Pantomim sebagai pertunjukan teatrikal merupakan permainan dengan bahasa gerak. Berkaitan dengan akting, pantomime pada awalnya untuk menyebut aktor komedi di masa Yunani yang menggunakan gerak tubuh untuk berkomunikasi. Kemudian, kedua dipakai untuk menyebut aktor di Romawi yang menyampaikan perannya melalui tari dan lagu. Kini, pantomime sering diasosiasikan sebagai gaya akting komedi tanpa kata-kata.
Meski jenis pertunjukan ini telah dikenal sejak zaman Romawi Kuno dan sering digunakan dalam ritus keagamaan, tapi bagi masyarakat Bogor yang hingga kini belum menunjukkan apresiasi terhadap seni purba ini makin menguatkan anggapan bahwa seni yang menggunakan dialog dalam bentuk mimik wajah atau tubuh belum dibutuhkan.
Jika menilik dari apa yang dilakukan Bengkel Ao dengan mime-street-nya, seolah konsep Commedia Dell’arte yang pernah mencapai puncaknya di Italia pada abad ke-16 kembali diusung sebagai salah satu upaya mengenalkan seni tersebut. Meski respon belumlah ada, tapi niat mengenalkan pantomime ke tengah-tengah masyarakat yang sibuk merias diri patut diacungi jempol. Meski kadang hal ini tak diimbangi dengan perhatian dari pemerintah, baik kota dan kabupaten.
Pantomime sebagai seni pertunjukan seperti karya seni lainnya, seperti sastra, teater, adalah salah satu cara memahami kehidupan. Setiap karya seni pertunjukan termasuk pantomime dapat dijadikan sebagai wahana untuk memahami kehidupan dalam masyarakat.
Hal itu jelas terlihat dari seni pertunjukan pantomime yang dihasilkan oleh mimer, seperti Anggit Saranta, dengan karya-karya yang merefleksikan lingkungannya. Pun dengan solah tingkah penguasanya.
Seni pertunjukan pantomim di Bogor yang masih terus mencari dalam gerak budaya yang dinamis setidaknya membutuhkan daya imajinasi yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.
Jika melihat dari akar kehadiran pantomime di jagat pertunjukan, maka sudah selayaknya-lah Bogor bisa menerima seni purba yang mampu mengocok perut dan meneteskan airmata tersebut.
Sebab, di tengah laju perkembangan seni budaya kontemporer, pantomime hadir sebagai penyejuk. Pasalnya, dalam pantomime ada unsur tari dan mimik ekspresi yang tingkatnya jauh lebih sulit ketimbang seni tari dan akting itu sendiri. Mengapa? Karena pantomime adalah drama minim kata, bahkan benar-benar bisu.
Pertanyaannya, siapa lagi yang akan mengenalkan pantomime ke tengah generasi yang lebih menyukai budaya pop? Jika pantomime tak bisa dikenalkan lewat pertunjukan di panggung dan di jalanan, mungkinkah pantomime bisa dikenalkan lewat sekolah-sekolah yang juga mulai menganaktirikan pendidikan kesenian?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar