Pop Art, Conceptual Art dan Minimal Art merupakan masa transisi dari seni rupa modern menunju seni rupa kontemporer. Penentangan pada konteks spiritual kesenimanan dan sublimasi seni lukis menyebabkan seni lukis pada awal tahun 70-an mendapatkan stigma, dan untuk beberapa saat mengalami titik nadir.
Secara perlahan, new media art menjadi salah satu harapan lahirnya seni kontemporer. Hal ini ditandai dengan penggunaan media yang tak sebatas cat minyak dan kanvas. Berbeda dengan masa seni lukis modern, seni lukis kontemporer bangkit dengan menempatkan dirinya sebagai kemungkinan medium representasional - bukan sebagai entitas esensial dan sublim seni rupa.
Pencapaiannya tak berhenti pada estetika, melainkan sudah melangkah pada pencapaian makna filosofis dengan pendalaman kontemplasi. Rifky Setiadi, salah satu perupa Bogor mengatakan, seni kontemporer – khususnya seni rupa – lahir karena banyaknya aturan baku – yang barangkali menurut sebagian besar perupa – sangat mengekang nilai-nilai eksplorasi.
“Seni rupa kontemporer muncul karena ingin menentang sesuatu yang establish. Artinya, perupa kontemporer ingin melakukan pembongkaran nilai yang sudah ada. Intinya, ketidakpuasan dan ingin eksplorasi,” kata Rifky.
Pluralitas seni rupa kontemporer menunjukkan dirinya dengan menerima setiap kemungkinan seni, baik dari segi teori, konsep, medium, material dan ruang kehadiran serta asal usul seniman. Terbukti bahwa seni rupa kontemporer semakin menunjukkan wajah globalnya.
Tentu saja tak bisa dipungkiri tetap hadirnya kekuatan-kekuatan penentu di balik praktek produksi dan konsumsi seni rupa kontemporer. Sebagai contoh, tak bisa disangkal bahwa kebangkitan seni lukis tidak lepas dari maraknya pasar seni rupa, dan itu ditandai oleh maraknya art-fair di pusat-pusat ekonomi dunia, termasuk pusat-pusat ekonomi baru.
Yang menarik, bangkitnya gambar atau lebih tepat seni gambar dalam dekade terahir ini ditengarai tidak terlepas dari kembalinya seni lukis. Seni lukis melihat peluang bahwa seni rupa kontemporer dengan kepercayaan pada pluralisme dan “apapun boleh” - tidak memiliki alasan untuk menolak eksistensi seni lukis.
Rudi, perupa asal Bojonggede yang setia memilih media pena sebagai alat lukisnya mengaku bahwa apapun yang dijadikan media adalah pilihan. Artinya, kata Rudi, kesetiaan kepada pilihan media harus dibarengi dengan eksplorasi dan kreativitas. “Dan saya nyaman menggunakan pena untuk melukis,” ungkapnya.
Dan di Bogor, geliat seni rupa kontemporer sudah jauh berjalan. Media yang digunakan pun makin beragam. Selain media – dalam arti alat – perupa Bogor pun tak kekurangan gagasan untuk memperkenalkan karyanya kepada publik – meski sampai sekarang, keberadaan mereka kurang dilirik pemegang otoritas dan masyarakat pada umumnya. Begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar