolonialisme – dan inilah yang melahirkan konsep Gramscian. Hegemoni sendiri menurut Gramsci merupakan sebuah relasi kuasa di mana terjadi dominasi dan subordinasi, hingga tingkat bahasa, yang sejak awal menjadi ruh perbincangan para poskolonialis.

Isu di atas membentuk satu pengertian yang kini menjadi kelumrahan intelektual. Menurut Radhar Panca Dahana dalam makalah yang disampaikan dalam diskusi sastra yang diselenggarakan oleh Arena Studi dan Apresiasi Sastra (ASAS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, di Lembang belum lama ini, perjalanan dan orientasi sastra modern – jika tak dikendalikan – akan dipengaruhi secara kuat oleh kerja-kerja politik. Kerja-kerja yang menempatkan hegemoni sebagai perangkat utama keberadaannya, mekanisme yang mengalirkan kepentingannya.

Sastra modern Indonesia banyak dianggap sebagai hasil warisan dari politik etis pemerintah kolonial Belanda melalui badan bentukannya, seperti penerbit Balai Pustaka. Dan Radhar meminta pemakluman atas sejarah waris itu. “Sesama pekerja sastra, alangkah baiknya memafhumi bila dalam Balai Pustaka, banyak terdapat kepentingan-kepentingan kolonial. Mulai dari ideology, politik, ekonomi hingga budaya,” kata Radhar.

Dalam Cinta di Zaman Kolonial, Ras dan Roman dalam sebuah Novel Awal di Indonesia karya Paul Tickell, dibahas novel Matahariah karya Mas Maarco Kartodikromo. Karya tersebut mengangkat pemikiran multikulturalisme. Itu disebabkan teksnya ditulis dalam teks heteroglossic, yakni percampuran aneka bahasa, seperti Melayu, Belanda dan Jawa. Tickell menunjukkan bahwa Matahariah memiliki tema hibriditas antara gagasan-gagasan barat dan cara berfikir tokoh-tokoh pribumi yang mengungkapkan peranan ras dan gender masa itu.

Selain cerita percintaan, sastra poskolonial Indonesia juga diwarnai dengan konsep pahlawan, sekaligus wacana colonial tentang ras. Ini bisa kita lihat dalam novel Bumi Manusia, karya Pramoedya Ananta Toer yang dibahas Henk Maier. Dalam esainya yang berjudul Si Tukang Dobrak dan Pintu yang Keropos, Maier mengatakan, Bumi Manusia merupakan dongeng yang kuat sebagai titik tolak peranan pahlawan kebudayaan sekaligus simbol si tokoh, Minke, dalam peranannya melawan arus kolonialisme Belanda dan otoriter rezim Orde Baru.

Menurut Maier, Pram termasuk para pendobrak wacana kolonialisme, mengisyaratkan kebebasan gelisah tetapi menyala-nyala. Akan tetapi, ia juga mengkritik pemikiran Pram yang ditumpahkan dalam karya-karyanya, bahwa Pram hanya menceritakan sebuah dongeng dari pengalamannya, yang akhirnya terlalu fokus pada estetikisme dan otonomi serta keinginan menampung koherensi. Dan masih banyak lagi karya-karya yang mendedahkan sastra poskolonial Indonesia, diantaranya Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang, dan Belenggu. Karya-karya tersebut juga bisa dijadikan penanda sastra pascakolonialisme Indonesia.

Relevankah mengungkit sastra poskolonial Indonesia di tengah dominasi sastra modern – jika boleh disebut demikian – sebab hingga kini, kita acapkali disuguhi pelbagai macam karya sastra yang justeru mengungkit-ungkit kekelaman sejarah bangsa ini. Jadi, masih relevankah?

Tidak ada komentar: