01 Oktober 2010

Menelisik Elan Vital Hanna

Di helai daun kangkung aku menulis lembar surat ini.
Bersama aroma darah yang patut dibela
Darah keluarga

(Kepada Adik, Hanna Fransisca)

Kemunculan Hanna Fransisca (HF) di percaturan kesusasteraan Indonesia memperkokoh posisi sastra hibrida. Kumpulan puisi ‘Konde Penyair Han’ (KPH), karya HF disebut Sapardi Djoko Damono (SDD) sebagai salah satu upaya mempertontonkan bahwa sastra hibrida sudah menjadi bagian dari proses kreatif masyarakat. Dan Hanna, lewat kumpulan puisi tersebut membuktikan itu.

Buku terbitan KataKita setebal 141 halaman dengan 66 judul itu makin mendedahkan HF, bahwa etnis Tionghoa patut diperhatikan. Perempuan kelahiran Kota Seribu Kuil, Singkawang, Kalimantan Barat, 31 Mei 1979 itu seakan-akan meminta para pembaca kumpulan puisinya ikut terlibat merasakan perjalanan HF di kota kelahirannya, Singkawang.

Keahlian HF mendeskripsikan kondisi geografis Singkawang, mengingatkan kita kepada penyair Tasikmalaya, Jawa Barat, Acep Zamzam Noor. HF begitu kuat dalam hal ini. Selain itu, HF, dalam mayaoritas puisinya, tak bisa melepaskan diri dari persoalan domestik kaum perempuan, seperti memasak alias kuliner. SDD dan penyair Joko Pinurbo, yang ditunjuk sebagai pembicara diskusi peluncuran buku KPH di Gothe Haus, Gothe Institute, Jakarta pun mengamini hal itu.

Keduanya menilai, HF adalah penyair yang mampu menghadirkan sastra kuliner dengan kejam. Berkali-kali, dalam diskusi yang dimoderatori esais Agus R. Sarjono itu, berkata, HF cukup berhasil membawa pembaca masuk ke dunia yang dilukiskannya. Dunia kuliner yang tak melulu sedap dan lezat.

Menurut SDD, usai diskusi, puisi-puisi HF menyadarkan dirinya bahwa masyarakat Indonesia ini berbagai-bagai, sebagian bahkan hibrid. Dan sastra kita, kata SDD, memang hibrid, itu sebabnya sangat sehat dan jauh lebih kuat dari keadaannya sebelum menjalani penyilangan.

Sementara itu, Joko Pinurbo, seperti yang tertulis dalam pengantar yang tertera dalam agenda acara mengaku tergagap ketika kali pertama melihat warna baju buku tersebut. “Buku ini benar-benar merah,” kata Joko Pinurbo. Bahkan sampul novel karya Iwan Simatupang, Merahnya Merah (1968) warnanya tak sekuat baju HF. Merah menurut etnis Tionghoa membawa keberkahan. Ini simbolik.

Menurut Joko Pinurbo yang ditemui usai diskusi mengatakan, masalah jati diri itu tak sesederhana yang dibayangkan. Persoalannya acapkali pelik, sensitif dan sarat trauma etnis. Dan sekali lagi, HF dengan terang-terangan membuktikan bahwa peranakan etnis Tionghoa di Indonesia tak bisa dilepaskan dari sejarah peradaban bangsa ini. Meski, sejarah kelam pernah HF rasakan. Tentu saja, trauma yang berkepanjangan.

Sejak kecil, saya menyukai kesendirian. Memandang rumputan, memperhatikan capung meluruskan sayap seperti pesawat kecil yang meluncur ke angkasa, juga belalang yang memiliki kaki panjang untuk melompat. Saya juga menyukai warna kupu-kupu, dan seringkali membayangkan bisa terbang dengan sayap warna-warni. Begitu tulis HF dalam kata pengantar buku kumpulan puisi perdananya itu. Begitu.

Tidak ada komentar: