01 Oktober 2010

Membincangkan Buku Puisi Bode

1/ Awal Perkenalan
Sekitar pertengahan Oktober 2009, saya mengenal Bode Riswandi, penyair muda potensial Tasikmalaya, Jawa Barat melalui jejaring pertemanan, facebook. Seperti galibnya perkenalan, kami saling tegur-sapa, sesekali membincangkan puisi satu sama lain. Sesekali, saling lempar kritik dan saran. Sungguh pertemanan yang menyenangkan.

Pengaruh jejaring facebook sungguh luar biasa. Karya-karya kami, wabil khusus puisi, melayang, melesat hingga ruang-ruang renung satu sama lain. Tak jarang, selesai menulis puisi, kami bergegas mengantarnya ke beranda facebook.

Ah, lagi-lagi, facebook menjadi ruang diskusi yang menyejukkan. Karena itulah, satu-satunya cara kami memadu komunikasi. Dan komunikasi antara saya dan Bode masih terjaga. Baik lewat pesan singkat, facebook maupun yahoo messenger. Akhir Januari 2010, Bode yang juga sebagai salah satu pengajar di FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Tasikmalaya (Unsil), memposting cover buku puisi berjudul ‘Mendaki Kantung Matamu’ terbitan Ultimus, Bandung.

Cover buku yang didominasi warna merah itu, langsung menghentak pikiran saya. Seketika itu juga saya bertanya dalam diri, inikah buku kumpulan puisi Bode? Sejenak saya terdiam, padahal, dulu sekitar dua bulan ke belakang, Bode tak pernah menyentuh soal buku puisi yang hendak ia terbitkan. Sungguh mengagetkan sekaligus menaruh bangga pada lelaki kelahiran Tasikmalaya 6 November 1983 itu.

Tak menunggu lama, sejak posting cover buku Bode yang diantar oleh Prof. Jakob Sumardjo itu saya lihat, lagi-lagi di jejaring facebook, saya langsung menghubungi Bode, yang kebetulan ketika itu sedang online via facebook. ‘Kapan buku itu terbit?’ tanyaku.

Bode yang karya-karya puisinya sering dimuat di media massa, seperti Jurnal Bogor, Pikiran Rakyat, Lampung Pos dan Bali Pos langsung menjawab, Februari Don, begitu ia menyapa akrab saya. Kebetulan, saya berada dalam sebuah komunitas Ruang 8 Jurnal Bogor, sebuah komunitas yang mengkhususkan diri menghidupkan jejaring komunitas seni budaya di Bogor, langsung menawarkan melaunching buku puisi yang dicetak 1.000 eksemplar itu di Kota Bogor.

Gayung bersambut. Bode yang ketika itu memang sedang merencanakan launching buku di luar kota kelahirannya, Tasikmalaya, mengiyakan tawaran itu. Tawar menawar tanggal pun dilakukan melalui yahoo messenger, seperti percakapan yang sudah-sudah. Akhirnya ditetapkanlah tanggal 3 April 2010 sebagai momentum perjalanan puitik buku puisi ‘Mendaki Kantung Matamu’ ke Kota Bogor, kota yang pada 2005 pernah dikunjungi bersama kawan-kawan di Teater 28. Dan Fakultas Sastra Universitas Pakuan (Unpak) Bogor ditunjuk sebagai tuan rumah launching buku puisinya.

2/ Bogor, 3 April 2010, Pukul 24.00 wib
3 April 2010, dini hari, handphone berdering. Ada pesan singkat dari Bode Riswandi, dia mengabarkan dirinya dan ketiga rekannya sudah ada di depan Kampus Pakuan. Ketika itu, Bogor sedang dilanda angin kencang dan sedikit hujan. Tak berselang lama, saya meluncur ke Kampus Pakuan, di mana dirinya dan ketiga rekannya sedang menikmati makan malam di salah satu warung makan. Gerimis masih saja menjejakkan kaki-kaki mungilnya. Kami pun bergegas meninggalkan kampus Pakuan menerobos gerimis yang hendak menjelma hujan.

3/ Siang itu di Fakultas Sastra Universitas Pakuan
Ruang Mashudi 2 lantai 3 Fakultas Sastra Unpak, siang itu tak seperti biasa. Banyak mahasiswa dan penikmat sastra Bogor berkumpul. Obrolan hal ihwal sastra dan perkembangan sastra di Bogor pun tak luput jadi bahan perbincangan singkat. Di deretan kursi paling depan, tampak Sasongko, Pri dan Dadan Suwarna, ketiganya adalah pengajar di Fakultas Sastra Unpak jurusan Sastra Indonesia.

Dadan Suwarna yang menjadi narasumber acara launching dan bedah buku kumpulan puisi Mendaki Kantung Matamu, karya Bode Riswandi langsung menyentak seisi ruangan dengan mengatakan, puisi tidaklah tercipta dari ruang kosong keadaan, melainkan ia pengalaman atau amatan penyairnya.

Selain itu, Dadan menilai jika intertualitas adalah gejala yang tak terbantahkan. Dalam buku puisi Mendaki Kantung Matamu ini, lanjut Dadan, ada tipikal atau gaya ungkap yang sering dipakai penyair Tasikmalaya, Acep Zamzam Noor, yang diketahui dan diakui Bode, sebagai guru sastranya. “Dalam diri Acep sendiri terdapat Abdul Hadi MW. Bahkan Rendra telah menelurkan banyak pemuja yang hidup pada era kepenyairan 1990-an atau 2000-an,” ujar Dadan.

Lain Dadan, lain Pri. Pengajar mata kuliah Stilistika ini menilai bahwa puisi yang ditawarkan Bode memiliki sebuah gerakan ke arah puncak pencapaian kepenyairan. “Di awal buku puisinya, kepolosan Bode masih terasa. Tapi mulai periode kepenulisan 2009, kematangan seorang Bode mulai jelas terlihat,” kata Pri. Pri merupakan salah satu dosen Sastra Unpak yang mulai dimunculkan Ruang 8 Jurnal Bogor dan Himpunan Mahasiswa Sastra Indonesia (Himsina) ke pentas sastra di Kota Bogor.

Bode pun angkat bicara terkait kesamaan karyanya dengan Acep. “Jujur, saya pengagum Acep. Tapi jika karya saya disamakan dengan Azan (panggilan akrab Acep Zamzam Noor), itu sah-sah saja,” jelas Bode. Dadan pun seolah melindungi penyair muda ini. Dengan tegas Dadan mengatakan, epigonitas kepada sang idola itu wajar. Selama, tak meniru 100 persen. “Intertekstualitas bukanlah plagiarisme. Semata-mata keterpesonaan akan sang tokoh idola pada diri penyairnya. Itulah intertekstualitas,” tegas Dadan.

Menurut Jakob Sumardjo, seperti yang ditulis di pengatar buku puisi tunggal pertamanya ini, kepenyairan Bode berkembang ke arah penyair sufistik. Sajak-sajaknya berpola hubungan timbal-balik antara dunia mikro dan makrokosmos. Bode pun terang-terangan menolak anggapan Prof. Jakob Sumardjo. Sebab, karya-karyanya jarang menyentuh hubungan antara manusia dengan sang pencipta.

4/ Dan Akhirnya
Seperti yang diutarakan Dadan Suwarna, menguji kepenyairan atau perpuisian adalah dalam rentang waktu kemudian. Akankah seseorang jadi penyair abadi, seperti sisa-sisa sentuhan pada Amir Hamzah, Chairil Anwar WS. Rendra dll. Dan akhirnya, buku puisi Mendaki Kantung Matamu karya Bode Riswandi telah mengantarnya terbang melintasi ruang, tempat dan waktu. Bode, seperti kata Acep, adalah salah satu dari sedikit penyair muda Jawa Barat yang potensial. Jika saja ia (Bode.red) terus menjaga intensitas, mentalitas dan integritas sebagai penyair. Begitu..

Tidak ada komentar: