Bogor | Jurnal Bogor
Ngabuburit Baca Eja Puisi yang digelar MAN 2 Kota Bogor, Jumat (3/9) mencatatkan sejarah baru. Tak hanya bagi sekolah itu sendiri, melainkan bagi denyut nadi kesenian di Kota Bogor. Bayangkan, puluhan guru – yang notabene tak bergelut dengan dunia kesenian, khususnya pembacaan puisi – tampil membacakan puisi miliknya atau milik sejumlah penyair yang sudah diakui kualitas karyanya.
Kalimat-kalimat pesimis, kerapkali terlontar dari para pembaca puisi ketika naik ke atas panggung. ‘Berhubung saya bukan penyair, jadi harap maklum jika membaca puisinya jelek’ begitu kalimat yang meluncur dihadapan ratusan siswa MAN 2 Kota Bogor dan tamu undangan. Bagi saya, guru-guru itu tak seharusnya mengucapkan prolog seperti itu.
Sebab – jika menggunakan kacamata ilmu psikologi komunikasi – ucapan itu bisa membuat penyimak (audience) malas menyaksikan penampilannya. Penampil saja tak percaya diri, apalagi penyimak. Bahasa gaulnya, malas ah.
Kendati begitu, ada yang patut digarisbawahi dari acara tersebut. Pertama, tradisi baca, khususnya baca puisi di kalangan pendidik sudah saatnya dibangkitkan. Kedua, momentum bulan Ramadhan ternyata tak menghambat proses berkesenian di sekolah yang terbilang memiliki kegiatan pendidikan padat.
Itulah – barangkali – sejumlah alasan yang dapat dijadikan panduan bagi kita membaca aktivitas kesenian yang terjadi di MAN 2 Kota Bogor. Betapa pun, Ngabuburit Baca Eja Puisi – yang intinya adalah silaturahmi antara warga sekolah dengan penggiat kesenian di Kota Bogor – menyisakan pertanyaan. Jangan-jangan, acara tersebut hanya sebuah ceremonial. Artinya, Ngabuburit Baca Eja Puisi mendadak mencetak penyair – meski saya tahu, itu bukan tujuan utama acara tersebut.
Saya teringat tulisan Suwardi Endraswara bahwa pengajaran sastra mulai tidak sehat sejak tahun 1975. Pengajaran sastra Indonesia sudah terkena infeksi berlarut-larut karena di dalamnya terhinggapi kanker ganas. Pengajaran sastra di sekolah memang menjadi persoalan pelik yang belum menemukan obat mujarab.
Saya menganggap, Ngabuburit Baca Eja Puisi merupakan ruh dari Sastra Masuk Sekolah yang digagas Pusat Bahasa (Departemen Pendidikan Nasional) pada tahun 1999. Guru yang notabene menjadi sosok pengajar – meski bukan guru sastra – memiliki tanggungjawab besar menumbuhkan geliat bersastra (baca dan tulis) di kalangan peserta didik.
Sastra sebagai pengalaman adalah stimulus pada murid untuk bisa meleburkan diri dalam proses apresiasi sastra. Pengalaman menjadi kunci agar murid memiliki pandangan bahwa sastra itu bukan sesuatu yang asing dalam laku kehidupan. Sastra sebagai bahasa adalah kompetensi murid untuk mengekpresikan diri dalam konstruksi bahasa dengan pertimbangan estetika dan linguistic. Belajar sastra menjadi proses belajar dalam praktik bahasa. Pemahaman inilah yang membuat relasi sastra dan bahasa berada dalam wilayah ‘keromantisan yang akut’.
Bagaimanapun juga, Ngabuburit Baca Eja Puisi MAN 2 Kota Bogor merupakan manuver kesenian yang patut diperbincangkan, walaupun, Divisi Sastra Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kota Bogor (DK3B) mulai berancang-ancang menggelar forum sastra Bogor, Oktober mendatang. Langkah MAN 2 Kota Bogor bisa menjadi batu loncatan aktivitas sastra di sekolah-sekolah lain. Dan semoga, manuver-manuver yang dilakukan dan akan dilakukan tak mendadak mencetak penyair. Begitu. n Dony P. Herwanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar