06 Juni 2009

Degradasi Simbol dan Dominasi Mode

Menyikapi Kemunculan Batik Bogor

Cibinong | Jurnal Bogor

Batik merupakan hasil seni budaya yang memiliki keindahan visual dan mengandung makna filosofis pada setiap motifnya. Pada zaman kerajaan, batik digunakan untuk membedakan status, baik raja, ratu, pangeran, abdi dalem hingga masyarakat di luar lingkungan kerajaan.

Banyaknya makna filosofis yang terkandung dalam setiap goresan canting ke kain, menjadikan batik sulit dikerjakan dalam hitungan minggu atau bulan. Sebab, pemaknaan yang dalam memberikan tempat tafsir atas motif batik yang digunakan.

Kata batik berasal dari Bahasa Jawa yakni amba yang artinya menulis dan titik. Jadi bisa dikatakan bahwa batik adalah upaya menuliskan titik-titik di atas sehelai kain dengan pemaknaan akan simbol.

Penciptaan karya seni, khususnya batik memang bukan dominasi Kota Solo, Yogyakarta, Pekalongan dan Cirebon. Semua daerah berhak memiliki karya seni tersebut. Sebab, batik merupakan wujud hasil proses budaya. Secara sadar, penciptaan karya seni itu kadang-kadang menampakkan kewenangan di tiap-tiap daerah yang memiliki kultur sejarah kerajaan yang kuat, macam Solo, Yogyakarta dan Cirebon.

Di tiga kota inilah, batik muncul sebagai salah satu proses kreatif manusia yang didasarkan kepada sebuah simbol daerah itu sendiri. Karya-karya ini lahir sebagai akibat dari sistem sosial budaya yang menuntut adanya status sosial.

Jika menilik upaya Rukoyah Suswoyo, penggagas Batik khas Bogor yang mulai diperkenalkan kepada khayalak ramai saat Hari Jadi Bogor (HJB) ke-527 di Bogor Nirwana Residence (BNR), Kamis (4/6) lalu itu, sedikit banyak mengubah arah kultur sejarah batik. Pasalnya, simbol atau corak yang diangkat Rukoyah hanyalah sebatas pengangkatan ciri khas Bogor, seperti kujang, kijang dan variasi-variasi bunga teratai.

Dengan gagasan Rukoyah meluncurkan batik Bogor yang diberi merk Tradisiku, stigma bahwa batik penuh dengan nilai-nilai filosofis tingkat tinggi dan penanda status sosial serta fungsi penggunaannya hilang. Sebab, menurut Rukoyah, pembuatan batik Bogor itu hanya sebatas mengharumkan nama Bogor. Tak lebih. Padahal batik adalah karya seni purba dengan tingkat kesulitan dan pemaknaan yang tinggi.

Bisa dikatakan, Rukoyah tidak berupaya memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengenal batik karyanya dari sisi filosofi melainkan sekedar menunjukkan bahwa simbol yang dipakai merupakan ciri khas Bogor. Lantas apa bedanya dengan yang dilakukan negara tetangga kita, Malaysia, ketika mereka mengklaim bahwa batik adalah milik mereka?

Jika kita teliti lebih dalam, kesalahan itu ada pada kekurang konsistenan kita memertahankan simbol yang ada di dalam batik itu sendiri (terlepas dari unsur fashion tentunya). Seandainya mampu memertahankan simbol, upaya pengklaiman batik sebagai hasil budaya bisa diminimalisir. Paling tidak, ada nilai-nilai sejarah yang itu semua tak bisa diklaim. Menurut hemat penulis, biarlah batik tetap menjadi identitas Surakarta, Pekalongan, Yogyakarta, Mojokerto dan Cirebon. Sebab, di kota-kota inilah tumbuh sejarah batik dengan pemaknaan filosofi yang tinggi. Dan mustahil diikuti negara atau kota lain.

Dalam buku Budaya dan Masyarakat, Kuntowijoyo dengan tegas mengatakan bahwa perubahan kebudayaan dan tata nilai di masyarakat disebabkan karena adanya tuntutan pasar. Ini artinya, Batik Bogor bukanlah usaha untuk mengembalikan identitas bangsa. Melainkan tuntutan pasar dan mode (fashion). Dengan kata lain menggunakan peluang perkembangan zaman.

Kenapa Rukoyah hanya mengangkat corak kijang, kujang dan bunga teratai? Jika alasannya ciri khas Bogor, mengapa tidak sekalian memasukkan angkutan kota atau hujan (sebutan Kota Hujan) ke dalam batik buatannya? Toh keduanya juga ciri khas Bogor yang sudah mendunia.

Inilah alasan penulis menggunakan judul degradasi simbol dan dominasi mode. Bukan berarti, Rukoyah menghilangkan simbol sebagai tempat tafsir masyarakat dalam batik karyanya. Sebab, kujang, kijang dan teratai juga simbol. Tapi Rukoyah yang bukan asli warga Bogor lupa bahwa batik tak sekedar mengangkat ciri khas kota tempat batik berasal.

Misalnya, Solo (Surakarta.red). Batik khas Solo yang dibuat di daerah Laweyan, salah satu tempat berdirinya Syarekat Dagang Islam pada tahun 1912 itu justeru tak memasukkan ciri khas Kota Solo. Para pembatik di kawasan Laweyan malah memasukkan karakter-karakter atau pola tingkah laku masyarakat Jawa yang santun. Ini bisa kita lihat dari pemilihan warna dan tebal tipis coraknya.

Inilah perbedaan yang dimaksudkan itu. Simbol yang dijadikan corak tak sekedar apa yang ada di daerah itu saja, melainkan apa yang menjadi kebiasaan dan adat istiadat setempat.

Semoga apa yang telah dilakukan Rukoyah dengan produk Batik Bogor mampu menunjukkan bahwa Indonesia kaya akan hasil budaya, khususnya batik. Ini satu nilai plus menangkal pengklaiman karya purba tersebut.

Dony P. Herwanto

18 April 2009

Sastra dan Masyarakat

Sebagai simbol verbal, karya sastra dalam hal ini puisi memiliki andil besar di dalam masyarakat. Dituliskan Kontowijoyo dalam bukunya yang berjudul Budaya dan Masyarakat (2006), andil besar sastra dalam masyarakat di antaranya sebagai cara pemahaman (model of comprehension), perhubungan (mode of communication), dan cara penciptaan (mode of creation).

Menurut dia, obyek karya sastra adalah realitas. Dari sini tampak jelas bahwa tugas sastrawan dalam kasus ini penyair harus mewartakan realitas dalam bentuk puisi yang bagi Gaston Bachelard dalam buku Poetics of Space, suatu realitas adalah sebuah kawasan yang terkait dengan pikiran, tindakan, ingatan, dan mimpi. Artinya, tafsiran realita yang diinginkan masyarakat adalah sesuatu yang hadir dari gagasan yang mampu menggerakkan.

Melihat upaya yang dilakukan ruang 8 Jurnal Bogor, Komunitas Menulis Bogor dan Komunitas Gubuk Kata dalam acara bertajuk Sastra Bulan Genap, Minggu (12/4) di Aula Radio Sipatahunan, pantas bagi kita untuk memberikan apresiasi setinggi-tingginya terhadap proses penyadaran masyarakat.

Penyair sekaligus pemerhati lingkungan dan sosial Eka Budianta mengatakan, menjadi penyair berarti tidak tinggal diam, melainkan ikut terlibat dalam menyelesaikan masalah di masyarakat, merasakannya, berpikiran bersama untuk dan tentang masyarakat.

Sastra Bulan Genap menjadi sebuah simbol verbal yang akan diberikan kepada masyarakat, baik pecinta atau pemerhati sastra maupun masyarakat awam bahwa karya sastra harus mendapat tempat yang layak dan semestinya.

Dari acara yang menghadirkan Dadan Suwarna (Dosen Sastra Universitas Pakuan) dan Cunong N. Suraja (Pemerhati Sastra dan Dosen Universitas Ibn Khaldun Bogor) sebagai pembicara maka tampak jelas jika generasi muda memiliki gairah menghidupkan sastra di Bogor yang sejauh ini terlihat loyo dan ngos-ngosan.

Loyo dan tak adanya ruang apresiasi karya sastra terutama puisi menjadi sebuah dasar bahwa apa yang disampaikan Kuntowijoyo belum sampai. Pun dengan adanya Fakultas Sastra di Bogor belum mampu memberikan warna dan tanda-tanda untuk menggerakkan masyarakat. Tentunya mereka (mahasiswa dan dosen sastra.red) punya alasan sendiri dalam hal ini.

Jean-Francois Lyotard menilai, apa yang penting dalam sebuah teks (sastra-puisi) bukanlah maknanya, tetapi apa yang dikerjakan dan ingin dikerjakannya, beban pengaruh yang dikandung dan ditransmisikan.

Acara yang juga menghadirkan komunitas lintas sastra, seperti Arisan Teater, Low Rider, Majalah Arti (grup Jurnal Bogor), Candle Light Dinner (grup musik akustik) dan Clarinet feat Indri (kelompok jazz) menjadi bukti bahwa eksistensi sastra mulai bisa diterima masyarakat. Meski baru kali pertama menggelar acara Sastra Bulan Genap, paling tidak bola salju itu siap menggelinding.

Melihat acara Sastra Bulan Genap, seolah mengingatkan kepada apa yang pernah dituliskan Friedrich Wilhelm Nietzsche dalam bab Mengapa Aku adalah Takdir. Dengan tegas Filsuf Jerman ini mengakui, ‘Aku tahu takdirku…aku bukan seorang manusia, aku sebuah dinamit…’. Jika dikembalikan ke konteks sastra dan masyarakat, maka Sastra Bulan Genap adalah dinamit yang siap memberikan ledakan dahsyat di tengah-tengah masyarakat yang lelap dan latah budaya.

Jika kita percaya bahwa sastra sebagai sistem simbol mempunyai kaitan erat dengan sistem sosial yang melahirkannya, maka kita akan temukan bahwa mempelajari sastra dari segi intelektualnya sama dengan mempelajari kesadaran masyarakat.

Sebagai potret masyarakat, sastra mampu memberikan landasan penilian tentang apa yang sedang terjadi. Hubungan langsung atau tak langsung antara karya sastra sebagai sistem simbol dan sistem sosial dalam arti ketergantungan dan ketidaktergantungannya, menentukan apa yang dinamakan arah (Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, 2006).

Semoga Sastra Bulan Genap menjadi titik awal penemuan arah kesusastraan di Bogor. Sekaligus membuka babak baru seni budaya di kota hujan ini. Lantas tugas masyarakat? Berilah apresiasi dan semangat agar seni budaya khususnya sastra tetap eksis di tengah serbuan budaya populer yang mulai meracuni generasi muda. Lantas tugas akademisi dan seniman (sastrawan.red)? Teruslah berproses mencipta karya kreatif dan memberikan edukasi bahwa sastra sangat erat hubungannya dengan masyarakat.

Dony P. Herwanto

Dimuat di Jurnal Bogor Edisi Minggu, 19 April 2009 di Rubrik Jendela Halimun

23 Februari 2009

Penyerahan Diri Dewi Shinta

Di Balik Kisah Penculikan Shinta oleh Rahwana

Epos Ramayana memang pantas menjadi representasi kehidupan. Banyak nilai-nilai agama dan sosial tersaji di sana. Dari serentetan cerita Ramayana (perjalanan Prabu Rama.red), sejenak kita menengok kisah penculikan Dewi Shinta oleh Rahwana (Dasamuka = Sepuluh Muka.red). Apakah benar, Dewi Shinta diculik Rahwana? Ataukah Dewi Shinta yang menyerahkan diri kepada Rahwana?
Dewi Shinta laiknya perempuan masa kini yang tentu saja memiliki nafsu dan keinginan untuk mendapatkan laki-laki sejati. Ego seperti ini wajar ketika Dewi Shinta tak menemukan sosok laki-laki gentle di diri Prabu Rama. Sebaliknya, Dewi Shinta malah menemukannya pada sosok Rahwana, raja bangsa Rakshasa dari Kerajaan Alengka.
Meski banyak orang mengatakan bahwa kisah percintaan Prabu Rama dengan Dewi Shinta adalah perjalanan cinta sejati. Tapi ketika melihat kepada ego Dewi Shinta yang mengharapkan kehadiran laki-laki sejati hal tersebut sangat paradoksal. Bisa dikatakan bahwa kisah penculikan Dewi Shinta sebagai gambaran siapa laki-laki sejati dan siapa yang pengecut.
Banyak kalangan menyebutkan bahwa Shinta diculik Rahwana. Dan sangat sedikit yang mengulas bahwa Shinta bukan diculik tapi dia (Dewi Shinta.red) terpikat dengan sosok Rahwana yang ketampanannya dapat melebihi Prabu Rama. Dari sinilah, mucul pelbagai versi cerita Ramayana. Jika cerita tersebut ditarik pada zaman sekarang, opsi bahwa Dewi Shinta diculik Rahwana gugur. Dan opsi bahwa Dewi Shinta terpikat dengan sosok Rahwana yang dalam hal ini lebih lak-laki dibanding Rama bisa terbukti.
Bukti kuat yang menyebutkan bahwa Prabu Rama kurang menunjukkan diri sebagai laki-laki sejati adalah ketika dia (Prabu Rama.red) memerintahkan Hanoman untuk masuk ke dalam Istana Alengka menjemput istrinya (Dewi Shinta.red). “Hal inilah yang membuat Dewi Shinta kecewa atas sikap Prabu Rama. Karena dia berharap suaminya yang datang dan melihat kondisi istrinya secara langsung,” kata Rutdee C. Hidayat, pelaku seni dan budaya Kota Solo ketika dihubungi Jurnal Bogor, kemarin.
Menurut Rutdee, sikap Dewi Shinta sangat beralasan. Sebab, di tengah ego memiliki pendamping seorang laki-laki sejati, Prabu Rama malah tak bisa menunjukkannya. “Wajar ketika ada versi yang menyatakan bahwa Dewi Shinta tidak diculik, melainkan ikut pergi ke Alengka bersama Rahwana. Sebab, Rahwana lebih laki-laki dibanding Rama,” tegasnya.
Dikatakan Rutdee, adanya pelbagai sudut pandang cerita Ramayana membuktikan kepada kita bahwa sejarah atau mitos sekalipun sangat multitafsir. Artinya, banyak cara untuk menggali informasi untuk memeroleh suatu kebenaran, paling tidak sebagai wacana yang dapat mencerahkan.
“Inilah yang menyebabkan banyak di antara kalangan pedalangan dan penari yang menafsirkan cerita Ramayana. Dan itu bagi saya sah-sah saja. Asal tak menyimpang dari inti cerita yakni, kisah perjalanan Prabu Rama dari pembuangan hingga menjadi raja Ayodhya,” ujarnya.
Dengan demikian, sosok Rahwana adalah manifestasi dari laki-laki sejati yang dengan gagah berani untuk mendapatkan sesuatu yang disukai. Buktinya, Rahwana menyuruh Marica untuk mengelabuhi Rama dan Lakshmana dengan mengubah diri menjadi seekor Kijang berbulu emas yang ternyata memikat hati Shinta.
Dari sini terlihat bagaimana upaya Rahwana mendapatkan sosok Shinta. Ditambah lagi, ide-ide cemerlang Rahwana menembus lingkaran sakti yang dipasang Lakshmana untuk melindungi Shinta dari niat jahat para raksasa.
Rahwana yang datang dengan wujud pengemis tua berusaha mencuri perhatian Shinta yang dia tahu berwatak welas asih. Watak welas asih inilah yang dijadikan Rahwana sebagai momentum mencuri hati Shinta.
Apa yang dilakukan Rahwana tak jauh beda dengan apa yang dilakukan kaum laki-laki zaman sekarang. Jadi, kurang tepat jika dikatakan bahwa Dewi Shinta diculik Rahwana ketika menggunakan paradigma kekinian dan mengacu kepada kebutuhan perempuan. Sekalilagi, Dewi Shinta adalah sosok perempuan yang mendambakan laki-laki sejati.

Dimuat di Jurnal Bogor, Minggu 22 Februari 2009 di Halaman Jendela Halimun

17 Februari 2009

Hujan

kau tekuni katakata
hingga tak kuasa menghindar
lihat,
ada anakanak cinta
memintal kata
hingga tak jadi payung
langit itu

hei, siapa berani mencinta hujan
tanpa payung katakata!!

Buitenzorg

08 Februari 2009

Hujan Kata-Kata

hujan yang menjelma katakata
membawa wangimu ke rumah senjaku
tinggalkan dan tanggalkan almanakmu
karena januari telah berganti

biarkan, darah dan lelah
bersatu dalam deras
nanti pasti lupa,
langitlangit memberi warna pelangi

tidakkah kau tahu
hujan yang menjelma katakata
melompat dalam sajak-ku

Buitenzorg

04 Februari 2009

Pengembara Juga Butuh Peta

di kota baru
ada pengembara baru
dia memburu bulan
di ujung sana

langit-langit mengendap lindap
hujan berburu hujan

di kota baru itu
sang pengambara lupa membawa peta
"tolong beri aku peta" katanya pada bulan

Buitenzorg

29 Januari 2009

Sajak yang Ditulis dengan Tergesa-gesa

dewadewa sedang dimabuk asmara
kemarin, aku mengintip mereka
memetik sekuntum bunga di langit

dan Tuhan pun tak lupa
menyiapkan sebuah pesta besar
hingga langit bergemuruh
dan matahari sempat mencincin

ketika dewadewa asik memetik bunga
Tuhan menegur sahaja
"bunga itu untuk siapa?"
dewadewa kaget dan sekenanya menjawab
"milik-ku untuknya dan miliknya untuk-ku"

"sepintar apapun kalian menyembunyikan bunga itu, seisi langit pasti tahu. kini kalian tinggal menunggu waktu. menunggu bunga itu layu karena terlalu lama disembunyikan atau mekar di antara bungabunga yang sudah kalian tanam sejak lama," kata Tuhan kepada dewadewa itu.

dewadewa saling pandang
dan ragu

Buitenzorg

27 Januari 2009

Sadari

: kepada dua orang teman

kita hanya dua keping logam hilang
yang saling tikam, di simpang jalan

Buitenzorg

26 Januari 2009

Haiku, Hujan 2

di luar masih hujan, sayang
berbaringlah di lantai pelangiku

Buitenzorg

Haiku, Hujan

di luar hujan sayang
masuklah ke rumah senjaku
minum kopi bersama
dan mendengarkan gemericiknya

Buitenzorg

13 Januari 2009

Lomba Cipta Puisi 2009

RADAR BALI LITERARY AWARD 2009
Komunitas Sahaja – Radar Bali (Jawa Pos Group)
Tata Tertib dan Kriteria
RADAR BALI LITERARY AWARD 2009
Lomba Cipta Puisi
Lomba ini terbuka bagi para penulis muda se-Indonesia dengan batasan usia antara 17-33 tahun, dilengkapi dengan identitas diri (fotokopi)
Lomba ini tertutup bagi panitia dan keluarga besar Harian Umum Radar Bali (Jawa Pos Group).
Lomba Cipta Puisi ini bersifat perorangan.
Karya puisi yang dilombakan belum pernah dipublikasikan atau diterbitkan dalam bentuk buku atau sejenisnya, serta tidak sedang diikutkan dalam lomba atau dalam kegiatan serupa lainnya.
Karya puisi yang diikutsertakan bukan saduran, terjemahan, plagiat atau pun murni menjiplak dari naskah yang telah ada sebelumnya.
Tema Lomba Cipta Puisi ini adalah “Perubahan, Kemanusiaan, dan Lingkungan”.
Puisi wajib dikirim dengan format Times New Roman, 12 pt, spasi 1,5 serta dikopi rangkap 4 (empat).
Tiap peserta boleh mengirimkan lebih dari satu karya;
Naskah puisi dapat dikirimkan ke Sekretariat Panitia Lomba Cipta Puisi Radar Bali Literary Award 2009, Jalan HOS Cokroaminoto Gg. Katalia 26 Ubung Denpasar-Bali, Telepon: 0361-417153-56, Fax. 0361-417157-58, dan Museum Sidik Jari, Jalan Hayam Wuruk 175, Denpasar-Bali, 80235. Telepon: Devi (085936120898), Anom (085739038324). Email : ciptapuisi_rbla2009@yahoo.com
Batas akhir pengiriman naskah pada 22 Februari 2009
Dewan Juri menetapkan 3 (tiga) Juara Utama, 3 (tiga) Juara Harapan
Pemenang berhak atas hadiah berupa trophy, piagam, dan uang tunai senilai Rp 10.000.000,00. Selain itu, akan ditetapkan Juara Umum yang berhak atas piala Radar Bali Literary Award 2009 dari Gubernur Provinsi Bali.
Keputusan Dewan Juri tidak dapat diganggu gugat.

Lesung Pipit Gadis itu Mirip Kamu

lesung pipit itu
mengingatkan aku akan musim semi
di sepertiganya, pelangi tak sempat memamerkan warnanya
di timur langit, ada gadis menangis mencari ibunya

katamu, kau tak suka lagu rindu yang mendayu-dayu

lihat, ada kupu-kupu bermain dengan angin
saling kejar, saling sembunyi
di pinggir kolam itu,
ada sepasang manusia memadu kasih

lesung pipit gadis itu mirip kamu.

Buitenzorg

Untuk Palestina

di Palestina
semua kepala menunduk
tangan terkepal menanti hujan peluru
dan aku, hanya berdoa di depan sebatang lilin yang menyala

di Israel
semua kepala tegak mencuri matahari
tangan terbuka menanti ribuan serdadu membawa kabar gembira
dan aku, duduk lesu di depan televisi menyaksikan itu

di Indonesia
semua rakyat menyeru kirim TNI ke Palestina
berduyun-duyun turun ke jalan menyumpahi agresi Israel
apa dengan makian dan sumpah serapah, Palestina bisa menang?

di Palestina
ribuan anak-anak kehilangan orangtua
di Indonesia
ribuan orangtua kehilangan anaknya
di Israel
ribuan anak-anak dan orangtua berubah jadi tentara

Buitenzorg

10 Januari 2009

Di Hening Pagiku

di hening pagiku
ada sekawanan hujan memburu risau
dikejarnya hilang cakrawala
dilukisnya langit hingga pelangi

di hening pagiku
tak ada yang lebih resah selain aku
seperti daun jarak menunggu matahari
risau bising,
resah selangit

di hening pagiku
januari berlari
dan aku
duduk rapi
memintal puisi

Buitenzorg

09 Januari 2009

Jangan Berkata Jika tak Ingin Diduga

mungkin tak pernah ada maksud di balik kata
tapi tetap saja aku menduga-duga
(IRS)


siapa melukis kata di balik makna
dia yang menanggung derita
saat kata menjadi duga
dan daun jendela belum sempat terbuka
risau angin tak juga bermakna

tuhan selalu menyembunyikan makna di balik kata
pun untuk diduga
tapi menduga merupakan kata dalam bentuk lain
dan kata adalah duga itu sendiri

mungkin tak pernah ada maksud di balik duga
tapi tetap saja aku berkata


jangan pernah berkata
jika tak ingin menduga
serperti sehelai bulu merpati
yang diterbangkan angin
dan kemudian menjadi rindu

Buitenzorg

Kepada Kalian

mencintaimu, mencintainya, mencintai kalian
membencimu, membencinya, membenci kalian
merindumu, merindunya, merindu kalian
mengingatmu, mengingatnya, mengingat kalian

kalian tahu?

Buitenzorg

07 Januari 2009

Sayang, Ini Bulan Siapa?

: Kepada Sepasang Kekasih

lilin-lilin belum juga padam
ketika pesta telah usai, malam itu.
ada sepasang kekasih
duduk membicarakan bulan, malam itu
"itu bulan apa?" kata si perempuan
"itu bulan sabit" jawab si lelaki
awan berderak menghilangkan sabitnya.
sejumput, si perempuan bertanya
"kalau itu bulan apa?" sambil menunjuk bulan yang lain.
"itu bulan separuh," jawab si lelaki dengan tenang sambil menyeruput angan
sepasang kekasih makin asik membicarakan bulan
tiba-tiba sekelompok burung-burung putih menutupi pandangan si perempuan
"cintaku, kemana perginya bulan itu?" ucapnya sambil bingung mencari kemana sang bulan pergi.
"bulan tak bisa lepas dari pandangan kita," jawab si lelaki mencoba menenangkan kekasihnya.
sejam kemudian, bulan sempurna
burung putih hilang pandang
ilalang lelah bergoyang
"cintaku, aku telat bulan,"
sambil berlari kencang, dia berteriak
"itu bukan bulan dariku,"

Buitenzorg

02 Januari 2009

Aku Ingat Pergantian Itu

petasan telah habis suara
terompet lelah di mulut anak-anak
jutaan manusia yang memadat, malam itu
tak lagi ingat tahun dan kapan akan kembali

Buitenzorg