Dalam sebuah perbincangan ringan yang digelar BEM Sastra Universitas Pakuan, Sabtu (27/6) kemarin, penulis novel Mereka Bilang Saya Monyet (MBSM) Djenar Maesa Ayu membongkar sebuah konsepsi bahwa menulis tak memerlukan konsep dan teori sastra (literasi.red). “Menulis itu jangan dibebani teori-teori literasi. Itu malah menjebak dan mengurung kreativitas penulis membongkar kata,” kata Djenar kepada peserta Talkshow Sastra bertajuk Jadi Remaja Multi Talenta Lewat Sastra.
Menurut dia, menulis itu satu pekerjaan mudah yang membutuhkan ketekunan. Sebab, menulis merupakan satu upaya menggabungkan dari apa yang dilihat, didengar dan dirasa. “Inilah yang menjadi alasan bagi saya untuk mengurangi penggunaan teori dalam proses menulis,” ungkapnya.
Putri almarhum Sjuman Djaya dan Tutie Kirana itu, terlihat lugas ketika menyampaikan proses kreatif yang selama ini diterapkan. Namun sayang, kehadiran ibu dari Banyu Bening dan Bidari Maharani tersebut kurang direspon. Ini terlihat dari minimnya pertanyaan mendalam yang ditujukan kepadanya.
Pertanyaan yang diajukan terkesan normatif dan tak memperlihatkan background sastra yang mayoritas pesertanya mahasiswa sastra. Bisa jadi, ini akibat dari minimnya ruang apresiasi dan diskusi di kalangan mahasiswa atau kalangan pecinta sastra di Bogor. Jika asumsi ini benar, maka sungguh menyedihkan.
Djenar yang terbiasa menulis novel-novel berbau seks kurang mendapat rentetan pertanyaan yang membuat penulis kumpulan cerpen Jangan Main-main (Dengan Kelaminmu) tersebut gelagapan. Djenar memang jago menulis. Tapi untuk pengetahuan teori sastranya barangkali kurang. Buktinya, Djenar mengakui kalau proses kepenulisan sejumlah novelnya jauh dari teori sastra. “Saya akui kalau sejumlah tulisan lahir dari rasa dan bukan teori,” ujarnya.
Di sinilah seharusnya peran mahasiswa sastra mengetahui lebih jauh ihwal proses kreatif Djenar. Tapi rupanya, ratusan peserta talkshow sastra hanyut dan terpesona dengan penampilan dan cara tutur Djenar.
Kendati demikian, ada hal-hal yang patut diacungi jempol dari event tersebut. Di tengah minimnya apresiasi karya sastra di Bogor, BEM Sastra Unpak mampu eksis dan menunjukkan diri sebagai salah satu organisasi kemahasiswaan yang memiliki kepedulian terhadap perkembangan sastra, khususnya di Bogor.
Maman S. Mahayanan M.Hum yang ditunjuk sebagai moderator talkshow mengaku miris melihat minimnya apresiasi sastra di Bogor. Terkait dengan acara yang digelar di Auditórium Unpak tersebut, Maman menilai ada satu upaya yang harus dijaga konsistensinya. “Bogor itu minim ruang apresiasi sastra. Acara ini harus terus dikembangkan ruang lingkupnya. Sehingga, Bogor bisa menjadi barometer penulis-penulis Indonesia untuk berdiskusi dengan pecinta sastra di Bogor,” kata Maman kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Keinginan Maman membangkitkan iklim bersastra di Bogor patut disambut. Paling tidak, dengan adanya Fakultas Sastra Unpak, karya sastra dapat menempati tempat yang layak dan semestinya. Semoga.
01 Oktober 2010
Setapak di Candi Muaro Jambi
Sebagai situs purbakala terluas di Indonesia, keberadaan Kompleks Candi Muaro Jambi amat memprihatinkan. Padahal, candi yang terletak di Desa Muaro Jambi, Kecamatan Muaro Sebo, Kabupaten Muara Jambi menjadi bukti bahwa kerajaan Melayu pernah beribukota di Muaro Jambi. Dengan nilai teramat penting bagi ilmu pengetahuan, kilau Candi Muaro Jambi justru tersembunyi dari peradaban.
‘Selamat Datang di Kompleks Situs Percandian Muaro Jambi’. Sapaan lewat tulisan yang hampir pudar dan posisi papannya agak miring tersebut menjadi saksi dimana situs tersebut kurang mendapatkan perhatian instansi terkait. Setelah melewati gapura itu, saya yang kebetulan berkesempatan pergi ke situs peninggalan kerajaan Melayu tersebut tak melihat ada sambutan lagi bagi calon pengunjung. Kios-kios-pun tampak kosong, dan tak terawat. Sekitar 20 meter dari gapura, tampak tempat loket yang lagi-lagi tak berpenghuni. Ini sungguh disayangkan.
Kendati jaraknya dari Ibukota Provinsi Jambi sekitar 40 kilometer, tapi untuk mencapai ke Muaro Jambi dapat menggunakan dua jalur, darat dan air. Kompleks ini tak jauh dari daerah aliran sungai Batanghari. Candi dengan luas mencapai 12 kilometer tersebut merupakan kawasan ibadat Budha. Candi ini kali pertama ditemukan oleh tentara Inggris bernama SC Crooke pada tahun 1820. Menurut Dasril, petugas Museum Candi Muaro Jambi, kompleks tersebut memiliki 80-an candi dan sembilan candi berukuran besar.
Kesembilan candi besar tersebut, di antaranya Candi Kotomahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Gumpung, Candi Tinggi, Telago Rajo, Candi Kembar Batu dan Candi Astano.
Dari sembilan candi besar tersebut, enam di antaranya selesai dipugar. Uniknya, candi di Muaro Jambi selalu dikelilingi kanal. Ini menunjukkan, transportasi air sanagt akrab di kalangan masyarakat. Akan tetapi, kanal-kanal itu kini tertutup tanah dan semak belukar, sehingga tak dapat digunakan lagi.
Candi Gedong I terhitung unik di kompleks candi Muaro Jambi. Tak diketahui secara pasti kapan candi ini dibangun. Luas halamannya sekitar 500-an meter persegi, terdiri dari bangunan induk dan gapura. Bentuknya sangat berbeda dengan candi umumnya di Pulau Jawa. Candi tak dibuat dari batu alam, tapi dari batu bata. Pada tiap bata merah, terdapat pahatan relief. Sebagian dari bata ini ada yang disimpan di museum.
“Semua candi terbuat dari batu bata. Jadi, untuk pemugaran semua candi itu sudah renovasi. Sekarang sudah menggunakan semen untuk lemnya. Dulu kami belum tahu pakai apa untuk lemnya. Jadi, sekarang sudah pakai semen untuk perekatnya,” kata Dasril.
Selain candi, komplek Muaro Jambi banyak memiliki benda bersejarah yang tak ternilai harganya. Kini, barang-barang itu disimpan di museum, seperti Arca Gajah Singa, dan Arca Dwarapala.
Arca Dwarapala, ditemukan di Candi Gedong pada tahun 2002. Sebetulnya ini dua arca, cuma satu yang kita temukan. Kalau dulu fungsinya sebagai penjaga gerbang, kalau sekarang katakanlah sekuritinya atau satpamnya. Satu arca lagi adalah Arca Prajnaparamita, dewi perlambang kesuburan. Sayang, beberapa bagian arca ini belum ditemukan seperti tangan dan kepalanya.
“Arca tersebut ditemukan di Candi Gumpung. Sayangnya sampe sekarang kepalanya belum ditemukan. Ini perempuan, ini adalah suatu lambang suci agama Budha,” ungkapnya.
Di museum ini juga tersimpan belanga dari perunggu seberat 160 kilogram, tingginya 60-an sentimeter, dengan diameter lubang belanga sekitar satu meter. Belanga ini diduga sebagai salah satu alat ritual umat Budha aliran Tantrayana.
Benda-benda purbakala bersejarah di Kompleks Candi Muaro Jambi sungguh tak ternilai harganya. Tapi harta ini terbengkalai, kesepian dan tak terurus mengingat prasarana tidak diperhatikan. Jalan rusak menuju candi, tak ada sarana transportasi memadai, fasilitas yang tersedia pun payah.
Kalau dilihat dari sejarahnya, candi tersebut termasuk candi yang lebih tua daripada candi Borobudur yang ada di Magelang, Jawa Tengah. Luasnya juga jauh lebih besar. Dan disini juga dulu ada kerajaan Sriwijaya yang memang tempat keberadaan candi di Muaro Jambi. Ini salah satu kekayaan besar bagi negara ini.
Di Tanah Pilih Pesako Betuah tersebut, situs peninggalan sejarah kurang diperhatikan. Ini sama halnya dengan kota-kota lain di Pulau Jawa, seperti Kota dan Kabupaten Bogor. Di tempat ini, situs-situs purbakala yang dapat dijadikan aset kunjungan wisata kurang tergarap maksimal.
Sebagai kota mitra Ibukota Jakarta, Bogor menjadi satu kota alternatif kunjungan wisatawan, baik asing maupun lokal. Tapi sayang, hal ini malah terabaikan. Sungguh ironis. Kemegahan Istana Bogor dan Kebun Raya malah menenggelamkan sejumlah situs-situs berharga lainnya.
‘Selamat Datang di Kompleks Situs Percandian Muaro Jambi’. Sapaan lewat tulisan yang hampir pudar dan posisi papannya agak miring tersebut menjadi saksi dimana situs tersebut kurang mendapatkan perhatian instansi terkait. Setelah melewati gapura itu, saya yang kebetulan berkesempatan pergi ke situs peninggalan kerajaan Melayu tersebut tak melihat ada sambutan lagi bagi calon pengunjung. Kios-kios-pun tampak kosong, dan tak terawat. Sekitar 20 meter dari gapura, tampak tempat loket yang lagi-lagi tak berpenghuni. Ini sungguh disayangkan.
Kendati jaraknya dari Ibukota Provinsi Jambi sekitar 40 kilometer, tapi untuk mencapai ke Muaro Jambi dapat menggunakan dua jalur, darat dan air. Kompleks ini tak jauh dari daerah aliran sungai Batanghari. Candi dengan luas mencapai 12 kilometer tersebut merupakan kawasan ibadat Budha. Candi ini kali pertama ditemukan oleh tentara Inggris bernama SC Crooke pada tahun 1820. Menurut Dasril, petugas Museum Candi Muaro Jambi, kompleks tersebut memiliki 80-an candi dan sembilan candi berukuran besar.
Kesembilan candi besar tersebut, di antaranya Candi Kotomahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Gumpung, Candi Tinggi, Telago Rajo, Candi Kembar Batu dan Candi Astano.
Dari sembilan candi besar tersebut, enam di antaranya selesai dipugar. Uniknya, candi di Muaro Jambi selalu dikelilingi kanal. Ini menunjukkan, transportasi air sanagt akrab di kalangan masyarakat. Akan tetapi, kanal-kanal itu kini tertutup tanah dan semak belukar, sehingga tak dapat digunakan lagi.
Candi Gedong I terhitung unik di kompleks candi Muaro Jambi. Tak diketahui secara pasti kapan candi ini dibangun. Luas halamannya sekitar 500-an meter persegi, terdiri dari bangunan induk dan gapura. Bentuknya sangat berbeda dengan candi umumnya di Pulau Jawa. Candi tak dibuat dari batu alam, tapi dari batu bata. Pada tiap bata merah, terdapat pahatan relief. Sebagian dari bata ini ada yang disimpan di museum.
“Semua candi terbuat dari batu bata. Jadi, untuk pemugaran semua candi itu sudah renovasi. Sekarang sudah menggunakan semen untuk lemnya. Dulu kami belum tahu pakai apa untuk lemnya. Jadi, sekarang sudah pakai semen untuk perekatnya,” kata Dasril.
Selain candi, komplek Muaro Jambi banyak memiliki benda bersejarah yang tak ternilai harganya. Kini, barang-barang itu disimpan di museum, seperti Arca Gajah Singa, dan Arca Dwarapala.
Arca Dwarapala, ditemukan di Candi Gedong pada tahun 2002. Sebetulnya ini dua arca, cuma satu yang kita temukan. Kalau dulu fungsinya sebagai penjaga gerbang, kalau sekarang katakanlah sekuritinya atau satpamnya. Satu arca lagi adalah Arca Prajnaparamita, dewi perlambang kesuburan. Sayang, beberapa bagian arca ini belum ditemukan seperti tangan dan kepalanya.
“Arca tersebut ditemukan di Candi Gumpung. Sayangnya sampe sekarang kepalanya belum ditemukan. Ini perempuan, ini adalah suatu lambang suci agama Budha,” ungkapnya.
Di museum ini juga tersimpan belanga dari perunggu seberat 160 kilogram, tingginya 60-an sentimeter, dengan diameter lubang belanga sekitar satu meter. Belanga ini diduga sebagai salah satu alat ritual umat Budha aliran Tantrayana.
Benda-benda purbakala bersejarah di Kompleks Candi Muaro Jambi sungguh tak ternilai harganya. Tapi harta ini terbengkalai, kesepian dan tak terurus mengingat prasarana tidak diperhatikan. Jalan rusak menuju candi, tak ada sarana transportasi memadai, fasilitas yang tersedia pun payah.
Kalau dilihat dari sejarahnya, candi tersebut termasuk candi yang lebih tua daripada candi Borobudur yang ada di Magelang, Jawa Tengah. Luasnya juga jauh lebih besar. Dan disini juga dulu ada kerajaan Sriwijaya yang memang tempat keberadaan candi di Muaro Jambi. Ini salah satu kekayaan besar bagi negara ini.
Di Tanah Pilih Pesako Betuah tersebut, situs peninggalan sejarah kurang diperhatikan. Ini sama halnya dengan kota-kota lain di Pulau Jawa, seperti Kota dan Kabupaten Bogor. Di tempat ini, situs-situs purbakala yang dapat dijadikan aset kunjungan wisata kurang tergarap maksimal.
Sebagai kota mitra Ibukota Jakarta, Bogor menjadi satu kota alternatif kunjungan wisatawan, baik asing maupun lokal. Tapi sayang, hal ini malah terabaikan. Sungguh ironis. Kemegahan Istana Bogor dan Kebun Raya malah menenggelamkan sejumlah situs-situs berharga lainnya.
Pantomim yang Minim
Pantomim sebagai pertunjukan teatrikal merupakan permainan dengan bahasa gerak. Berkaitan dengan akting, pantomime pada awalnya untuk menyebut aktor komedi di masa Yunani yang menggunakan gerak tubuh untuk berkomunikasi. Kemudian, kedua dipakai untuk menyebut aktor di Romawi yang menyampaikan perannya melalui tari dan lagu. Kini, pantomime sering diasosiasikan sebagai gaya akting komedi tanpa kata-kata.
Meski jenis pertunjukan ini telah dikenal sejak zaman Romawi Kuno dan sering digunakan dalam ritus keagamaan, tapi bagi masyarakat Bogor yang hingga kini belum menunjukkan apresiasi terhadap seni purba ini makin menguatkan anggapan bahwa seni yang menggunakan dialog dalam bentuk mimik wajah atau tubuh belum dibutuhkan.
Jika menilik dari apa yang dilakukan Bengkel Ao dengan mime-street-nya, seolah konsep Commedia Dell’arte yang pernah mencapai puncaknya di Italia pada abad ke-16 kembali diusung sebagai salah satu upaya mengenalkan seni tersebut. Meski respon belumlah ada, tapi niat mengenalkan pantomime ke tengah-tengah masyarakat yang sibuk merias diri patut diacungi jempol. Meski kadang hal ini tak diimbangi dengan perhatian dari pemerintah, baik kota dan kabupaten.
Pantomime sebagai seni pertunjukan seperti karya seni lainnya, seperti sastra, teater, adalah salah satu cara memahami kehidupan. Setiap karya seni pertunjukan termasuk pantomime dapat dijadikan sebagai wahana untuk memahami kehidupan dalam masyarakat.
Hal itu jelas terlihat dari seni pertunjukan pantomime yang dihasilkan oleh mimer, seperti Anggit Saranta, dengan karya-karya yang merefleksikan lingkungannya. Pun dengan solah tingkah penguasanya.
Seni pertunjukan pantomim di Bogor yang masih terus mencari dalam gerak budaya yang dinamis setidaknya membutuhkan daya imajinasi yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.
Jika melihat dari akar kehadiran pantomime di jagat pertunjukan, maka sudah selayaknya-lah Bogor bisa menerima seni purba yang mampu mengocok perut dan meneteskan airmata tersebut.
Sebab, di tengah laju perkembangan seni budaya kontemporer, pantomime hadir sebagai penyejuk. Pasalnya, dalam pantomime ada unsur tari dan mimik ekspresi yang tingkatnya jauh lebih sulit ketimbang seni tari dan akting itu sendiri. Mengapa? Karena pantomime adalah drama minim kata, bahkan benar-benar bisu.
Pertanyaannya, siapa lagi yang akan mengenalkan pantomime ke tengah generasi yang lebih menyukai budaya pop? Jika pantomime tak bisa dikenalkan lewat pertunjukan di panggung dan di jalanan, mungkinkah pantomime bisa dikenalkan lewat sekolah-sekolah yang juga mulai menganaktirikan pendidikan kesenian?
Meski jenis pertunjukan ini telah dikenal sejak zaman Romawi Kuno dan sering digunakan dalam ritus keagamaan, tapi bagi masyarakat Bogor yang hingga kini belum menunjukkan apresiasi terhadap seni purba ini makin menguatkan anggapan bahwa seni yang menggunakan dialog dalam bentuk mimik wajah atau tubuh belum dibutuhkan.
Jika menilik dari apa yang dilakukan Bengkel Ao dengan mime-street-nya, seolah konsep Commedia Dell’arte yang pernah mencapai puncaknya di Italia pada abad ke-16 kembali diusung sebagai salah satu upaya mengenalkan seni tersebut. Meski respon belumlah ada, tapi niat mengenalkan pantomime ke tengah-tengah masyarakat yang sibuk merias diri patut diacungi jempol. Meski kadang hal ini tak diimbangi dengan perhatian dari pemerintah, baik kota dan kabupaten.
Pantomime sebagai seni pertunjukan seperti karya seni lainnya, seperti sastra, teater, adalah salah satu cara memahami kehidupan. Setiap karya seni pertunjukan termasuk pantomime dapat dijadikan sebagai wahana untuk memahami kehidupan dalam masyarakat.
Hal itu jelas terlihat dari seni pertunjukan pantomime yang dihasilkan oleh mimer, seperti Anggit Saranta, dengan karya-karya yang merefleksikan lingkungannya. Pun dengan solah tingkah penguasanya.
Seni pertunjukan pantomim di Bogor yang masih terus mencari dalam gerak budaya yang dinamis setidaknya membutuhkan daya imajinasi yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.
Jika melihat dari akar kehadiran pantomime di jagat pertunjukan, maka sudah selayaknya-lah Bogor bisa menerima seni purba yang mampu mengocok perut dan meneteskan airmata tersebut.
Sebab, di tengah laju perkembangan seni budaya kontemporer, pantomime hadir sebagai penyejuk. Pasalnya, dalam pantomime ada unsur tari dan mimik ekspresi yang tingkatnya jauh lebih sulit ketimbang seni tari dan akting itu sendiri. Mengapa? Karena pantomime adalah drama minim kata, bahkan benar-benar bisu.
Pertanyaannya, siapa lagi yang akan mengenalkan pantomime ke tengah generasi yang lebih menyukai budaya pop? Jika pantomime tak bisa dikenalkan lewat pertunjukan di panggung dan di jalanan, mungkinkah pantomime bisa dikenalkan lewat sekolah-sekolah yang juga mulai menganaktirikan pendidikan kesenian?
Seni Tradisi Dalam Montase
Maraknya pentas kemasan wisata, seperti tari-tarian di Bogor adalah satu indikasi bahwa program pariwisata, khususnya wisata budaya, berhasil. Namun, keberhasilan tersebut masih bersifat kuantitatif. Kualitas dan prospeknya di masa mendatang masih perlu digali lagi. Tampaknya, keberhasilan tersebut tak lepas dari peranserta pelbagai pihak dalam pengemasan wisata budaya, seperti seniman dengan pengelola pertunjukan wisata (café, restoran dan hotel).
Bogor sebagai salah satu kota tujuan wisata telah mengantisipasi kehadiran wisatawan dengan membuka pelbagai tempat pertunjukan konsumsi wisatawan, salah satunya di Café dan Resto Gumati, Jalan Paledang, Kota Bogor. Di tempat ini, hampir setiap malam Minggu atau Sabtu malam menyajikan pelbagai pementasan, khususnya tari-tarian tradisional. Rupanya, geliat seperti ini sudah menjadi salah satu alasan mengapa Café dan Resto Gumati selalu ramai dikunjungi wisatawan manca dan dalam negeri. Terlepas dari menu makanan yang disediakan dan pemandangan yang elok, yakni Gunung Salak.
Ada beberapa poin plus yang dapat diambil dari pentas kemasan yang sering digelar di luar ruangan, tepatnya di dekat kolam. Pertama, latar belakang Gunung Salak sangat mendukung suasana pementasan. Dan yang kedua, pencahayaan yang langsung ditujukan ke air di atas kolam. Sungguh capaian estetis yang memesona.
Dalam konteks pementasan tari tradisional, pertunjukan tersebut jelas memberi dampak positif terhadap upaya pelestarian kebudayaan lokal yang kini tengah digerus modernitas. Maurice Duverger mengatakan bahwa tidak ada generasi yang puas dengan mewariskan seni yang diterimanya dari peninggalan masa lalu. Oleh sebab itu, setiap generasi berusaha membuat sumbangannya sendiri.
Sejalan dengan teori di atas, keberadaan tari-tari tradisional di pelbagai tempat di Bogor harus dipikirkan masa depannya, terutama dalam menghadapi persaingan dengan budaya-budaya barat yang lebih mudah diterima oleh sebagian besar generasi muda.
Di zaman modern ini, nilai-nilai tradisional sangat sulit dipertahankan. Pola tradisional yang statis tidak lagi relevan dengan situasi zaman yang selalu berubah-ubah. Sajian tari tradisi, seperti Jaipong di panggung terbuka Café dan Resto Gumati mau tak mau harus berkejaran dengan pelbagai tampilan budaya-budaya modern yang tampil tak kalah garang dengan tari tradisional.
Di satu sisi, ini tantangan seniman tradisi untuk memertahankan kearifan lokal. Di sisi lain, mau tak mau, pemilik dan pengelola tempat-tempat yang masih menyajikan tari-tari tradisi harus memberikan porsi lebih kepada seni pertunjukan tradisi. Ini yang musti segera digarap. Tentunya, hal ini membutuhkan kreativitas seniman dalam mengemas seni pertunjukan.
Menurut Umar Kayam, seni sebagai bagian dari kebudayaan adalah salah satu unsur penyangga kebudayaan. Dengan demikian, kesenian atau seniman harus mengerti situasi masyarakat penikmatnya. Selain itu, pengelola tempat wisata harus dapat menempatkan sajiannya sebagai suatu cermin dari perkembangan budaya yang terjadi. Jadi seni tradisi tak hanya berperan sebagai media hiburan semata, seperti yang banyak terhadi di pelbagai tempat di Bogor.
Tak hanya Café dan Resto Gumati saja yang banyak menampilkan seni tradisi, khususnya tari-tarian. Dan jika ini terjadi di banyak tempat dan dilakukan berulang-ulang, maka akan muncul tradisi baru yang sebelumnya tak pernah terjadi.
Sistem bergilir yang acapkali digunakan pemilik café dan restoran serta hotel, sangat memungkinkan munculnya karya-karya baru dan seniman-seniman baru yang nantinya akan mewarnai wajah-wajah kesenian di Bogor. Dan ini juga menjadi salah satu upaya pelestarian seni tradisi yang ada di Bogor. Dalam pementasan yang digelar, konsep penghadiran sajian disarankan yang tidak membahayakan keberadaan seni tradisional. Kreativitas seniman memang tak dibatasi. Tapi, demi tegak dan utuhnya kebudayaan lokal, seniman diminta tetap menghormati peninggalan-peninggalan leluhur.
Sebagai produk wisata yang berbeda dari produk cenderamata (Soeprapto Soejono), produk seni pertunjukan lebih kompleks keberadaannya. Di sinilah dibutuhkan seniman dan pengelola yang intens memertahankan nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki. Khusus untuk seni pertunjukan yang masih memiliki nilai kesakralan, seniman diminta tak mengihilangkan semua unsur kesakralan tersebut. Melainkan, memodifikasinya sedemikian hingga agar penikmat tak terjerumus ke dalam hal-hal yang berbau mistik.
Dengan adanya seni tradisi di pelbagai tempat, seperti café, restoran dan hotel, nilai kearifan lokal yang tak ada di tempat manapun akan tetap kokoh berdiri. Meski kerap mendapat serbuan dari budaya modern yang lebih mengedepankan fleksibilitas daripada mengedepankan pendekatan humanis, seperti yang terlihat dari tari-tari tradisional.
Sekali lagi, kita menaruh beban berat di pundak para seniman agar tetap memertahankan nilai-nilai kearifan lokal di tengah era globalisasi tersebut. Dan acungan jempol, pantas diberikan kepada tempat-tempat yang masih sudi menampilan ragam budaya nusantara. Entah dengan alasan apapun itu. Sebab yang terpenting adalah lokalitas seni tradisi tetap utuh terjaga
Bogor sebagai salah satu kota tujuan wisata telah mengantisipasi kehadiran wisatawan dengan membuka pelbagai tempat pertunjukan konsumsi wisatawan, salah satunya di Café dan Resto Gumati, Jalan Paledang, Kota Bogor. Di tempat ini, hampir setiap malam Minggu atau Sabtu malam menyajikan pelbagai pementasan, khususnya tari-tarian tradisional. Rupanya, geliat seperti ini sudah menjadi salah satu alasan mengapa Café dan Resto Gumati selalu ramai dikunjungi wisatawan manca dan dalam negeri. Terlepas dari menu makanan yang disediakan dan pemandangan yang elok, yakni Gunung Salak.
Ada beberapa poin plus yang dapat diambil dari pentas kemasan yang sering digelar di luar ruangan, tepatnya di dekat kolam. Pertama, latar belakang Gunung Salak sangat mendukung suasana pementasan. Dan yang kedua, pencahayaan yang langsung ditujukan ke air di atas kolam. Sungguh capaian estetis yang memesona.
Dalam konteks pementasan tari tradisional, pertunjukan tersebut jelas memberi dampak positif terhadap upaya pelestarian kebudayaan lokal yang kini tengah digerus modernitas. Maurice Duverger mengatakan bahwa tidak ada generasi yang puas dengan mewariskan seni yang diterimanya dari peninggalan masa lalu. Oleh sebab itu, setiap generasi berusaha membuat sumbangannya sendiri.
Sejalan dengan teori di atas, keberadaan tari-tari tradisional di pelbagai tempat di Bogor harus dipikirkan masa depannya, terutama dalam menghadapi persaingan dengan budaya-budaya barat yang lebih mudah diterima oleh sebagian besar generasi muda.
Di zaman modern ini, nilai-nilai tradisional sangat sulit dipertahankan. Pola tradisional yang statis tidak lagi relevan dengan situasi zaman yang selalu berubah-ubah. Sajian tari tradisi, seperti Jaipong di panggung terbuka Café dan Resto Gumati mau tak mau harus berkejaran dengan pelbagai tampilan budaya-budaya modern yang tampil tak kalah garang dengan tari tradisional.
Di satu sisi, ini tantangan seniman tradisi untuk memertahankan kearifan lokal. Di sisi lain, mau tak mau, pemilik dan pengelola tempat-tempat yang masih menyajikan tari-tari tradisi harus memberikan porsi lebih kepada seni pertunjukan tradisi. Ini yang musti segera digarap. Tentunya, hal ini membutuhkan kreativitas seniman dalam mengemas seni pertunjukan.
Menurut Umar Kayam, seni sebagai bagian dari kebudayaan adalah salah satu unsur penyangga kebudayaan. Dengan demikian, kesenian atau seniman harus mengerti situasi masyarakat penikmatnya. Selain itu, pengelola tempat wisata harus dapat menempatkan sajiannya sebagai suatu cermin dari perkembangan budaya yang terjadi. Jadi seni tradisi tak hanya berperan sebagai media hiburan semata, seperti yang banyak terhadi di pelbagai tempat di Bogor.
Tak hanya Café dan Resto Gumati saja yang banyak menampilkan seni tradisi, khususnya tari-tarian. Dan jika ini terjadi di banyak tempat dan dilakukan berulang-ulang, maka akan muncul tradisi baru yang sebelumnya tak pernah terjadi.
Sistem bergilir yang acapkali digunakan pemilik café dan restoran serta hotel, sangat memungkinkan munculnya karya-karya baru dan seniman-seniman baru yang nantinya akan mewarnai wajah-wajah kesenian di Bogor. Dan ini juga menjadi salah satu upaya pelestarian seni tradisi yang ada di Bogor. Dalam pementasan yang digelar, konsep penghadiran sajian disarankan yang tidak membahayakan keberadaan seni tradisional. Kreativitas seniman memang tak dibatasi. Tapi, demi tegak dan utuhnya kebudayaan lokal, seniman diminta tetap menghormati peninggalan-peninggalan leluhur.
Sebagai produk wisata yang berbeda dari produk cenderamata (Soeprapto Soejono), produk seni pertunjukan lebih kompleks keberadaannya. Di sinilah dibutuhkan seniman dan pengelola yang intens memertahankan nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki. Khusus untuk seni pertunjukan yang masih memiliki nilai kesakralan, seniman diminta tak mengihilangkan semua unsur kesakralan tersebut. Melainkan, memodifikasinya sedemikian hingga agar penikmat tak terjerumus ke dalam hal-hal yang berbau mistik.
Dengan adanya seni tradisi di pelbagai tempat, seperti café, restoran dan hotel, nilai kearifan lokal yang tak ada di tempat manapun akan tetap kokoh berdiri. Meski kerap mendapat serbuan dari budaya modern yang lebih mengedepankan fleksibilitas daripada mengedepankan pendekatan humanis, seperti yang terlihat dari tari-tari tradisional.
Sekali lagi, kita menaruh beban berat di pundak para seniman agar tetap memertahankan nilai-nilai kearifan lokal di tengah era globalisasi tersebut. Dan acungan jempol, pantas diberikan kepada tempat-tempat yang masih sudi menampilan ragam budaya nusantara. Entah dengan alasan apapun itu. Sebab yang terpenting adalah lokalitas seni tradisi tetap utuh terjaga
Monolog & Etika Berkesenian
Merasa Bisa, Belum Bisa Diartikan Sebagai Benar-Benar Bisa
(Building a Character, Constantin Stanislavski)
Teater adalah dunia imaji. Demikian dituliskan Slamet Rahardjo Djarot dalam buku berjudul Membangun Karakter, salah satu buku hasil telisik buku karangan Constantin Stanislavski berjudul Building a Character. Sungguh luar biasa. Sebab, imaji dijadikan kunci untuk memahami teater. Satu hal yang patut digaris bawahi.
Dan kalimat Merasa Bisa, Belum Bisa Diartikan Sebagai Benar-Benar Bisa menjadi paradoks ketika menilik upaya sejumlah seniman di Bogor yang dengan keseriusan serta keuletan, membangun kembali dunia imaji (teater.red) yang terserak itu. Betapa tidak, semangat membangun kembali masa-masa kejayaan teater di Bogor sirna. Seiring dengan banyaknya perlombaan-perlombaan teater, baik di tingkat umum maupun pelajar. Pasalnya, ‘gelar juara’ seolah-olah menjadi harga mati berkesenian. Sungguh tujuan berkesenian yang kurang etis. Berkarya demi mengejar ‘gelar juara’ dengan kata lain, memburu ‘popularitas’.
Fenomena seperti ini baru saja terjadi, (atau mungkin sudah menjadi semacam tradisi di Bogor). Lomba monolog dalam rangka La Sastra yang digelar SMAN 5 Bogor menjadi satu bukti. Dimana semua sekolah yang mengirimkan utusan mengikuti lomba tersebut hanya mengejar ambisi juara. Tak lebih dari itu. Sebab menjadi juara sama artinya dengan membawa nama baik sekolah setingkat lebih tinggi dibanding sekolah lain, dalam hal ini khusus lomba monolog.
Predikat juara, seakan telah menutup ruang-ruang kreativitas dalam penggarapan monolog. Kesan apa adanya sangat kuat terlihat. Ini terbukti dari properti dan makeup serta kostum yang kurang digarap maksimal. Amat disayangkan, ketika monolog mulai ditinggalkan atau bahkan dilupakan oleh sebagian besar pelajar Bogor, upaya untuk menyajikan satu bentuk pengenalan monolog kepada meraka (pelajar.red) tidak dilakukan. Lagi-lagi, utusan sekolah dalam hal ini guru pendamping dan mungkin juga sang aktor sudah dilenakan dengan predikat ‘juara’ entah juara dalam lomba monolog dimanapun. Merasa Bisa Belum Bisa Diartikan Sebagai Benar-Benar Bisa.
Seniman teater, atau aktor harus benar-benar merenungkan kalimat di atas dan bertanya dalam hati, apakah kita tergolong aktor yang ‘bisa’ dalam arti ‘mampu’ mengejawantahkan apa yang tersurat dan tersirat dari makna berkarya, mencipta dan berkreativitas. Alih-alih berkreativitas, sang aktor atau seniman cenderung terjebak dengan sesuatu yang statis dengan alasan ‘itu karakter karya saya’. Sungguh satu alasan yang kurang masuk akal. Padahal, dengan daya cipta yang dimiliki, seorang seniman mampu mencipta pelbagai karakter karya.
Kembali ke pesta monolog pelajar yang ternyata sudah menjadi satu agenda rutin acara La Sastra SMAN 5 tanggal 23-24 November 2009. Banyak hal-hal yang terlepas dari acara tahunan tersebut, salah satunya muatan edukasi tentang monolog itu sendiri. Hal ini terlihat dari beberapa peserta yang terkesan asal-asalan dalam menyajikan karya. Pertanyaannya, apakah mereka tahu apa itu monolog? Atau memang guru kesenian di sekolah tersebut sangat terbatas pengetahuan monolognya.
Banyak catatan yang mesti segera ditindaklanjuti pihak-pihak terkait, seperti penyelenggara, guru dalam hal ini pelatih teater dan aktor atau siswa itu sendiri. Ambisi untuk menjadi juara menjadi satu catatan penting yang harus dibenahi. Bukan apa-apa. Sebab, akibat ambisi mengejar popularitas, nilai-nilai kreativitas malah dikorbankan. Ini efek dari ambisi itu sendiri. Entah ambisi sang guru dalam hal ini pelatih teater, atau ambisi sang aktor (murid.red) yang mempertaruhkan harga dirinya sebagai sang juara.
Ambisi tersebut sangat wajar, mengingat di Bogor jarang sekali ada perlombaan monolog, baru Festival Monolog Perempuan (FMP) 2009 yang digelar ruang8 Jurnal Bogor awal tahun ini di SMAN 7 Bogor. Selebihnya hanya perlombaan-perlombaan kecil yang kurang terekspos media.
Tapi yang disayangkan, ambisi itu malah menjerumuskan mereka (aktor dan sang pelatih.red) untuk berlaku jujur dalam berkarya dan menilai kekurangan diri. Merasa diri paling hebat menjadi satu-satunya kendala menerima semua resiko dalam perlombaan, menang dan kalah.
Tapi sekali lagi, tujuan berkesenian bukanlah menang kalah, melainkan membuat satu karya yang layak dinikmati dan mencerdaskan penonton atau penikmat seni itu sendiri. Kearifan terbesar adalah mengenali dan mengakui kurangnya kearifan diri. Bagaimanapun juga, menerima dan mengakui kelebihan orang lain adalah satu etika berkesenian yang harus dijunjung tinggi.
(Building a Character, Constantin Stanislavski)
Teater adalah dunia imaji. Demikian dituliskan Slamet Rahardjo Djarot dalam buku berjudul Membangun Karakter, salah satu buku hasil telisik buku karangan Constantin Stanislavski berjudul Building a Character. Sungguh luar biasa. Sebab, imaji dijadikan kunci untuk memahami teater. Satu hal yang patut digaris bawahi.
Dan kalimat Merasa Bisa, Belum Bisa Diartikan Sebagai Benar-Benar Bisa menjadi paradoks ketika menilik upaya sejumlah seniman di Bogor yang dengan keseriusan serta keuletan, membangun kembali dunia imaji (teater.red) yang terserak itu. Betapa tidak, semangat membangun kembali masa-masa kejayaan teater di Bogor sirna. Seiring dengan banyaknya perlombaan-perlombaan teater, baik di tingkat umum maupun pelajar. Pasalnya, ‘gelar juara’ seolah-olah menjadi harga mati berkesenian. Sungguh tujuan berkesenian yang kurang etis. Berkarya demi mengejar ‘gelar juara’ dengan kata lain, memburu ‘popularitas’.
Fenomena seperti ini baru saja terjadi, (atau mungkin sudah menjadi semacam tradisi di Bogor). Lomba monolog dalam rangka La Sastra yang digelar SMAN 5 Bogor menjadi satu bukti. Dimana semua sekolah yang mengirimkan utusan mengikuti lomba tersebut hanya mengejar ambisi juara. Tak lebih dari itu. Sebab menjadi juara sama artinya dengan membawa nama baik sekolah setingkat lebih tinggi dibanding sekolah lain, dalam hal ini khusus lomba monolog.
Predikat juara, seakan telah menutup ruang-ruang kreativitas dalam penggarapan monolog. Kesan apa adanya sangat kuat terlihat. Ini terbukti dari properti dan makeup serta kostum yang kurang digarap maksimal. Amat disayangkan, ketika monolog mulai ditinggalkan atau bahkan dilupakan oleh sebagian besar pelajar Bogor, upaya untuk menyajikan satu bentuk pengenalan monolog kepada meraka (pelajar.red) tidak dilakukan. Lagi-lagi, utusan sekolah dalam hal ini guru pendamping dan mungkin juga sang aktor sudah dilenakan dengan predikat ‘juara’ entah juara dalam lomba monolog dimanapun. Merasa Bisa Belum Bisa Diartikan Sebagai Benar-Benar Bisa.
Seniman teater, atau aktor harus benar-benar merenungkan kalimat di atas dan bertanya dalam hati, apakah kita tergolong aktor yang ‘bisa’ dalam arti ‘mampu’ mengejawantahkan apa yang tersurat dan tersirat dari makna berkarya, mencipta dan berkreativitas. Alih-alih berkreativitas, sang aktor atau seniman cenderung terjebak dengan sesuatu yang statis dengan alasan ‘itu karakter karya saya’. Sungguh satu alasan yang kurang masuk akal. Padahal, dengan daya cipta yang dimiliki, seorang seniman mampu mencipta pelbagai karakter karya.
Kembali ke pesta monolog pelajar yang ternyata sudah menjadi satu agenda rutin acara La Sastra SMAN 5 tanggal 23-24 November 2009. Banyak hal-hal yang terlepas dari acara tahunan tersebut, salah satunya muatan edukasi tentang monolog itu sendiri. Hal ini terlihat dari beberapa peserta yang terkesan asal-asalan dalam menyajikan karya. Pertanyaannya, apakah mereka tahu apa itu monolog? Atau memang guru kesenian di sekolah tersebut sangat terbatas pengetahuan monolognya.
Banyak catatan yang mesti segera ditindaklanjuti pihak-pihak terkait, seperti penyelenggara, guru dalam hal ini pelatih teater dan aktor atau siswa itu sendiri. Ambisi untuk menjadi juara menjadi satu catatan penting yang harus dibenahi. Bukan apa-apa. Sebab, akibat ambisi mengejar popularitas, nilai-nilai kreativitas malah dikorbankan. Ini efek dari ambisi itu sendiri. Entah ambisi sang guru dalam hal ini pelatih teater, atau ambisi sang aktor (murid.red) yang mempertaruhkan harga dirinya sebagai sang juara.
Ambisi tersebut sangat wajar, mengingat di Bogor jarang sekali ada perlombaan monolog, baru Festival Monolog Perempuan (FMP) 2009 yang digelar ruang8 Jurnal Bogor awal tahun ini di SMAN 7 Bogor. Selebihnya hanya perlombaan-perlombaan kecil yang kurang terekspos media.
Tapi yang disayangkan, ambisi itu malah menjerumuskan mereka (aktor dan sang pelatih.red) untuk berlaku jujur dalam berkarya dan menilai kekurangan diri. Merasa diri paling hebat menjadi satu-satunya kendala menerima semua resiko dalam perlombaan, menang dan kalah.
Tapi sekali lagi, tujuan berkesenian bukanlah menang kalah, melainkan membuat satu karya yang layak dinikmati dan mencerdaskan penonton atau penikmat seni itu sendiri. Kearifan terbesar adalah mengenali dan mengakui kurangnya kearifan diri. Bagaimanapun juga, menerima dan mengakui kelebihan orang lain adalah satu etika berkesenian yang harus dijunjung tinggi.
Kemana Sejarah Bojong Kokosan?
Sejarah mencatat, tanggal 2 Desember 1945 terjadi pertempuran sengit di Bojong Kokosan, Kecamatan Parung Kuda, Kabupaten Sukabumi. Dan tepat pada tanggal 9 Desember 1945, para pejuang Sukabumi melakukan penghadangan terhadap konvoi tentara Sekutu sehingga terjadi pertempuran yang dasyat dan dikenal dengan Pertempuran Bojong Kokosan. Sayang, pertempuran heroik itu tak banyak yang tahu. Atas dasar itulah, puluhan seniman Bogor, Sukabumi dan Bandung menghidupkan kembali cerita-cerita yang mengharu biru itu dalam satu fragmen. Intinya, mereka (seniman.red) ingin mengajak penonton mengingat kembali sejarah Bojong Kokosan yang kini sudah dilupakan.
Gedung Kemuning Gading pun disulap ke tahun 1945, dimana sejarah itu tercatat. Tak pelak, memori penonton yang didominasi generasi tua itu pun muncul. Dulu, keperkasaan pejuang Sukabumi itu hanya bisa didengar lewat cerita-cerita orangtua sebelum berangkat tidur. Kini, cerita itu divisualisasikan ke dalam satu cerita singkat berdurasi kurang lebih 90 menit. Alih-alih menghidupkan cerita, mereka malah terjebak pada usaha memberikan pesan.
Ini terlihat dari satu adegan dimana para pejuang itu menangkat tandu beramai-ramai dengan iringan musik yang kadang menyayat dan kadang-kadang terkesan biasa. Selain itu, alur cerita yang terlihat cepat, dan hanya menonjolkan penokohan seorang komandan tak sampai kepada inti persoalan yang coba diangkat. Padahal, sejarah Bojong Kokosan penuh dengan muatan semangat patriotisme dan nasionalisme. Entah mengapa, seniman-seniman itu hanya mengambil potongan cerita yang menurut hemat penulis kurang layak ditampilkan dalam fragmen itu.
Seharusnya, peristiwa berawal dari adanya berita yang diterima para pejuang Sukabumi di Pos Cigombong, bahwa tentara Sekutu sedang menuju Sukabumi. Mendengar berita tersebut, Kompi III yang dipimpin Kapten Murad dan kepala seksi I dan seksi II serta laskar rakyat Sukabumi berusaha menduduki tempat pertahanan di tebing utara dan selatan Jalan Bojong Kokosan.
Barisan TKR yang ikut terlibat dalam peristiwa Bojong Kokosan diperkuat 165 orang yang bersenjata senapan Ediston/ Hamburg, Bou-man/Double Loap, Pistol Parabelm, granat tangan, dan senjata tajam (golok, tombak, dan bamboo run-cing) serta senjata buatan sendiri berupa botol berisi bensin yang di-sumbat karet mentah yang disebut “krembing” (granat pembakar). Sedangkan laskar rakyat didukung oleh Barisan Banteng pimpinan Haji Toha, Hisbullah pimpinan Haji Akbar, dan Pesindo. Barisan laskar rakyat bersenjatakan Kara-ben Jepang, pistol, dan bom Molotov (Badan Pengelola Monumen: 20).
Sekitar pukul 15.00, konvoi tentara Sekutu datang. Konvoi di-dahului dengan tank, panser wagon, 100 truk berisi pasukan Gurkha dan pembekalan, serta dilindungi 3 pesawat terbang pemburu. Pada saat mendekati Bojong Kokosan konvoi berhenti karena terhalang barikade yang dibuat para pejuang Sukabumi. Adanya barikade ter-sebut membuat tentara Sekutu terlihat panik dan bersiaga. Pada saat itulah, Kapten Murad, komandan kompi III memberi isyarat dengan tembakan dua kali, sebagai tanda mulai penyerangan. Terjadilah pertempuran sengit. Para pejuang segera melemparkan granat tangan, granat krembing, dan tembakan. Serangan ini mengakibatkan korban jatuh di pihak tentara Sekutu.
Nampaknya, cerita ini tak diangkat pelakon yang sudah di dukung dengan kostum yang lengkap. Fragmen itu malah cenderung mengangkat dialog-dialog yang menurut hemat penulis tak perlu dilakukan di dalam cerita yang penuh nilai-nilai semangat patriotisme. Entah lupa atau untuk kepentingan apa, mereka (seniman.red) lebih memilih adegan yang monoton dari awal sampai akhir pertujukan. Tercatat, hanya adegan keranda itulah yang mengingatkan akan sejarah Bojong Kokosan. Dan itu pun hanya terjadi beberapa menit saja. Tak pelak, penonton yang menanti visualisasi sejarah Bojong Kokosan sedikit mengerutkan dahi. Entah berfikir atau kecewa akan adegan tersebut.
Tapi bagaimanapun juga, fragmen Bojong Kokosan patut diacungi jempol. Pasalnya, di tengah pelupaan sejarah Bojong Kokosan, seniman lintas daerah tersebut masih mampu dan sudi menghadirkan fragmen sejarah yang kini jarang sekali ditemui di tempat-tempat pertujukan, seperti di Gedung Kemuning Gading, salah satu gedung pertunjukan yang sudah sangat jarang menyajikan pertunjukan-pertunjukan berkualitas, baik seni tradisi maupun modern.
Gedung Kemuning Gading pun disulap ke tahun 1945, dimana sejarah itu tercatat. Tak pelak, memori penonton yang didominasi generasi tua itu pun muncul. Dulu, keperkasaan pejuang Sukabumi itu hanya bisa didengar lewat cerita-cerita orangtua sebelum berangkat tidur. Kini, cerita itu divisualisasikan ke dalam satu cerita singkat berdurasi kurang lebih 90 menit. Alih-alih menghidupkan cerita, mereka malah terjebak pada usaha memberikan pesan.
Ini terlihat dari satu adegan dimana para pejuang itu menangkat tandu beramai-ramai dengan iringan musik yang kadang menyayat dan kadang-kadang terkesan biasa. Selain itu, alur cerita yang terlihat cepat, dan hanya menonjolkan penokohan seorang komandan tak sampai kepada inti persoalan yang coba diangkat. Padahal, sejarah Bojong Kokosan penuh dengan muatan semangat patriotisme dan nasionalisme. Entah mengapa, seniman-seniman itu hanya mengambil potongan cerita yang menurut hemat penulis kurang layak ditampilkan dalam fragmen itu.
Seharusnya, peristiwa berawal dari adanya berita yang diterima para pejuang Sukabumi di Pos Cigombong, bahwa tentara Sekutu sedang menuju Sukabumi. Mendengar berita tersebut, Kompi III yang dipimpin Kapten Murad dan kepala seksi I dan seksi II serta laskar rakyat Sukabumi berusaha menduduki tempat pertahanan di tebing utara dan selatan Jalan Bojong Kokosan.
Barisan TKR yang ikut terlibat dalam peristiwa Bojong Kokosan diperkuat 165 orang yang bersenjata senapan Ediston/ Hamburg, Bou-man/Double Loap, Pistol Parabelm, granat tangan, dan senjata tajam (golok, tombak, dan bamboo run-cing) serta senjata buatan sendiri berupa botol berisi bensin yang di-sumbat karet mentah yang disebut “krembing” (granat pembakar). Sedangkan laskar rakyat didukung oleh Barisan Banteng pimpinan Haji Toha, Hisbullah pimpinan Haji Akbar, dan Pesindo. Barisan laskar rakyat bersenjatakan Kara-ben Jepang, pistol, dan bom Molotov (Badan Pengelola Monumen: 20).
Sekitar pukul 15.00, konvoi tentara Sekutu datang. Konvoi di-dahului dengan tank, panser wagon, 100 truk berisi pasukan Gurkha dan pembekalan, serta dilindungi 3 pesawat terbang pemburu. Pada saat mendekati Bojong Kokosan konvoi berhenti karena terhalang barikade yang dibuat para pejuang Sukabumi. Adanya barikade ter-sebut membuat tentara Sekutu terlihat panik dan bersiaga. Pada saat itulah, Kapten Murad, komandan kompi III memberi isyarat dengan tembakan dua kali, sebagai tanda mulai penyerangan. Terjadilah pertempuran sengit. Para pejuang segera melemparkan granat tangan, granat krembing, dan tembakan. Serangan ini mengakibatkan korban jatuh di pihak tentara Sekutu.
Nampaknya, cerita ini tak diangkat pelakon yang sudah di dukung dengan kostum yang lengkap. Fragmen itu malah cenderung mengangkat dialog-dialog yang menurut hemat penulis tak perlu dilakukan di dalam cerita yang penuh nilai-nilai semangat patriotisme. Entah lupa atau untuk kepentingan apa, mereka (seniman.red) lebih memilih adegan yang monoton dari awal sampai akhir pertujukan. Tercatat, hanya adegan keranda itulah yang mengingatkan akan sejarah Bojong Kokosan. Dan itu pun hanya terjadi beberapa menit saja. Tak pelak, penonton yang menanti visualisasi sejarah Bojong Kokosan sedikit mengerutkan dahi. Entah berfikir atau kecewa akan adegan tersebut.
Tapi bagaimanapun juga, fragmen Bojong Kokosan patut diacungi jempol. Pasalnya, di tengah pelupaan sejarah Bojong Kokosan, seniman lintas daerah tersebut masih mampu dan sudi menghadirkan fragmen sejarah yang kini jarang sekali ditemui di tempat-tempat pertujukan, seperti di Gedung Kemuning Gading, salah satu gedung pertunjukan yang sudah sangat jarang menyajikan pertunjukan-pertunjukan berkualitas, baik seni tradisi maupun modern.
Memestakan Budaya Urban
Hilangnya ruang publik yang diperlukan untuk berkreasi dan melakukan pertunjukan melahirkan budaya urban. Budaya tersebut mengumpulkan semua jenis seni yang secara tak sadar terbentuk di jalan, sebagai salah satu tempat bermuaranya semua penciptaan yang tiada habisnya. Tak salah jika banyak generasi muda yang senang dengan budaya urban tersebut. Pasalnya, budaya urban memberi tempat seluas-luasnya terhadap semua bentuk kreasi, mulai dari garapan musik, tari atau dance dan fesyen. Tak dapat dipungkiri, jika budaya urban cepat mendapat tempat di mata generasi muda dibanding budaya tradisional yang banyak memiliki aturan-aturan yang kecil kemungkinannya diubah.
Budaya urban yang lebih dulu dikenal masyarakat adalah musik, yakni hip-hop. Pada awalnya, musik ini adalah budaya daerah pinggiran kota. Jelas, musik jenis ini langsung menggebrak. Sebab, ruh dan tampilan musisinya tampak beda dari kebanyakan musisi lainnya. Hip-hop dan rap dalam musik, break dance atau smurf dalam tari dan seni rupa yang diwakili dengan graffiti menjadi satu bukti bahwa budaya urban sudah menjadi ruh generasi muda di belahan bumi manapun. Selain seni yang disebutkan di atas, fashionn style mulai marak diperbincangkan dan bahkan dipamerkan. Baru-baru ini di Komplek Kuil Myogan, Megamendung, Kabupaten Bogor ratusan kawula muda mengikuti ajang semarak akhir tahun bertajuk Indonesian Dream Festival atau nama bekennya IDeFest 2009.
Salah satu jenis lomba yang digelar adalah pameran fashion stylist. Di mana para pesertanya diberi kebebasan penuh mendesain pakaian. Walhasil, stand pameran tersebut dipenuhi para kawula muda yang ingin menyaksikan rancangan busana dari para peserta. Dan di luar dugaan, ketika kebebasan ekspresi diberi tempat, hasil kreasi dan inovasi generasi muda sungguh luar biasa.
Pameran tersebut sebagai salah satu bentuk perlawanan kaum muda yang saat ini lebih asik memilih menggelar pameran dalam kampus-kampus atau bahkan dalam komunitas tertentu tanpa diketahui masyarakat pada umumnya. Dan ini sudah menjadi satu konsekuensi logis. Ketika budaya urban belum bisa diterima masyarakat luas, mereka (pelaku budaya urban.red) lebih memilih menggelar acara secara diam-diam.
Dan sebagai simbol perlawanan, budaya urban tak lepas dari masalah. Mulai dari penolakan hingga pencemoohan. Banyak kalangan masyarakat yang belum siap menerima budaya tersebut. Sebab menurut mereka, budaya urban sama sekali tidak mencerminkan adat ketimuran yang lebih mengedepankan kesopan-santunan, baik dalam hal apapun. Dan bahkan kata mereka, budaya urban telah merebutlarikan akar budaya ketimuran.
Hadirnya budaya urban di tengah masyarakat bukan semata-mata kesalahan generasi mudanya yang kurang mengenal atau memahami budaya sendiri. Melainkan kurangnya kepedulian para pendahulu yang enggan atau mungkin tak ada waktu untuk melakukan pengkaderan disiplin seni kepada generasi muda. Jadi wajar, ketika sebagian generasi muda lebih asik menggeluti budaya urban daripada budaya tradisional yang dinilainya kurang memiliki daya jual.
Jadi jangan heran, ketika budaya urban cepat diterima generasi muda. Sebab, ekspresi yang ditampilkannya membawa pesan yang sama, yaitu kegelisahan daerah pinggiran kota. Selain itu, budaya urban juga sebagai saksi konteks sosial budaya dan politis yang terjadi pada suatu masa.
Budaya urban yang lebih dulu dikenal masyarakat adalah musik, yakni hip-hop. Pada awalnya, musik ini adalah budaya daerah pinggiran kota. Jelas, musik jenis ini langsung menggebrak. Sebab, ruh dan tampilan musisinya tampak beda dari kebanyakan musisi lainnya. Hip-hop dan rap dalam musik, break dance atau smurf dalam tari dan seni rupa yang diwakili dengan graffiti menjadi satu bukti bahwa budaya urban sudah menjadi ruh generasi muda di belahan bumi manapun. Selain seni yang disebutkan di atas, fashionn style mulai marak diperbincangkan dan bahkan dipamerkan. Baru-baru ini di Komplek Kuil Myogan, Megamendung, Kabupaten Bogor ratusan kawula muda mengikuti ajang semarak akhir tahun bertajuk Indonesian Dream Festival atau nama bekennya IDeFest 2009.
Salah satu jenis lomba yang digelar adalah pameran fashion stylist. Di mana para pesertanya diberi kebebasan penuh mendesain pakaian. Walhasil, stand pameran tersebut dipenuhi para kawula muda yang ingin menyaksikan rancangan busana dari para peserta. Dan di luar dugaan, ketika kebebasan ekspresi diberi tempat, hasil kreasi dan inovasi generasi muda sungguh luar biasa.
Pameran tersebut sebagai salah satu bentuk perlawanan kaum muda yang saat ini lebih asik memilih menggelar pameran dalam kampus-kampus atau bahkan dalam komunitas tertentu tanpa diketahui masyarakat pada umumnya. Dan ini sudah menjadi satu konsekuensi logis. Ketika budaya urban belum bisa diterima masyarakat luas, mereka (pelaku budaya urban.red) lebih memilih menggelar acara secara diam-diam.
Dan sebagai simbol perlawanan, budaya urban tak lepas dari masalah. Mulai dari penolakan hingga pencemoohan. Banyak kalangan masyarakat yang belum siap menerima budaya tersebut. Sebab menurut mereka, budaya urban sama sekali tidak mencerminkan adat ketimuran yang lebih mengedepankan kesopan-santunan, baik dalam hal apapun. Dan bahkan kata mereka, budaya urban telah merebutlarikan akar budaya ketimuran.
Hadirnya budaya urban di tengah masyarakat bukan semata-mata kesalahan generasi mudanya yang kurang mengenal atau memahami budaya sendiri. Melainkan kurangnya kepedulian para pendahulu yang enggan atau mungkin tak ada waktu untuk melakukan pengkaderan disiplin seni kepada generasi muda. Jadi wajar, ketika sebagian generasi muda lebih asik menggeluti budaya urban daripada budaya tradisional yang dinilainya kurang memiliki daya jual.
Jadi jangan heran, ketika budaya urban cepat diterima generasi muda. Sebab, ekspresi yang ditampilkannya membawa pesan yang sama, yaitu kegelisahan daerah pinggiran kota. Selain itu, budaya urban juga sebagai saksi konteks sosial budaya dan politis yang terjadi pada suatu masa.
Patung & Monumen, Simbol Kota yang Terlupakan
Sebagai simbol dan kebanggaan suatu daerah (baca: kota), keberadaan patung dan monumen di Kota Bogor dipandang sebelah mata bahkan dilupakan. Patung Narkoba yang berdiri di simpang empat Kedung Halang jadi bukti nyata, betapa patung itu kini sudah tak memiliki nilai. Bahkan, patung atau monumen yang seharusnya menjadi alat komunikasi ini tak bernilai seni (estetika).
Bukan maksud menghakimi sang pembuat patung. Tapi, spirit yang coba ditampilkan melalui simbol seorang anak laki-laki dengan pelbagai asesoris yang menunjukkan perlawanan terhadap segala macam bentuk narkoba tak ada. Sebagai simbol komunikatif, Patung Narkoba sedikit berhasil. Akan tetapi keberadaannya terlupakan.
Patung dan monumen yang berdiri di sebuah daerah merupakan simbol-simbol visual dengan fungsi sebagai sarana edukasi, peringatan sejarah perjuangan, estetika, bahkan kerap menjadi ikon kota.
Karena patung itu berada di ruang publik, maka alangkah bijaknya pemerintah setempat menganggarkan dana untuk perawatan. Tapi sayang, hal ini tidak dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor bahkan Kabupaten Bogor, yang konon katanya pengerjaan Patung Narkoba tersebut dilakukan oleh Pemkab Bogor melalui Syafrudin Zaenal yang saat ini menjabat Camat Babakan Madang.
Tak adanya anggaran perawatan atau perbaikan menyiratkan ketidakpedulian dari Pemkot dan Pemkab Bogor akan karya seni. Patung atau monumen saja tak diperhatikan, lantas bagaimana nasib para seniman patung (baca: perupa) di Kota Hujan ini? Sementara, jumlah perupa di Bogor terbilang cukup untuk menyulap Patung Narkoba menjadi satu ikon kota yang bisa dibanggakan. Tidak seperti sekarang.
Sebenarnya, masyarakat juga bisa memiliki dimensi apresiasi andai sejumlah karya seni di ruang publik dipelihara dengan baik. Pada akhirnya, kesempatan untuk berapresiasi tersebut akan memengaruhi perkembangan sebuah masyarakat. Ironisnya, perhatian pemerintah terhadap keberadaan benda seni di ruang publik Kota Bogor sangat minim. Padahal, banyak keuntungan yang sebenarnya dapat diperoleh pemerintah dengan keberadaannya.
Benda seni juga bisa menjadi aset kultural sebuah wilayah. Aset tersebut memiliki potensi yang dapat memberi nilai tambah bagi aspek pariwisata andai Pemkot Bogor memberi perhatian. Lagi-lagi, hal ini kurang diperhatikan. Pemkot Bogor lebih memilih membangun mall dan mengalihfungsikan bangunan-bangunan tua untuk disulap menjadi factory outlet (FO).
Tak seperti di kota-kota besar lain, macam Solo, Bandung, Yogya, dan Semarang. Di kota-kota ini, patung dan monumen pantas dijadikan ikon atau kebanggaan kota tersebut. selain sebagai simbol kota, patung-patung tersebut juga bisa dijadikan sebagai obyek wisata yang tak kalah pentingnya dengan obyek wisata lain.
Di zaman sekarang di mana seni kontemporer mulai berkembang pesat, patung bisa menjadi semacam ‘seni pertunjukan’. Misalnya di beberapa tempat seperti di Kota Solo dan Yogya sering menggelar event-event kesenian di area patung itu sendiri. Sementara itu, di sejumlah negara sering juga mengadakan pameran patung kinetik, istilah patung kinetik dipakai untuk patung yang dirancang untuk bisa bergerak. Beberapa seniman yang membuat karya patung kinetik adalah Marcel Duchamp, Alexander Calder, George Rickey dan Andy Warhol.
Pertanyaannya, mungkinkah Patung Narkoba diubah atau direnovasi menjadi patung yang lebih layak dijadikan ikon Kota Bogor? Kalau mungkin, lantas siapkah Pemkot Bogor memberikan anggaran dananya untuk perbaikan patung tersebut, barangkali tak hanya Patung Narkoba, tapi patung dan monumen yang ada di Bogor? Jika benar ada anggaran dananya, lantas siapakah yang pantas diberi tugas membuat patung yang nantinya akan menjadi kebanggaan warga Bogor? Seniman patung atau orang-orang yang mengambil keuntungan dari proyek tersebut.
Bukan maksud menghakimi sang pembuat patung. Tapi, spirit yang coba ditampilkan melalui simbol seorang anak laki-laki dengan pelbagai asesoris yang menunjukkan perlawanan terhadap segala macam bentuk narkoba tak ada. Sebagai simbol komunikatif, Patung Narkoba sedikit berhasil. Akan tetapi keberadaannya terlupakan.
Patung dan monumen yang berdiri di sebuah daerah merupakan simbol-simbol visual dengan fungsi sebagai sarana edukasi, peringatan sejarah perjuangan, estetika, bahkan kerap menjadi ikon kota.
Karena patung itu berada di ruang publik, maka alangkah bijaknya pemerintah setempat menganggarkan dana untuk perawatan. Tapi sayang, hal ini tidak dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor bahkan Kabupaten Bogor, yang konon katanya pengerjaan Patung Narkoba tersebut dilakukan oleh Pemkab Bogor melalui Syafrudin Zaenal yang saat ini menjabat Camat Babakan Madang.
Tak adanya anggaran perawatan atau perbaikan menyiratkan ketidakpedulian dari Pemkot dan Pemkab Bogor akan karya seni. Patung atau monumen saja tak diperhatikan, lantas bagaimana nasib para seniman patung (baca: perupa) di Kota Hujan ini? Sementara, jumlah perupa di Bogor terbilang cukup untuk menyulap Patung Narkoba menjadi satu ikon kota yang bisa dibanggakan. Tidak seperti sekarang.
Sebenarnya, masyarakat juga bisa memiliki dimensi apresiasi andai sejumlah karya seni di ruang publik dipelihara dengan baik. Pada akhirnya, kesempatan untuk berapresiasi tersebut akan memengaruhi perkembangan sebuah masyarakat. Ironisnya, perhatian pemerintah terhadap keberadaan benda seni di ruang publik Kota Bogor sangat minim. Padahal, banyak keuntungan yang sebenarnya dapat diperoleh pemerintah dengan keberadaannya.
Benda seni juga bisa menjadi aset kultural sebuah wilayah. Aset tersebut memiliki potensi yang dapat memberi nilai tambah bagi aspek pariwisata andai Pemkot Bogor memberi perhatian. Lagi-lagi, hal ini kurang diperhatikan. Pemkot Bogor lebih memilih membangun mall dan mengalihfungsikan bangunan-bangunan tua untuk disulap menjadi factory outlet (FO).
Tak seperti di kota-kota besar lain, macam Solo, Bandung, Yogya, dan Semarang. Di kota-kota ini, patung dan monumen pantas dijadikan ikon atau kebanggaan kota tersebut. selain sebagai simbol kota, patung-patung tersebut juga bisa dijadikan sebagai obyek wisata yang tak kalah pentingnya dengan obyek wisata lain.
Di zaman sekarang di mana seni kontemporer mulai berkembang pesat, patung bisa menjadi semacam ‘seni pertunjukan’. Misalnya di beberapa tempat seperti di Kota Solo dan Yogya sering menggelar event-event kesenian di area patung itu sendiri. Sementara itu, di sejumlah negara sering juga mengadakan pameran patung kinetik, istilah patung kinetik dipakai untuk patung yang dirancang untuk bisa bergerak. Beberapa seniman yang membuat karya patung kinetik adalah Marcel Duchamp, Alexander Calder, George Rickey dan Andy Warhol.
Pertanyaannya, mungkinkah Patung Narkoba diubah atau direnovasi menjadi patung yang lebih layak dijadikan ikon Kota Bogor? Kalau mungkin, lantas siapkah Pemkot Bogor memberikan anggaran dananya untuk perbaikan patung tersebut, barangkali tak hanya Patung Narkoba, tapi patung dan monumen yang ada di Bogor? Jika benar ada anggaran dananya, lantas siapakah yang pantas diberi tugas membuat patung yang nantinya akan menjadi kebanggaan warga Bogor? Seniman patung atau orang-orang yang mengambil keuntungan dari proyek tersebut.
Pelukis Jalanan dan Kota Bogor
Ambisi Kota Bogor untuk menjadi kota metropolis telah mengubur impian sebagian besar seniman lukis, khususnya pelukis jalanan yang mengatasnamakan kelompoknya GSJ (Galeri Sisi Jalanan). Impian memiliki galeri atau ruang-ruang pameran, kalah pamor dengan pelbagai bangunan-bangunan mewah dan program yang belum jelas arahnya.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Istilah inipun lekat dalam setiap jengkal langkah para pelukis yang saban hari menggelar karya di pinggir jalan, tepatnya di samping Kantor Pos, Jalan Juanda, Kota Bogor. Kondisi tersebut jelas bertolakbelakang dengan penjual bunga, yang dengan penuh perhatian, diberi tempat istimewa. Sungguh ironis. Padahal, seni lukis bisa menjadi salah satu aset wisata yang bisa dibanggakan.
Saat ini, seni lukis pinggir jalan adalah fenomena kota. Bentuk seni lukis ini, yang umumnya menggambar potret atau menyalin potret-potret orang terkenal, apakah kaum selebritis ataupun tokoh-tokoh negara, hidup di tengah hiruk pikuk kota metropolitan dengan kecongkakannya. Berbeda dengan pertumbuhan sebagian seni lukis atas yang sibuk dengan “nilai-nilai”, seni lukis pinggir jalan berhadapan dengan realitas sehari-hari pelakunya, dan kebutuhan-kebutuhan praktis konsumennya.
Dalam menjalani kegiatan sehari sebagai pelukis pinggir jalan, tak jarang persoalan yang mereka hadapi seperti pengalaman para pedagang di kaki lima yang senantiasa terancam oleh petugas ketertiban umum. Namun di sisi lain, mereka juga sering berhadapan dengan para pembeli atau konsumen dari kalangan pejabat-pejabat penting yang memesan lukisan dari mereka.
Sebagai pelukis pinggir jalan, mereka senyatanya adalah seniman pinggiran yang tentu kurang mendapat tempat di galeri-galeri di pusat-pusat kota yang kian hari kian marak pertumbuhannya. Padahal, jika kita mau meluangkan perhatian mengkaji teknik dan semangat kerja yang mereka tuangkan, banyak karya-karya mereka yang tidak kalah kuatnya dari segi teknik dari karya-karya pelukis modern lainnya.
Selain itu, sebagai pelukis yang memiliki kemampuan yang memadai, mereka dapat memandang hidup secara lebih realistis dan bijak. Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka membuat lukisan “pesanan”, namun dalam waktu luangnya, mereka membuat karya-karya yang lebih memperlihatkan ungkapan “bebas” mereka sebagai pribadi.
Minimnya ruang pameran di Kota Bogor diakui R. Manggala, pelukis jalanan yang sudah lima tahun menggelar hasil kreativitasnya di pinggir jalan. “Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor kurang peduli dengan kami. Meski dibiarkan menggelar lukisan di pinggir jalan, itu bukan berarti, mereka (Pemkot.red) peduli dan perhatian dengan aktivitas kami. Sudah selayaknya, Kota Bogor memiliki ruang pameran,” ujar Manggala kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Menurut pengakuan Manggala, beberapa tahun yang lalu, GSJ pernah berniat menemui Walikota Bogor, Diani Budiarto. Namun, lagi-lagi, sistem birokrasi memupuskan harapan mereka bertemu langsung dengan Walikota Bogor. Keinginan menyampaikan aspirasipun kandas di tengah jalan. “Dulu jumlah kami delapan orang. Kami berniat menemui Walikota. Tapi sayang, birokrasi menghalangi kami menemui orang nomor satu di Kota Bogor ini,” ungkap pelukis yang mentasbihkan diri menggeluti lukis potret itu.
Terlepas dari suara hati pelukis jalanan, agenda-agenda kebudayaan atau apresiasi kesenian pun jarang terlihat. Prioritas untuk agenda kesenian yang besar, justru lahir dari pelbagai kantung-kantung kesenian dan kebudayaan. Inipun tak sertamerta mendapatkan dukungan penuh dari pihak-pihak terkait.
Kendati tak mendapatkan perhatian dari pemerintah, Manggala dan rekan-rekan sesama pelukis tak surut semangat mengenalkan karya-karya di pinggir jalan depan BCA, Jalan Juanda. Baginya, melukis di jalanan memiliki kepuasan tersendiri, terlepas dari keinginan memiliki galeri dan ruang pameran khusus yang memajang karya-karya pelukis Bogor yang saat ini lebih banyak menggelar pameran di luar kota.
Di GSJ ini, hampir semua pelukis memilih jalur lukis foto yang dikemas dengan karikatur. Pasalnya, menurut Manggala, lukis foto lebih diminati sebagian besar warga yang kebetulan lalu-lalang di sekitar Kantor Pos Kota Bogor. Tak jarang, banyak wisatawan mancanegara memesan lukisan kawan-kawan GSJ.
Sejujurnya, dari lubuk hati terdalam, Manggala dan kawan-kawan tak ingin menggelar karya di pinggir jalan. Tapi apa mau dikata, keterbatasan fasilitas dan perhatian pemerintah terhadap kemajuan seni budaya sungguh minim. Perhatian pemerintah yang tampak terlihat adalah ketika Kota Bogor kedatangan tamu asing atau pemerintah daerah lain.
Mereka sibuk menyiapkan diri dan merias tempat-tempat yang sekiranya bakal dikunjungi tamu-tamu tersebut. Segala bentuk kesenian yang dimiliki ditampilkan. Ini sekedar gagah-gagahan atau memang sudah menjadi tradisi? Usai tamu meninggalkan Kota Bogor, perhatian pemerintah kepada seniman turut pergi. Inilah yang saat ini terjadi di Bogor. Pemerintahnya lebih asik membangun pusat-pusat perbelanjaan dan mengusir pedagang kaki lima serta anak jalanan. Inilah wajah Kota Bogor.
Sebagai kota tujuan wisata, sudah sepantasnya pemerintah memerhatikan hal-hal tersebut. Sebab, ruang pameran atau galeri-galeri mampu mendatangkan pengunjung yang fanatik, baik dari luar Kota Bogor maupun dalam kota. Pertanyaannya, beranikah Pemerintah Kota membangun satu ruang pameran yang mampu menampung karya-karya pelukis lokal?
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Istilah inipun lekat dalam setiap jengkal langkah para pelukis yang saban hari menggelar karya di pinggir jalan, tepatnya di samping Kantor Pos, Jalan Juanda, Kota Bogor. Kondisi tersebut jelas bertolakbelakang dengan penjual bunga, yang dengan penuh perhatian, diberi tempat istimewa. Sungguh ironis. Padahal, seni lukis bisa menjadi salah satu aset wisata yang bisa dibanggakan.
Saat ini, seni lukis pinggir jalan adalah fenomena kota. Bentuk seni lukis ini, yang umumnya menggambar potret atau menyalin potret-potret orang terkenal, apakah kaum selebritis ataupun tokoh-tokoh negara, hidup di tengah hiruk pikuk kota metropolitan dengan kecongkakannya. Berbeda dengan pertumbuhan sebagian seni lukis atas yang sibuk dengan “nilai-nilai”, seni lukis pinggir jalan berhadapan dengan realitas sehari-hari pelakunya, dan kebutuhan-kebutuhan praktis konsumennya.
Dalam menjalani kegiatan sehari sebagai pelukis pinggir jalan, tak jarang persoalan yang mereka hadapi seperti pengalaman para pedagang di kaki lima yang senantiasa terancam oleh petugas ketertiban umum. Namun di sisi lain, mereka juga sering berhadapan dengan para pembeli atau konsumen dari kalangan pejabat-pejabat penting yang memesan lukisan dari mereka.
Sebagai pelukis pinggir jalan, mereka senyatanya adalah seniman pinggiran yang tentu kurang mendapat tempat di galeri-galeri di pusat-pusat kota yang kian hari kian marak pertumbuhannya. Padahal, jika kita mau meluangkan perhatian mengkaji teknik dan semangat kerja yang mereka tuangkan, banyak karya-karya mereka yang tidak kalah kuatnya dari segi teknik dari karya-karya pelukis modern lainnya.
Selain itu, sebagai pelukis yang memiliki kemampuan yang memadai, mereka dapat memandang hidup secara lebih realistis dan bijak. Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka membuat lukisan “pesanan”, namun dalam waktu luangnya, mereka membuat karya-karya yang lebih memperlihatkan ungkapan “bebas” mereka sebagai pribadi.
Minimnya ruang pameran di Kota Bogor diakui R. Manggala, pelukis jalanan yang sudah lima tahun menggelar hasil kreativitasnya di pinggir jalan. “Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor kurang peduli dengan kami. Meski dibiarkan menggelar lukisan di pinggir jalan, itu bukan berarti, mereka (Pemkot.red) peduli dan perhatian dengan aktivitas kami. Sudah selayaknya, Kota Bogor memiliki ruang pameran,” ujar Manggala kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Menurut pengakuan Manggala, beberapa tahun yang lalu, GSJ pernah berniat menemui Walikota Bogor, Diani Budiarto. Namun, lagi-lagi, sistem birokrasi memupuskan harapan mereka bertemu langsung dengan Walikota Bogor. Keinginan menyampaikan aspirasipun kandas di tengah jalan. “Dulu jumlah kami delapan orang. Kami berniat menemui Walikota. Tapi sayang, birokrasi menghalangi kami menemui orang nomor satu di Kota Bogor ini,” ungkap pelukis yang mentasbihkan diri menggeluti lukis potret itu.
Terlepas dari suara hati pelukis jalanan, agenda-agenda kebudayaan atau apresiasi kesenian pun jarang terlihat. Prioritas untuk agenda kesenian yang besar, justru lahir dari pelbagai kantung-kantung kesenian dan kebudayaan. Inipun tak sertamerta mendapatkan dukungan penuh dari pihak-pihak terkait.
Kendati tak mendapatkan perhatian dari pemerintah, Manggala dan rekan-rekan sesama pelukis tak surut semangat mengenalkan karya-karya di pinggir jalan depan BCA, Jalan Juanda. Baginya, melukis di jalanan memiliki kepuasan tersendiri, terlepas dari keinginan memiliki galeri dan ruang pameran khusus yang memajang karya-karya pelukis Bogor yang saat ini lebih banyak menggelar pameran di luar kota.
Di GSJ ini, hampir semua pelukis memilih jalur lukis foto yang dikemas dengan karikatur. Pasalnya, menurut Manggala, lukis foto lebih diminati sebagian besar warga yang kebetulan lalu-lalang di sekitar Kantor Pos Kota Bogor. Tak jarang, banyak wisatawan mancanegara memesan lukisan kawan-kawan GSJ.
Sejujurnya, dari lubuk hati terdalam, Manggala dan kawan-kawan tak ingin menggelar karya di pinggir jalan. Tapi apa mau dikata, keterbatasan fasilitas dan perhatian pemerintah terhadap kemajuan seni budaya sungguh minim. Perhatian pemerintah yang tampak terlihat adalah ketika Kota Bogor kedatangan tamu asing atau pemerintah daerah lain.
Mereka sibuk menyiapkan diri dan merias tempat-tempat yang sekiranya bakal dikunjungi tamu-tamu tersebut. Segala bentuk kesenian yang dimiliki ditampilkan. Ini sekedar gagah-gagahan atau memang sudah menjadi tradisi? Usai tamu meninggalkan Kota Bogor, perhatian pemerintah kepada seniman turut pergi. Inilah yang saat ini terjadi di Bogor. Pemerintahnya lebih asik membangun pusat-pusat perbelanjaan dan mengusir pedagang kaki lima serta anak jalanan. Inilah wajah Kota Bogor.
Sebagai kota tujuan wisata, sudah sepantasnya pemerintah memerhatikan hal-hal tersebut. Sebab, ruang pameran atau galeri-galeri mampu mendatangkan pengunjung yang fanatik, baik dari luar Kota Bogor maupun dalam kota. Pertanyaannya, beranikah Pemerintah Kota membangun satu ruang pameran yang mampu menampung karya-karya pelukis lokal?
Membincangkan Buku Puisi Bode
1/ Awal Perkenalan
Sekitar pertengahan Oktober 2009, saya mengenal Bode Riswandi, penyair muda potensial Tasikmalaya, Jawa Barat melalui jejaring pertemanan, facebook. Seperti galibnya perkenalan, kami saling tegur-sapa, sesekali membincangkan puisi satu sama lain. Sesekali, saling lempar kritik dan saran. Sungguh pertemanan yang menyenangkan.
Pengaruh jejaring facebook sungguh luar biasa. Karya-karya kami, wabil khusus puisi, melayang, melesat hingga ruang-ruang renung satu sama lain. Tak jarang, selesai menulis puisi, kami bergegas mengantarnya ke beranda facebook.
Ah, lagi-lagi, facebook menjadi ruang diskusi yang menyejukkan. Karena itulah, satu-satunya cara kami memadu komunikasi. Dan komunikasi antara saya dan Bode masih terjaga. Baik lewat pesan singkat, facebook maupun yahoo messenger. Akhir Januari 2010, Bode yang juga sebagai salah satu pengajar di FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Tasikmalaya (Unsil), memposting cover buku puisi berjudul ‘Mendaki Kantung Matamu’ terbitan Ultimus, Bandung.
Cover buku yang didominasi warna merah itu, langsung menghentak pikiran saya. Seketika itu juga saya bertanya dalam diri, inikah buku kumpulan puisi Bode? Sejenak saya terdiam, padahal, dulu sekitar dua bulan ke belakang, Bode tak pernah menyentuh soal buku puisi yang hendak ia terbitkan. Sungguh mengagetkan sekaligus menaruh bangga pada lelaki kelahiran Tasikmalaya 6 November 1983 itu.
Tak menunggu lama, sejak posting cover buku Bode yang diantar oleh Prof. Jakob Sumardjo itu saya lihat, lagi-lagi di jejaring facebook, saya langsung menghubungi Bode, yang kebetulan ketika itu sedang online via facebook. ‘Kapan buku itu terbit?’ tanyaku.
Bode yang karya-karya puisinya sering dimuat di media massa, seperti Jurnal Bogor, Pikiran Rakyat, Lampung Pos dan Bali Pos langsung menjawab, Februari Don, begitu ia menyapa akrab saya. Kebetulan, saya berada dalam sebuah komunitas Ruang 8 Jurnal Bogor, sebuah komunitas yang mengkhususkan diri menghidupkan jejaring komunitas seni budaya di Bogor, langsung menawarkan melaunching buku puisi yang dicetak 1.000 eksemplar itu di Kota Bogor.
Gayung bersambut. Bode yang ketika itu memang sedang merencanakan launching buku di luar kota kelahirannya, Tasikmalaya, mengiyakan tawaran itu. Tawar menawar tanggal pun dilakukan melalui yahoo messenger, seperti percakapan yang sudah-sudah. Akhirnya ditetapkanlah tanggal 3 April 2010 sebagai momentum perjalanan puitik buku puisi ‘Mendaki Kantung Matamu’ ke Kota Bogor, kota yang pada 2005 pernah dikunjungi bersama kawan-kawan di Teater 28. Dan Fakultas Sastra Universitas Pakuan (Unpak) Bogor ditunjuk sebagai tuan rumah launching buku puisinya.
2/ Bogor, 3 April 2010, Pukul 24.00 wib
3 April 2010, dini hari, handphone berdering. Ada pesan singkat dari Bode Riswandi, dia mengabarkan dirinya dan ketiga rekannya sudah ada di depan Kampus Pakuan. Ketika itu, Bogor sedang dilanda angin kencang dan sedikit hujan. Tak berselang lama, saya meluncur ke Kampus Pakuan, di mana dirinya dan ketiga rekannya sedang menikmati makan malam di salah satu warung makan. Gerimis masih saja menjejakkan kaki-kaki mungilnya. Kami pun bergegas meninggalkan kampus Pakuan menerobos gerimis yang hendak menjelma hujan.
3/ Siang itu di Fakultas Sastra Universitas Pakuan
Ruang Mashudi 2 lantai 3 Fakultas Sastra Unpak, siang itu tak seperti biasa. Banyak mahasiswa dan penikmat sastra Bogor berkumpul. Obrolan hal ihwal sastra dan perkembangan sastra di Bogor pun tak luput jadi bahan perbincangan singkat. Di deretan kursi paling depan, tampak Sasongko, Pri dan Dadan Suwarna, ketiganya adalah pengajar di Fakultas Sastra Unpak jurusan Sastra Indonesia.
Dadan Suwarna yang menjadi narasumber acara launching dan bedah buku kumpulan puisi Mendaki Kantung Matamu, karya Bode Riswandi langsung menyentak seisi ruangan dengan mengatakan, puisi tidaklah tercipta dari ruang kosong keadaan, melainkan ia pengalaman atau amatan penyairnya.
Selain itu, Dadan menilai jika intertualitas adalah gejala yang tak terbantahkan. Dalam buku puisi Mendaki Kantung Matamu ini, lanjut Dadan, ada tipikal atau gaya ungkap yang sering dipakai penyair Tasikmalaya, Acep Zamzam Noor, yang diketahui dan diakui Bode, sebagai guru sastranya. “Dalam diri Acep sendiri terdapat Abdul Hadi MW. Bahkan Rendra telah menelurkan banyak pemuja yang hidup pada era kepenyairan 1990-an atau 2000-an,” ujar Dadan.
Lain Dadan, lain Pri. Pengajar mata kuliah Stilistika ini menilai bahwa puisi yang ditawarkan Bode memiliki sebuah gerakan ke arah puncak pencapaian kepenyairan. “Di awal buku puisinya, kepolosan Bode masih terasa. Tapi mulai periode kepenulisan 2009, kematangan seorang Bode mulai jelas terlihat,” kata Pri. Pri merupakan salah satu dosen Sastra Unpak yang mulai dimunculkan Ruang 8 Jurnal Bogor dan Himpunan Mahasiswa Sastra Indonesia (Himsina) ke pentas sastra di Kota Bogor.
Bode pun angkat bicara terkait kesamaan karyanya dengan Acep. “Jujur, saya pengagum Acep. Tapi jika karya saya disamakan dengan Azan (panggilan akrab Acep Zamzam Noor), itu sah-sah saja,” jelas Bode. Dadan pun seolah melindungi penyair muda ini. Dengan tegas Dadan mengatakan, epigonitas kepada sang idola itu wajar. Selama, tak meniru 100 persen. “Intertekstualitas bukanlah plagiarisme. Semata-mata keterpesonaan akan sang tokoh idola pada diri penyairnya. Itulah intertekstualitas,” tegas Dadan.
Menurut Jakob Sumardjo, seperti yang ditulis di pengatar buku puisi tunggal pertamanya ini, kepenyairan Bode berkembang ke arah penyair sufistik. Sajak-sajaknya berpola hubungan timbal-balik antara dunia mikro dan makrokosmos. Bode pun terang-terangan menolak anggapan Prof. Jakob Sumardjo. Sebab, karya-karyanya jarang menyentuh hubungan antara manusia dengan sang pencipta.
4/ Dan Akhirnya
Seperti yang diutarakan Dadan Suwarna, menguji kepenyairan atau perpuisian adalah dalam rentang waktu kemudian. Akankah seseorang jadi penyair abadi, seperti sisa-sisa sentuhan pada Amir Hamzah, Chairil Anwar WS. Rendra dll. Dan akhirnya, buku puisi Mendaki Kantung Matamu karya Bode Riswandi telah mengantarnya terbang melintasi ruang, tempat dan waktu. Bode, seperti kata Acep, adalah salah satu dari sedikit penyair muda Jawa Barat yang potensial. Jika saja ia (Bode.red) terus menjaga intensitas, mentalitas dan integritas sebagai penyair. Begitu..
Sekitar pertengahan Oktober 2009, saya mengenal Bode Riswandi, penyair muda potensial Tasikmalaya, Jawa Barat melalui jejaring pertemanan, facebook. Seperti galibnya perkenalan, kami saling tegur-sapa, sesekali membincangkan puisi satu sama lain. Sesekali, saling lempar kritik dan saran. Sungguh pertemanan yang menyenangkan.
Pengaruh jejaring facebook sungguh luar biasa. Karya-karya kami, wabil khusus puisi, melayang, melesat hingga ruang-ruang renung satu sama lain. Tak jarang, selesai menulis puisi, kami bergegas mengantarnya ke beranda facebook.
Ah, lagi-lagi, facebook menjadi ruang diskusi yang menyejukkan. Karena itulah, satu-satunya cara kami memadu komunikasi. Dan komunikasi antara saya dan Bode masih terjaga. Baik lewat pesan singkat, facebook maupun yahoo messenger. Akhir Januari 2010, Bode yang juga sebagai salah satu pengajar di FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Tasikmalaya (Unsil), memposting cover buku puisi berjudul ‘Mendaki Kantung Matamu’ terbitan Ultimus, Bandung.
Cover buku yang didominasi warna merah itu, langsung menghentak pikiran saya. Seketika itu juga saya bertanya dalam diri, inikah buku kumpulan puisi Bode? Sejenak saya terdiam, padahal, dulu sekitar dua bulan ke belakang, Bode tak pernah menyentuh soal buku puisi yang hendak ia terbitkan. Sungguh mengagetkan sekaligus menaruh bangga pada lelaki kelahiran Tasikmalaya 6 November 1983 itu.
Tak menunggu lama, sejak posting cover buku Bode yang diantar oleh Prof. Jakob Sumardjo itu saya lihat, lagi-lagi di jejaring facebook, saya langsung menghubungi Bode, yang kebetulan ketika itu sedang online via facebook. ‘Kapan buku itu terbit?’ tanyaku.
Bode yang karya-karya puisinya sering dimuat di media massa, seperti Jurnal Bogor, Pikiran Rakyat, Lampung Pos dan Bali Pos langsung menjawab, Februari Don, begitu ia menyapa akrab saya. Kebetulan, saya berada dalam sebuah komunitas Ruang 8 Jurnal Bogor, sebuah komunitas yang mengkhususkan diri menghidupkan jejaring komunitas seni budaya di Bogor, langsung menawarkan melaunching buku puisi yang dicetak 1.000 eksemplar itu di Kota Bogor.
Gayung bersambut. Bode yang ketika itu memang sedang merencanakan launching buku di luar kota kelahirannya, Tasikmalaya, mengiyakan tawaran itu. Tawar menawar tanggal pun dilakukan melalui yahoo messenger, seperti percakapan yang sudah-sudah. Akhirnya ditetapkanlah tanggal 3 April 2010 sebagai momentum perjalanan puitik buku puisi ‘Mendaki Kantung Matamu’ ke Kota Bogor, kota yang pada 2005 pernah dikunjungi bersama kawan-kawan di Teater 28. Dan Fakultas Sastra Universitas Pakuan (Unpak) Bogor ditunjuk sebagai tuan rumah launching buku puisinya.
2/ Bogor, 3 April 2010, Pukul 24.00 wib
3 April 2010, dini hari, handphone berdering. Ada pesan singkat dari Bode Riswandi, dia mengabarkan dirinya dan ketiga rekannya sudah ada di depan Kampus Pakuan. Ketika itu, Bogor sedang dilanda angin kencang dan sedikit hujan. Tak berselang lama, saya meluncur ke Kampus Pakuan, di mana dirinya dan ketiga rekannya sedang menikmati makan malam di salah satu warung makan. Gerimis masih saja menjejakkan kaki-kaki mungilnya. Kami pun bergegas meninggalkan kampus Pakuan menerobos gerimis yang hendak menjelma hujan.
3/ Siang itu di Fakultas Sastra Universitas Pakuan
Ruang Mashudi 2 lantai 3 Fakultas Sastra Unpak, siang itu tak seperti biasa. Banyak mahasiswa dan penikmat sastra Bogor berkumpul. Obrolan hal ihwal sastra dan perkembangan sastra di Bogor pun tak luput jadi bahan perbincangan singkat. Di deretan kursi paling depan, tampak Sasongko, Pri dan Dadan Suwarna, ketiganya adalah pengajar di Fakultas Sastra Unpak jurusan Sastra Indonesia.
Dadan Suwarna yang menjadi narasumber acara launching dan bedah buku kumpulan puisi Mendaki Kantung Matamu, karya Bode Riswandi langsung menyentak seisi ruangan dengan mengatakan, puisi tidaklah tercipta dari ruang kosong keadaan, melainkan ia pengalaman atau amatan penyairnya.
Selain itu, Dadan menilai jika intertualitas adalah gejala yang tak terbantahkan. Dalam buku puisi Mendaki Kantung Matamu ini, lanjut Dadan, ada tipikal atau gaya ungkap yang sering dipakai penyair Tasikmalaya, Acep Zamzam Noor, yang diketahui dan diakui Bode, sebagai guru sastranya. “Dalam diri Acep sendiri terdapat Abdul Hadi MW. Bahkan Rendra telah menelurkan banyak pemuja yang hidup pada era kepenyairan 1990-an atau 2000-an,” ujar Dadan.
Lain Dadan, lain Pri. Pengajar mata kuliah Stilistika ini menilai bahwa puisi yang ditawarkan Bode memiliki sebuah gerakan ke arah puncak pencapaian kepenyairan. “Di awal buku puisinya, kepolosan Bode masih terasa. Tapi mulai periode kepenulisan 2009, kematangan seorang Bode mulai jelas terlihat,” kata Pri. Pri merupakan salah satu dosen Sastra Unpak yang mulai dimunculkan Ruang 8 Jurnal Bogor dan Himpunan Mahasiswa Sastra Indonesia (Himsina) ke pentas sastra di Kota Bogor.
Bode pun angkat bicara terkait kesamaan karyanya dengan Acep. “Jujur, saya pengagum Acep. Tapi jika karya saya disamakan dengan Azan (panggilan akrab Acep Zamzam Noor), itu sah-sah saja,” jelas Bode. Dadan pun seolah melindungi penyair muda ini. Dengan tegas Dadan mengatakan, epigonitas kepada sang idola itu wajar. Selama, tak meniru 100 persen. “Intertekstualitas bukanlah plagiarisme. Semata-mata keterpesonaan akan sang tokoh idola pada diri penyairnya. Itulah intertekstualitas,” tegas Dadan.
Menurut Jakob Sumardjo, seperti yang ditulis di pengatar buku puisi tunggal pertamanya ini, kepenyairan Bode berkembang ke arah penyair sufistik. Sajak-sajaknya berpola hubungan timbal-balik antara dunia mikro dan makrokosmos. Bode pun terang-terangan menolak anggapan Prof. Jakob Sumardjo. Sebab, karya-karyanya jarang menyentuh hubungan antara manusia dengan sang pencipta.
4/ Dan Akhirnya
Seperti yang diutarakan Dadan Suwarna, menguji kepenyairan atau perpuisian adalah dalam rentang waktu kemudian. Akankah seseorang jadi penyair abadi, seperti sisa-sisa sentuhan pada Amir Hamzah, Chairil Anwar WS. Rendra dll. Dan akhirnya, buku puisi Mendaki Kantung Matamu karya Bode Riswandi telah mengantarnya terbang melintasi ruang, tempat dan waktu. Bode, seperti kata Acep, adalah salah satu dari sedikit penyair muda Jawa Barat yang potensial. Jika saja ia (Bode.red) terus menjaga intensitas, mentalitas dan integritas sebagai penyair. Begitu..
Menggagas Pertemuan Sastrawan Bogor
Kemarin, Sabtu 1/5, saya bertemu dengan seorang kawan di kampus IPB. Kawan saya itu, selalu gelisah dengan iklim sastra di kota hujan ini. Setiap kali bertemu, entah kebetulan atau dalam acara-acara sastra, kawan saya, yang bukan asli Bogor, tampak kebingunan memetakan sastra di Bogor. ‘Mau dibawa kemana ya sastra di Bogor’. Kerap kali, dia selalu bertanya seperti itu kepada saya.
Siang kemarin, kawan saya, yang juga salah satu penggerak sastra di kampusnya itu, tiba-tiba nyeletuk, mungkinkah ada kegiatan yang bisa mempertemukan sastrawan lintas generasi di Bogor.
