01 Oktober 2010

“Different Soil Produce Different Crops,” kata Fang Lijun

Di Ark Galerie, Jalan Senopati Raya 92 Jakarta Selatan, tengah berlangsung Sea Drawing Exhibition, mulai 24 Juli hingga 24 Agustus 2010. Di galeri yang terintegrasi dengan kedai kopi tersebut dipamerkan karya sembilan pedrawing Asia Tenggara. Karya-karya mereka sangat menghasut. Ya, kegelisahan, realisme sosial, dan goncangan psikologis masyarakat urban menjadi kekuatan dasar sembilan pedrawing itu.

Sembilan pedrawing itu, Ahmad Zakii Anwar, Jalani Abu Hassan (Malaysia), Angie Seah (Singapore), Jose Legaspi (Philipines), J. Ariadhitya Pramuhendra, Agung Kurniawan, Dewa Gede Ratayoga, Oktianita Kusmugiarti dan Dede Wahyudin (Indonesia). Dan tak salah, ketika saya menulis judul tulisan ini, ‘Different Soil Produce Different Crops’.

Rifky Effendy, kurator pameran, memulai amatannya dengan menuliskan sejarah seni drawing di Asia Tenggara. Begini kata Rifky – seperti yang tertulis dalam katalog – praktek seni modern (drawing.red) di wilayah ini mempunyai sejarah dan perkembangan yang berbeda, walaupun pada awalnya, praktik seni rupa modern diadaptasi dari lembaga-lembaga kolonial abad 19-20. namun – masih ditulis Rifky – seringkali terkait dan bersinggungan dengan aspek-aspek kelokalan atau bentuk seni yang sebelumnya telah menjadi tradisi atau ritual sebuah budaya masyarakat, maupun dengan nilai-nilai budaya.

“Ditambah dengan perkembangan aspek ekonomi di wilayah Asia yang menjadikan karya seni rupa kontemporer sebagai komoditi yang sedang ‘dirayakan’,” kata Rifky. Tentu, Rifky tak main-main soal pendapatnya itu. Aspek ekonomi – di manapun tempatnya – menjadi salah satu pendorong perubahan, tak terkecuali karya seni.

Sejarah di Asia Tenggara sering dikatakan tidak memiliki keutuhan tema hingga masuknya peradaban industri modern, yakni selama seratus tahun terakhir. Ada tradisi yang memiliki asal-usul yang sama, namun berkembang menjadi tradisi yang khas di masing-masing wilayah sesuai dengan kebudayaan masing-masing wilayah. Hal itu menunjukkan bahwa terdapat ciri-ciri asli yang khusus dari masing-asing bangsa.

Tak luput, kesembilan pedrawing itu menunjukkan gejala perbedaan konsep pengkaryaan. Dan sekali lagi, apa yang diucapkan Fang Lijun – seorang seniman terkemuka asal China – pantas dijadikan rujukan bersama. Tanah yang berbeda pasti menghasilkan tanaman yang berbeda pula, begitu kata Fang Lijun.

Selain beda konsep, perbedaan kematangan penggalian kegelisahan pun tampak jelas. Meski sama-sama mengusung kegelisahan masyarakat urban di Ibukota, Dede Wahyudin, kelahiran 1975, yang menampilkan dua karya terbaiknya berjudul Hotel Prodea (200 x 175 cm), Charcoal on Canvas dan Lempar Batu Sembunyi Tangan (200 x 175 cm), Charcoal on Canvas terlihat lebih matang – dari segi apapun – dibanding Oktianita Kusmugiarti, kelahiran 1987 dengan dua karyanya, My Thoughts (173 x 73 cm), pen on paper dan My Day to Day Suit (173 x 73 cm), pen on paper.

Saya bukan membandingkan secara usia, melainkan dari tangkapan, penggalian dan kejelian menangkap serta membaca arah fenomena sosial disekitarnya. Saya anggap, kedua pedrawing beda generasi tersebut memiliki insting kegelisahan sosial yang sama. Cuma, karya Dede lebih terlihat garang dan padat. Dua karya drawing Dede bernuansa realisme sosial, orang-orang bergumul, berkelahi, ribut, berteriak, ada yang jumawa, perkelahian dan lain sebagainya.

Menurut Rifky, karya Dede mengartikulasikan juktaposisi persoalan tersebut dalam satu bidang. Dan Dede, kata Rifky, mampu meresponnya dengan mengolah komposisi dan gestur dari tiap elemen manusia di dalamnya sebagai bentuk-bentuk perwakilan. Sementara itu, Oktianita Kusmugiarti, pedrawing muda pendatang baru Indonesia – demikian kata Rifky – lebih bermain pada makna simbol.

Subyek pergumulan di dalam dirinya di proyeksikan melalui drawing garis yang jernih dan padat. Ketika melihat karya Okti, sapaan akrabnya, simbol-simbol gaya hidup masyarakat urban ibukota tampak jelas. Trend, kematian, kriminalitas dan pendidikan menyatu dalam satu ruang. Meski keduanya sama-sama mengusung makna simbolik, kedalaman garapan sungguh jauh berbeda. Dapat ditarik benang merah, Dede – tidak menilik dari usia – jauh lebih matang dibanding Okti dalam hal penangkapan realita sosial dan aspek-aspek disekitarnya. Untuk kesekian kalinya, ucapan Fang Lijun terbukti. Beda tanah, beda tanaman. Meski keduanya berasal dari tanah yang sama, Indonesia.

Sekarang, mari kita tilik karya perupa Malaysia, Ahmad Zakii Anwar, berjudul Reclining Figure (76 x 211 cm), Charcoal on Paper. Karya tersebut, menurut Rifky, condong ke arah seni yang formil atau akademis. Ini terlihat dari unsur subyek yang digambar tunggal dalam satu komposisi lewat gerak dan hitam-putih fotorealis. Kecenderungan tersebut, bersumber pada salah satu aspek sejarah seni rupa Malaysia tahun 1930-an.

Kata Rifky, di tahun itu lukisan naturalisme mulai dipraktekkan. Hal itulah yang mendorong munculnya karya Melayu masa depan. Tetapi Zakii, ungkap Rifky, berani membebaskan diri dari cara melukis abstraksi maupun yang terkait dengan nilai-nilai etik muslim yang dianut para pendahulunya. Jika dibandingkan dengan karya Dede dan Okti, karya Zakii susah ditangkap. Realitas karya belum tentu menjamin makna realitas.

Historiografi di Asia Tenggara pada mulanya banyak dipengaruhi oleh agama. Agama membawa bentuk seni yang berbeda. Namun semakin maju pola pikir dan kebudayaan masyarakat di Asia Tenggara membuat historiografi juga mengalami perkembangan yang pesat. Setelah Perang Dunia II dan setelah bangsa-bangsa di Asia Tenggara merdeka, mulai menyadari bahwa seni modern itu penting. Dan karya yang dipamerkan di Ark Galerie, patut dijadikan penanda kebangkitan seni modern tersebut.

Tidak ada komentar: