22 November 2007

BATU 2

: M. A. Shadli

saat matahari tepat di atas kepala
bayangbayang batu menyatu dengan tanah
ada segerombolan domba lelah
dan bersandar di antara dua batu
”apa yang kau keluhkan ?” tanya batu
”aku lelah makan rumput” jawab domba

saat matahari munculkan bayangan
2/3 diriku, bayangbayang batu menyatu dengan tanah
ada segerombolan kerbau lelah
dan bersandar pada celahcelah batu
”apa yang kau keluhkan?” tanya batu
”aku lelah membajak sawah” jawab kerbau

saat matahari kehilangan sinar
bayangbayang lindap di antara cakrawala
ada sepasang jengkerik lelah
dan terbaring di atas batu
”apa yang kau keluhkan?” tanya batu
”aku cemburu dengan domba dan kerbau, mengapa mereka punya matahari sedang aku tidak!” jawab jengkerik yang lalu sunyi


Ngawi

Ketika Teater "Tidak Bergerak"


PADA dasarnya, teater merupakan sebuah perkawinan spiritual yang diciptakan oleh setiap personality yang masuk dan terlibat di dalam lingkaran proses pencarian makna untuk pemanggungannya, yang kemudian membuatnya bermakna. Tentu saja perkawinan ini memiliki tujuan yang mulia yakni sebuah pemuaian gagasan hingga melahirkan suatu bentuk bahasa ungkap pertunjukan, yang pada akhirnya melakukan tindakan lalu menganalisisnya.

Perkawinan spiritual ini tidak begitu saja terjadi dan berlangsung dengan mudah, melainkan harus melewati sebuah tahap pencarian rekoleksi teks atau artistik yang punya daya personal. Ketika pertemuan itu terjalin, semua kepentingan berjalan menuju sebuah titik pertemuan (pengharapan), akibatnya teater sebagai sebuah pertunjukan akan semakin mewujud dalam bentuk yang sesuai dengan komitmen dan konsekuensi yang riil. Sebuah score miniature berupa bentuk visual, ideogram, ataupun tanda akan muncul dalam prinsip ekspresi yang disepakati.

Pencapaian teater modern yang ada di lingkungan kita ini sekarang sebenarnya merupakan rangkaian pekerjaan yang belum tuntas. Tetapi rangkaian kerja yang masih harus terus dikerjakan kembali tanpa henti. Pencapaian kerja artistik bukan hal yang begitu saja selesai dalam kurun pementasan belaka, namun masih terus harus dihidupkan dalam produk pengalaman yang sifatnya personal. Maka kenyataannya, teater modern membutuhkan kreator-kreator yang punya lapangan ideogram untuk mencipta teater modern yang luas tanpa henti. Di sinilah tepatnya makna perkawinan yang terjadi dalam peristiwa teater modern, sebuah kontak lahir batin para pekerja teater yang melahirkan pencapaian spiritual pementasan dalam bentuk pertunjukan.

Perumpamaan di atas mungkin tepat untuk menggambarkan apa yang dilakukan oleh Teater LUGU fak. Psikologi UMS dengan garapan terbarunya berjudul "Rimba Cermin-Cermin (Serigala)" karya Z. Pangaduan Lubis yang dipentaskan pada 0800507 di Hall gedung C FKIP UMS. Walhasil, pementasan ini memberikan satu tawaran tafsir teater yang cukup menarik dari tafsir pemanggungannya. Perkawinan spiritual personal dari perempuan hadir dan menjelma dalam panggung yang memakan waktu kurang lebih 60 menit.

Pertunjukan teater LUGU ini memberikan satu gambaran filosofis tentang kegelisahan manusia yang sangat sederhana.

Pengungkapan bahasa panggung sederhana yang ditampilkan oleh Teater LUGU tidak mengurangi esensi teks yang dijadikan kendaraan imajinasinya. Naskah "Rimba Cermin-Cermin" ini memberi peluang yang cukup unik, bagi gaya pemanggungannya. Karena pada realitas pertunjukannya karikatural yang lucu hadir dan bisa membawa penonton untuk berfikir. Rasa mengharukan dari sisi kemanusiaan pun muncul. Memang pertunjukan teater "LUGU" ini menggambarkan bagaimana perbedaan perempuan utuh dan tak utuh. Pertemuan itu bisa memberikan satu ruang kekayaan dialog dan kebebasan personal mereka, walaupun akhirnya tidak akan bisa menyatu.

Namun kehadiran pertunjukan teater LUGU masih terlihat jauh dari sempurna. Dony P. Herwanto sebagai sutradara kurang berani menampilkan sesuatu yang jauh lebih hebat. Panggung tampil alakadarnya, terbungkus layar hitam. Di sini tidak tampak proses penghadiran artistik yang menggambarkan satu rangkaian tempat kejadian/peristiwa yang bisa memberikan kesan suram untuk pertunjukan tersebut.

Bogor, 231107

Mengakrabkan Puisi Melalui Telinga

Puisi bukan hanya barisan kata yang diciptakan tanpa makna. Barisan kata yang tertulis merupakan wujud eksistensi dari sebuah peradaban kebudayaan. Karena itu, sebuah puisi tidak hanya menggelayutkan imajinasi yang tertata. Tapi puisi juga melibatkan emosi dalam menafsirkan sebuah proses perenungan.

Namun puisi masih dianggap terlalu mengawang-awang sehingga tidak banyak pihak yang mau terlibat dalam keindahan yang ditawarkan. Bahkan proses dialogis yang ditawarkan dalam imajinasi kata yang dimainkan, juga sering terjebak dalam teknik mendeklamasikan puisi. Alhasil, puisi dianggap barang mahal yang hanya dibuat untuk, dari, dan oleh seniman. Lalu adakah cara untuk membuat puisi akrab di telinga dan mata banyak orang ?

"Sebenarnya musikalisasi puisi dibuat untuk mengatasi trauma orang dengan gaya penyampaian puisi yang deklamatif. Atau orang sering kesulitan untuk memahami makna suatu puisi, ini karena mereka berpikir bahasanya terlalu tinggi. Karena itu musikalisasi puisi coba mengemas puisi dalam lagu, agar lebih memasyarakat,

Melalui musik akan membuat banyak orang lebih tertarik dan mengenali kata-kata di dalam puisi. Dan setelah tertarik, maka proses eksplorasi interpretasi puisi pun dapat dimulai. Sehingga dengan demikian, puisi bukan lagi karya yang sukar dan harus mengernyitkan dahi agar mendapatkan sari patinya.

"Yang lucu dari orang Indonesia adalah merasa keberatan ketika membaca puisi dari penyair sendiri, tapi ketika puisinya dari luar negeri justru dapat dinikmati.

Tapi bukankah setiap orang memiliki interpretasinya sendiri terhadap sebuah karya seni, terutama puisi ? Artinya, dengan memusikalisasikan puisi maka menyamaratakan interpretasi puisi kepada semua orang? sebuah interpretasi yang dilagukan bukan serta merta menyeragamkan imajinasi.

"Karena proses mengeksplorasi tafsir puisi yang dilakukan pun sarat dengan makna dan rasa. Saya coba memahami pemilihan diksi yang dilakukan penyair dan bagaimana mereka membentuknya dalam satu rasa puisi. Contohnya seperti puisi Aku Ingin yang dibuat oleh Sapardi, kata-katanya sangat sederhana tapi sebenarnya ada makna yan rumit dibaliknya. Kerumitan yang setiap hari dialami dan kemudian menjadi biasa. Maka pembaca puisi yang kemudian mengartikulasikan maknanya dalam lagu, juga memiliki lisensi puitika untuk menginterpretasikannya secara bebas.

"Namun bukan berarti interpretasinya tidak melibatkan pemahaman atau rasa. Karena kedua unsur inilah yang justru menyediakan ruang bagi pembuat lagu untuk mengubahnya menjadi lirik puisi yang dimusikkan. Ada proses kontemplasi dalam pembuatan dan pemaknaan puisi yang dimusikkan. Maka musikalisasi juga merupakan cara untuk mencintai puisi.

Sapardi berhasil membentuk puisinya dalam rasa musikalitas yang jelas. Sehingga setiap kali membaca puisi Sapardi, sangat mudah bagi mereka mengimajinasikannya dalam bentuk lagu.
Ini tentu memudahkan yang membuat dan yang mendengarkan, untuk memahami serta memahami isi puisi Sapardi.

Bogor, 231107

sastra yang tak lagi suci

karya sastra yang lahir dari kedalaman rasa, akan selalu menghadirkan nilai yang besar. bahwa sebuah eksistensi atau sebuah proses akan menjadi sangat berarti kalau kita bisa dan mampu menempatkan posisi.
tak ada keberanian yang nihil untuk sebuah proses. semua harus di dasari oleh niat dan konsep serta tema yang jelas.
sah-sah saja jika kita ingin dikenal oleh kyalayak ramai
tapi akan menjadi tidak sah jika kita mengorbankan estetika nilai, sebab kita akan menemukan kekosongan pola pikir. dan kita akan menjadi seperti mimpi, dia hanya akan menjadi dunia rekaan bukan lagi dunia yang kita tempati.
sastra itu indah dan ikhlas seperti yang di katakan oleh GOTHE ketika mendengar putranya meninggal dunia:

aku tahu bahwa aku sedang menjadi calon ayah dari orang yang dapat mati
.


seperti itu juga sastra. ia hadir ketika kita berada sangat jauh dengan kesadaran, jika kita tak bisa menangkap apa maknanya kita akan menjadi semacam haiku:

katak melompat dalam sajak
dan terdengar kecipak.


begitu juga dengan keberadaan sastra ditengah-tengah pergolakan antara harus dan keharusan
sastra bukan seperti kitab suci, coba tengok karya Hasan Aspahani tentang celanadalam. penyair ini berkata tentang celanadalam yang saban hari kita pakai tapi kita tidak menyadarinya bahwa ada dialog bahkan mungkin terjadi prolog.
celanadalam dianggap suci oleh penyair Batam ini.

dan ada satu pertanyaan untuk kalian
sucikah diri kita dihadapan sastra, yang kadang menghadirkan kebohongan.

bogor, 231107

Teater LUGU, sebuah eksistensi narsistik

kalian terus bersama baik suka ataupun duka, tiada kelelahan yang aku lihat dari raut wajah kalian
aku bangga bisa menjadi bagian dari keberadaan kalian
...dan aku juga bangga bisa menjadi keluarga besar kalian

di manapun aku dan kalian berada bendera yang sudah berada di atas jangan sampai turun kembali.
... dan aku akan tetap kibarkan bendera ini.
lugu-ku adalah jiwaku
kebersamaan adalah raga-ku
lalu apa yang akan kalian berikan padaku setelah ini.

Bogor, 231107

...dan kau meninggalkan diam

...dan kau kembali lagi seperti kata yang melompat dalam sajak-ku, ketika itu ada berjuta pohon menyaksikan perjalaan kita
...dan kau -pun bertanya kepadaku
"kapan datang kemari"
dan aku hanya diam seolah bibir ini berbuat bodoh
"kapan kau datang lagi"
gadis itu terus mendesak bibirku untuk bicara.
tapi dasar tolol, hati ini ingin bicara, tapi mulutku seperti terkunci
...dan kuncinya di bawa terbang burung elang jawa.

dari jauh ada senyum di curug itu

kau hanya diam kala itu, dan aku pun juga seperti itu
sesaat kita saling menghembus udara
di curug nangka
angin semilir
seperti perahu musa
terombang-ambing ditengah kegalauan

kau diam/
aku juga seperti itu
kau senyum/
akupun juga seperti itu

karena kau
putikputik itu tak jadi layu

...dan aku akan meninggalkan kenangan malam itu
bersama kemantapan masa depan.

bogor, 231107

curug nangka kala senja.

ada yang sempat terlupa yang ingin aku kabarkan padamu.

saatsaat dimana aku ada di curug nangka
cucuran air itu

bagai tembang macapat
ia tak sempat melompat

seperti angin
batu itu-pun
ingin berderak

lalu curug itu
tersenyum

aku juga sempat
melihat gadis mungil
yang berambut ikal

seperti sebuah repertoar
albert camus
selalu absurd

bogor, 221107

20 November 2007

batu tulis

selamat datang hari-ku
ingin sekali hari ini aku kabarkan bahwa kelelahan yang terus meburuku
sudah aku kikis
seperti longsor
dan aku juga sempat bertemu dengan sebuah batu
"batu tulis" aku sempat bermimpi untuk juga ikut menuliskan puisi pada batu itu
tapi kata penduduk sekitar, harus dari keturunan raja
aku bukan anak raja dan juga bukan keturunan raja, atau darah biru
aku adalah anak kolong, yang terbang seperti kelelawar
cepat, gesit hanya dengan suara.
diantara kelelahanku ini
aku masih sempat menuliskan apa yang ingin aku tulis
karena dengan bicara aku sungguh sudah lelah
maaf untuk ketidak sukaanmu
dan terimakasih untuk kesukaanmu.
aku akan hadir diantaranya
antra ada dan suka.

bogor, 211107

kau bawa surat itu?

kau datang lagi
gadis kecil
nan ayu
"apa kau bawa surat itu"

kau sendirian
berjungkir balik
dengan kata
dan tergerai di atas
panggung yang lupa
akan nyalanya.

nanar kau memandangku
yang kini kurus
tergerus oleh ritual
yang sangat ritus ini.

kau dekap aku
aku tak mendekapmu
kita bertabrakan
seperti seekor kupukupu
menabrak cahaya bulan

kau datang lagi
gadis ayu-ku
tapi tidak di dunia nyata.

"ternyata aku bermimpi"

Bogor 201107

18 November 2007

di kota baru

kerinduan yang bersama ini semakin membawaku kedalam ruang yang aku sendiri tak bisa menamai, setelah aku bertemu dengan orang-orang yang aku anggap baru. aku semakin sadar bahwa dunia itu memang luas. aku sendiri tak merasa kecil di kota ini,
walau Bogor kota yang baru pertama kali aku kunjungi terlalu luas untuk aku dalami
tapi aku orang orang rantau hidup diantara keberanian dan pilihan.

Bogor 181107