Kemarin, Sabtu 1/5, saya bertemu dengan seorang kawan di kampus IPB. Kawan saya itu, selalu gelisah dengan iklim sastra di kota hujan ini. Setiap kali bertemu, entah kebetulan atau dalam acara-acara sastra, kawan saya, yang bukan asli Bogor, tampak kebingunan memetakan sastra di Bogor. ‘Mau dibawa kemana ya sastra di Bogor’. Kerap kali, dia selalu bertanya seperti itu kepada saya.
Siang kemarin, kawan saya, yang juga salah satu penggerak sastra di kampusnya itu, tiba-tiba nyeletuk, mungkinkah ada kegiatan yang bisa mempertemukan sastrawan lintas generasi di Bogor.
Entah habis makan apa dia, tiba-tiba punya gagasan seperti itu. Ini satu wacana yang harus direalisasikan. Sebab, Bogor, kata Ace Sumanta, salah satu sastrawan kahot Bogor, memiliki tradisi sastra yang kuat. Mengingat, Bogor memiliki Fakultas Sastra di Universitas Pakuan. Ini satu nilai tambah, kata Ace, yang juga memiliki kegelisahan yang sama soal iklim sastra di Bogor.
Kawan saya, yang juga alumnus Fakultas Kehutanan IPB itu, terlihat antusias mendeskripsikan idenya. Terlihat, berkali-kali, dia membetulkan tempat duduknya. Siang kemarin, kami bertemu dalam satu ruang perlombaan IPB Art Competition (IAC), sebagai juri baca puisi. Dengan seksama, saya mendengarkan uraian kawan saya. Dalam hati, bertanya, dari mana dia mendapatkan ide cemerlang itu. Ini gagasan yang luar biasa.
Kita harus mulai memetakan sastrawan di Bogor kang, begitu katanya kepada saya. Padahal secara usia, dia jauh lebih tua daripada saya. Tanpa berpikir panjang, saya langsung menerima ajakan tersebut. Kawan saya, yang juga sebagai penggelola Wahana Telisik Sastra (WTS) itu, sedikit demi sedikit menyusun pelbagai agenda, salah satunya mempertemukan dirinya dengan Ace Sumanta.
Setelah meneguk segelas kopi, yang disediakan panitia, dia melanjutkan cerita gagasannya. Pertemuan sastrawan Bogor jangan sebatas silaturahmi antar sastrawan lintas generasi. Melainkan harus merumuskan satu gagasan memajukan sastra di Bogor. Paling tidak untuk mengimbangi dominasi sastra di Jakarta dan Bandung. Sebab, katanya, sastra Bogor kurang maksimal gerakannya. Itu betul, tegas saya.
Meski ini satu gagasan yang mengandung resiko, paling tidak, wacana pertemuan sastrawan Bogor lintas generasi patut mendapat perhatian bersama. Kawan saya itu, bernama Fatkurrahman Abdul Karim, lelaki kelahiran Banyuwangi, 22 Februari 1981, pekerja puisi, dan bergiat di Wahana Telisik Sastra Bogor. Semoga gagasan itu, tak sekedar wacana sepintas lalu. Begitu kawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar