Tembok hitam. Ya, itulah nama yang diberikan warga Bogor untuk dinding yang hingga kini kokoh berdiri di pintu masuk Botani Square, Kota Bogor. Sejak dibangun pada tahun 90-an, ‘tembok hitam’ itu menjadi saksi bisu banyaknya aktivitas kesenian yang terjadi di kota ini. Mulai dari pameran lukisan hingga aksi teaterikal kelompok teater pelajar, mahasiswa dan umum.
Pada masa lalu – dan mungkin hingga sekarang – ‘tembok hitam’ tercatat sebagai salah satu tempat ‘wajib’ bagi seniman Bogor menggelar pertunjukan atau pameran. Pernah – pada waktu itu – ada istilah di kalangan seniman Bogor : kalau belum pentas atau pameran di ‘tembok hitam’ belum disebut seniman. Istilah ini serupa dengan di kota-kota lain, macam Bandung, Jakarta, Solo, Yogyakarta dan Semarang.
Sejak geliat bisnis di Kota Bogor, khususnya yang terjadi di Botani Square, tinggi dan mencuri perhatian warga untuk hidup konsumtif, aktivitas berkesenian mulai lesu. ‘tembok hitam’ beralih menjadi area pedagang kaki lima (PKL). Sungguh, PKL telah menggusur art center itu. Bagi saya, ‘tembok hitam’ sungguh ideal disebut art center.
Bayangkan. Letaknya di pusat keramaian, di sekitar tugu kebanggaan warga Bogor, Tugu Kujang. Di pusat arus lalu-lintas yang setiap akhir pekan menyebabkan kemacetan luar biasa. Tempatnya terbuka. Artinya, ketika ada aktivitas kesenian sekecil apapun, akan dengan mudah terlihat. Dan satu lagi, akhir-akhir ini, di sekitar ‘tembok hitam’, khususnya menjelang pergantian sore ke malam, banyak dimanfaatkan warga Bogor untuk bersantai. Sungguh ideal bukan?
Namun seiring iklim perpolitikan di Bogor dan nasional kian panas, ‘tembok hitam’ kembali menjadi saksi. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi pergerakan memanfaatkan dinding tersebut sebagai papan provokasi dan saling hujat.
Visualisasinya pun bermacam-macam. Ada dengan menempel spanduk, ada pula dengan aksi demonstrasi. Ini tak bisa dihindari. Pasalnya, letak ‘tembok hitam’ sangat sentral. Dan cocok sebagai tempat menyuarakan kegelisahan.
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Diploma IPB yang bergerak di bidang fotografi, Obscura menangkap kegelisahan itu. ‘tembok hitam’ tak dibiarkan diam. Riska Hasnawaty, Ketua Obscura Diploma IPB dengan berani menggelar Pameran Fotografi bertajuk The Power of Digital Photography, hari ini, Minggu 22/8. Kata Riska, ini kali keduanya Obscura menggelar pameran fotografi di ‘tembok hitam’.
Sebanyak 40 karya hasil jepretan anggota Obscura akan dipajang di dinding itu. Tujuannya tak lain, menghasut warga Bogor untuk menghidupkan kembali public area itu. “Pameran ini baru kali pertama ada di Bogor. Kalau di kota-kota lain sih sudah sering. Jujur, saya iri dengan aktivitas berkreasi di kota lain,” kata Riska kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dan apa yang dilakukan sekarang, adalah pengulangan tahun lalu. Menurut pengakuan Riska, pameran fotografi tahun lalu menuai kesuksesan. Artinya, target menarik perhatian warga Bogor terpenuhi. “Banyak warga yang hendak masuk ke Botani Square menyempatkan diri menyimak jepretan mahasiswa Diploma IPB. Dan semoga kali ini lebih sukses dari tahun lalu,” harapnya.
Terlepas dari aktivitas yang kini digelar Obscura, saya bayangkan ada satu strategi khusus menghidupkan kembali geliat kesenian di ‘Tembok Hitam’. Ada satu rangsangan yang harus dimunculkan secara sabar dan telaten agar seniman-seniman Bogor – dari pelbagi jenis disiplin kesenian – dengan senang hati menggelar aktivitas berkesenian di area ‘tembok hitam’.
Mungkin bisa dibuat penjadwalan aktivitas. Maksudnya, ada agenda – tentunya dengan kesepakatan bersama – tetap yang harus ditaati. Program kerja, barangkali bisa dibuat. Dalam bayangan saya, setiap akhir pekan, ada aktivitas kesenian di sana. Jika sudah ada rutinitas, Bogor tak lagi mendapat julukan kota sepi aktivitas berkesenian. Bogor bakal menjadi kota barometer aktivitas kesenian. Begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar