01 Oktober 2010

Monolog & Etika Berkesenian

Merasa Bisa, Belum Bisa Diartikan Sebagai Benar-Benar Bisa
(Building a Character, Constantin Stanislavski)

Teater adalah dunia imaji. Demikian dituliskan Slamet Rahardjo Djarot dalam buku berjudul Membangun Karakter, salah satu buku hasil telisik buku karangan Constantin Stanislavski berjudul Building a Character. Sungguh luar biasa. Sebab, imaji dijadikan kunci untuk memahami teater. Satu hal yang patut digaris bawahi.

Dan kalimat Merasa Bisa, Belum Bisa Diartikan Sebagai Benar-Benar Bisa menjadi paradoks ketika menilik upaya sejumlah seniman di Bogor yang dengan keseriusan serta keuletan, membangun kembali dunia imaji (teater.red) yang terserak itu. Betapa tidak, semangat membangun kembali masa-masa kejayaan teater di Bogor sirna. Seiring dengan banyaknya perlombaan-perlombaan teater, baik di tingkat umum maupun pelajar. Pasalnya, ‘gelar juara’ seolah-olah menjadi harga mati berkesenian. Sungguh tujuan berkesenian yang kurang etis. Berkarya demi mengejar ‘gelar juara’ dengan kata lain, memburu ‘popularitas’.

Fenomena seperti ini baru saja terjadi, (atau mungkin sudah menjadi semacam tradisi di Bogor). Lomba monolog dalam rangka La Sastra yang digelar SMAN 5 Bogor menjadi satu bukti. Dimana semua sekolah yang mengirimkan utusan mengikuti lomba tersebut hanya mengejar ambisi juara. Tak lebih dari itu. Sebab menjadi juara sama artinya dengan membawa nama baik sekolah setingkat lebih tinggi dibanding sekolah lain, dalam hal ini khusus lomba monolog.

Predikat juara, seakan telah menutup ruang-ruang kreativitas dalam penggarapan monolog. Kesan apa adanya sangat kuat terlihat. Ini terbukti dari properti dan makeup serta kostum yang kurang digarap maksimal. Amat disayangkan, ketika monolog mulai ditinggalkan atau bahkan dilupakan oleh sebagian besar pelajar Bogor, upaya untuk menyajikan satu bentuk pengenalan monolog kepada meraka (pelajar.red) tidak dilakukan. Lagi-lagi, utusan sekolah dalam hal ini guru pendamping dan mungkin juga sang aktor sudah dilenakan dengan predikat ‘juara’ entah juara dalam lomba monolog dimanapun. Merasa Bisa Belum Bisa Diartikan Sebagai Benar-Benar Bisa.

Seniman teater, atau aktor harus benar-benar merenungkan kalimat di atas dan bertanya dalam hati, apakah kita tergolong aktor yang ‘bisa’ dalam arti ‘mampu’ mengejawantahkan apa yang tersurat dan tersirat dari makna berkarya, mencipta dan berkreativitas. Alih-alih berkreativitas, sang aktor atau seniman cenderung terjebak dengan sesuatu yang statis dengan alasan ‘itu karakter karya saya’. Sungguh satu alasan yang kurang masuk akal. Padahal, dengan daya cipta yang dimiliki, seorang seniman mampu mencipta pelbagai karakter karya.

Kembali ke pesta monolog pelajar yang ternyata sudah menjadi satu agenda rutin acara La Sastra SMAN 5 tanggal 23-24 November 2009. Banyak hal-hal yang terlepas dari acara tahunan tersebut, salah satunya muatan edukasi tentang monolog itu sendiri. Hal ini terlihat dari beberapa peserta yang terkesan asal-asalan dalam menyajikan karya. Pertanyaannya, apakah mereka tahu apa itu monolog? Atau memang guru kesenian di sekolah tersebut sangat terbatas pengetahuan monolognya.

Banyak catatan yang mesti segera ditindaklanjuti pihak-pihak terkait, seperti penyelenggara, guru dalam hal ini pelatih teater dan aktor atau siswa itu sendiri. Ambisi untuk menjadi juara menjadi satu catatan penting yang harus dibenahi. Bukan apa-apa. Sebab, akibat ambisi mengejar popularitas, nilai-nilai kreativitas malah dikorbankan. Ini efek dari ambisi itu sendiri. Entah ambisi sang guru dalam hal ini pelatih teater, atau ambisi sang aktor (murid.red) yang mempertaruhkan harga dirinya sebagai sang juara.

Ambisi tersebut sangat wajar, mengingat di Bogor jarang sekali ada perlombaan monolog, baru Festival Monolog Perempuan (FMP) 2009 yang digelar ruang8 Jurnal Bogor awal tahun ini di SMAN 7 Bogor. Selebihnya hanya perlombaan-perlombaan kecil yang kurang terekspos media.

Tapi yang disayangkan, ambisi itu malah menjerumuskan mereka (aktor dan sang pelatih.red) untuk berlaku jujur dalam berkarya dan menilai kekurangan diri. Merasa diri paling hebat menjadi satu-satunya kendala menerima semua resiko dalam perlombaan, menang dan kalah.

Tapi sekali lagi, tujuan berkesenian bukanlah menang kalah, melainkan membuat satu karya yang layak dinikmati dan mencerdaskan penonton atau penikmat seni itu sendiri. Kearifan terbesar adalah mengenali dan mengakui kurangnya kearifan diri. Bagaimanapun juga, menerima dan mengakui kelebihan orang lain adalah satu etika berkesenian yang harus dijunjung tinggi.

1 komentar:

rengga mengatakan...

maap sebelumnya, Tapi saya cuman mau tanya!!! apa sih tujuan berkesenian itu?