Entah habis makan apa dia, tiba-tiba punya gagasan seperti itu. Ini satu wacana yang harus direalisasikan. Sebab, Bogor, kata Ace Sumanta, salah satu sastrawan kahot Bogor, memiliki tradisi sastra yang kuat. Mengingat, Bogor memiliki Fakultas Sastra di Universitas Pakuan. Ini satu nilai tambah, kata Ace, yang juga memiliki kegelisahan yang sama soal iklim sastra di Bogor.
Kawan saya, yang juga alumnus Fakultas Kehutanan IPB itu, terlihat antusias mendeskripsikan idenya. Terlihat, berkali-kali, dia membetulkan tempat duduknya. Siang kemarin, kami bertemu dalam satu ruang perlombaan IPB Art Competition (IAC), sebagai juri baca puisi. Dengan seksama, saya mendengarkan uraian kawan saya. Dalam hati, bertanya, dari mana dia mendapatkan ide cemerlang itu. Ini gagasan yang luar biasa.
Kita harus mulai memetakan sastrawan di Bogor kang, begitu katanya kepada saya. Padahal secara usia, dia jauh lebih tua daripada saya. Tanpa berpikir panjang, saya langsung menerima ajakan tersebut. Kawan saya, yang juga sebagai penggelola Wahana Telisik Sastra (WTS) itu, sedikit demi sedikit menyusun pelbagai agenda, salah satunya mempertemukan dirinya dengan Ace Sumanta.
Setelah meneguk segelas kopi, yang disediakan panitia, dia melanjutkan cerita gagasannya. Pertemuan sastrawan Bogor jangan sebatas silaturahmi antar sastrawan lintas generasi. Melainkan harus merumuskan satu gagasan memajukan sastra di Bogor. Paling tidak untuk mengimbangi dominasi sastra di Jakarta dan Bandung. Sebab, katanya, sastra Bogor kurang maksimal gerakannya. Itu betul, tegas saya.
Meski ini satu gagasan yang mengandung resiko, paling tidak, wacana pertemuan sastrawan Bogor lintas generasi patut mendapat perhatian bersama. Kawan saya itu, bernama Fatkurrahman Abdul Karim, lelaki kelahiran Banyuwangi, 22 Februari 1981, pekerja puisi, dan bergiat di Wahana Telisik Sastra Bogor. Semoga gagasan itu, tak sekedar wacana sepintas lalu. Begitu kawan.
Siang kemarin, kawan saya, yang juga salah satu penggerak sastra di kampusnya itu, tiba-tiba nyeletuk, mungkinkah ada kegiatan yang bisa mempertemukan sastrawan lintas generasi di Bogor.
Entah habis makan apa dia, tiba-tiba punya gagasan seperti itu. Ini satu wacana yang harus direalisasikan. Sebab, Bogor, kata Ace Sumanta, salah satu sastrawan kahot Bogor, memiliki tradisi sastra yang kuat. Mengingat, Bogor memiliki Fakultas Sastra di Universitas Pakuan. Ini satu nilai tambah, kata Ace, yang juga memiliki kegelisahan yang sama soal iklim sastra di Bogor.
Kawan saya, yang juga alumnus Fakultas Kehutanan IPB itu, terlihat antusias mendeskripsikan idenya. Terlihat, berkali-kali, dia membetulkan tempat duduknya. Siang kemarin, kami bertemu dalam satu ruang perlombaan IPB Art Competition (IAC), sebagai juri baca puisi. Dengan seksama, saya mendengarkan uraian kawan saya. Dalam hati, bertanya, dari mana dia mendapatkan ide cemerlang itu. Ini gagasan yang luar biasa.
Kita harus mulai memetakan sastrawan di Bogor kang, begitu katanya kepada saya. Padahal secara usia, dia jauh lebih tua daripada saya. Tanpa berpikir panjang, saya langsung menerima ajakan tersebut. Kawan saya, yang juga sebagai penggelola Wahana Telisik Sastra (WTS) itu, sedikit demi sedikit menyusun pelbagai agenda, salah satunya mempertemukan dirinya dengan Ace Sumanta.
Setelah meneguk segelas kopi, yang disediakan panitia, dia melanjutkan cerita gagasannya. Pertemuan sastrawan Bogor jangan sebatas silaturahmi antar sastrawan lintas generasi. Melainkan harus merumuskan satu gagasan memajukan sastra di Bogor. Paling tidak untuk mengimbangi dominasi sastra di Jakarta dan Bandung. Sebab, katanya, sastra Bogor kurang maksimal gerakannya. Itu betul, tegas saya.
Meski ini satu gagasan yang mengandung resiko, paling tidak, wacana pertemuan sastrawan Bogor lintas generasi patut mendapat perhatian bersama. Kawan saya itu, bernama Fatkurrahman Abdul Karim, lelaki kelahiran Banyuwangi, 22 Februari 1981, pekerja puisi, dan bergiat di Wahana Telisik Sastra Bogor. Semoga gagasan itu, tak sekedar wacana sepintas lalu. Begitu kawan.
Art Center
Kemarin, salah seorang kawan saya dari Solo, Jawa Tengah mengirim pesan lewat surat elektronik. Intinya, kawan saya itu hendak berkunjung ke Kota Bogor. Jelas, dia tak sekedar mampir makan atau menikmati kopi jelang sore. Dia seorang seniman yang memiliki pengaruh kuat di Solo. Dia kawan satu kampus dengan saya di Solo.
Ada beberapa point penting yang saya catat. Pertama, kedatangan ke Kota Bogor untuk menggelar pertunjukan teater. Kedua, menanyakan prosedur dan ketiga animo masyarakat serta keberadaan art center di kota ini. Pertanyaan pertama, jelas saya sambut dengan senang hati. Pasalnya, di tengah keringnya pementasan teater, kawan saya itu mampu menjadi oase di tengah keringnya iklim teater di Kota Bogor.
Pertanyaan kedua, sama seperti pertanyaan pertama, dapat saya jawab. Tapi kali ini sedikit beretorika. Tak enak jika harus berterus terang, jika prosedur di kota ini, tak sama dengan di Solo, tempat dulu kami menggelar pelbagai pementasan teater. Saya jawab : “Sudah, kamu tenang saja. Masalah perijinan, akan saya kerjakan dengan kawan-kawan di Bogor”. Nah, untuk pertanyaan ketiga, mengenai animo masyarakat dan keberadaan art center, jujur sulit untuk saya jawab.
Selain kering pementasan teater, Kota Bogor juga minim apresiasi dari masyarakat. Ini masih ditambah dengan ketakadaannya art center, pusat berkumpulnya seniman dari pelbagai disiplin ilmu untuk bertukar pikiran. Lewat surat elektronik pula, kawan saya, yang baru pada tahun 2005 mengenal internet, mengirim icon orang tertawa terbahak-bahak. Saya mengerti betul maksud kirimannya itu pada saya.
Memang, jika dibandingkan dengan Solo, terutama masalah art center, Bogor belum ada apa-apanya. Apresiasi masyarakat terhadap pertunjukan pun masih minim. Dengan penuh percaya diri, saya sampaikan kepada kawan saya itu bahwa art center di Bogor akan segera berdiri. Anehnya, kawan saya itu malah mengirim balasannya lewat pesan singkat, bunyinya, “Tingkatkan dulu animo masyarakat, lalu cerdaskan penontonnya, baru bermimpi punya art center”. Kata kawan saya itu, percuma punya art center semegah apapun, jika animo dan apresiasinya minim.
Ada beberapa point penting yang saya catat. Pertama, kedatangan ke Kota Bogor untuk menggelar pertunjukan teater. Kedua, menanyakan prosedur dan ketiga animo masyarakat serta keberadaan art center di kota ini. Pertanyaan pertama, jelas saya sambut dengan senang hati. Pasalnya, di tengah keringnya pementasan teater, kawan saya itu mampu menjadi oase di tengah keringnya iklim teater di Kota Bogor.
Pertanyaan kedua, sama seperti pertanyaan pertama, dapat saya jawab. Tapi kali ini sedikit beretorika. Tak enak jika harus berterus terang, jika prosedur di kota ini, tak sama dengan di Solo, tempat dulu kami menggelar pelbagai pementasan teater. Saya jawab : “Sudah, kamu tenang saja. Masalah perijinan, akan saya kerjakan dengan kawan-kawan di Bogor”. Nah, untuk pertanyaan ketiga, mengenai animo masyarakat dan keberadaan art center, jujur sulit untuk saya jawab.
Selain kering pementasan teater, Kota Bogor juga minim apresiasi dari masyarakat. Ini masih ditambah dengan ketakadaannya art center, pusat berkumpulnya seniman dari pelbagai disiplin ilmu untuk bertukar pikiran. Lewat surat elektronik pula, kawan saya, yang baru pada tahun 2005 mengenal internet, mengirim icon orang tertawa terbahak-bahak. Saya mengerti betul maksud kirimannya itu pada saya.
Memang, jika dibandingkan dengan Solo, terutama masalah art center, Bogor belum ada apa-apanya. Apresiasi masyarakat terhadap pertunjukan pun masih minim. Dengan penuh percaya diri, saya sampaikan kepada kawan saya itu bahwa art center di Bogor akan segera berdiri. Anehnya, kawan saya itu malah mengirim balasannya lewat pesan singkat, bunyinya, “Tingkatkan dulu animo masyarakat, lalu cerdaskan penontonnya, baru bermimpi punya art center”. Kata kawan saya itu, percuma punya art center semegah apapun, jika animo dan apresiasinya minim.
Menelisik Elan Vital Hanna
Di helai daun kangkung aku menulis lembar surat ini.
Bersama aroma darah yang patut dibela
Darah keluarga
(Kepada Adik, Hanna Fransisca)
Kemunculan Hanna Fransisca (HF) di percaturan kesusasteraan Indonesia memperkokoh posisi sastra hibrida. Kumpulan puisi ‘Konde Penyair Han’ (KPH), karya HF disebut Sapardi Djoko Damono (SDD) sebagai salah satu upaya mempertontonkan bahwa sastra hibrida sudah menjadi bagian dari proses kreatif masyarakat. Dan Hanna, lewat kumpulan puisi tersebut membuktikan itu.
Buku terbitan KataKita setebal 141 halaman dengan 66 judul itu makin mendedahkan HF, bahwa etnis Tionghoa patut diperhatikan. Perempuan kelahiran Kota Seribu Kuil, Singkawang, Kalimantan Barat, 31 Mei 1979 itu seakan-akan meminta para pembaca kumpulan puisinya ikut terlibat merasakan perjalanan HF di kota kelahirannya, Singkawang.
Keahlian HF mendeskripsikan kondisi geografis Singkawang, mengingatkan kita kepada penyair Tasikmalaya, Jawa Barat, Acep Zamzam Noor. HF begitu kuat dalam hal ini. Selain itu, HF, dalam mayaoritas puisinya, tak bisa melepaskan diri dari persoalan domestik kaum perempuan, seperti memasak alias kuliner. SDD dan penyair Joko Pinurbo, yang ditunjuk sebagai pembicara diskusi peluncuran buku KPH di Gothe Haus, Gothe Institute, Jakarta pun mengamini hal itu.
Keduanya menilai, HF adalah penyair yang mampu menghadirkan sastra kuliner dengan kejam. Berkali-kali, dalam diskusi yang dimoderatori esais Agus R. Sarjono itu, berkata, HF cukup berhasil membawa pembaca masuk ke dunia yang dilukiskannya. Dunia kuliner yang tak melulu sedap dan lezat.
Menurut SDD, usai diskusi, puisi-puisi HF menyadarkan dirinya bahwa masyarakat Indonesia ini berbagai-bagai, sebagian bahkan hibrid. Dan sastra kita, kata SDD, memang hibrid, itu sebabnya sangat sehat dan jauh lebih kuat dari keadaannya sebelum menjalani penyilangan.
Sementara itu, Joko Pinurbo, seperti yang tertulis dalam pengantar yang tertera dalam agenda acara mengaku tergagap ketika kali pertama melihat warna baju buku tersebut. “Buku ini benar-benar merah,” kata Joko Pinurbo. Bahkan sampul novel karya Iwan Simatupang, Merahnya Merah (1968) warnanya tak sekuat baju HF. Merah menurut etnis Tionghoa membawa keberkahan. Ini simbolik.
Menurut Joko Pinurbo yang ditemui usai diskusi mengatakan, masalah jati diri itu tak sesederhana yang dibayangkan. Persoalannya acapkali pelik, sensitif dan sarat trauma etnis. Dan sekali lagi, HF dengan terang-terangan membuktikan bahwa peranakan etnis Tionghoa di Indonesia tak bisa dilepaskan dari sejarah peradaban bangsa ini. Meski, sejarah kelam pernah HF rasakan. Tentu saja, trauma yang berkepanjangan.
Sejak kecil, saya menyukai kesendirian. Memandang rumputan, memperhatikan capung meluruskan sayap seperti pesawat kecil yang meluncur ke angkasa, juga belalang yang memiliki kaki panjang untuk melompat. Saya juga menyukai warna kupu-kupu, dan seringkali membayangkan bisa terbang dengan sayap warna-warni. Begitu tulis HF dalam kata pengantar buku kumpulan puisi perdananya itu. Begitu.
Bersama aroma darah yang patut dibela
Darah keluarga
(Kepada Adik, Hanna Fransisca)
Kemunculan Hanna Fransisca (HF) di percaturan kesusasteraan Indonesia memperkokoh posisi sastra hibrida. Kumpulan puisi ‘Konde Penyair Han’ (KPH), karya HF disebut Sapardi Djoko Damono (SDD) sebagai salah satu upaya mempertontonkan bahwa sastra hibrida sudah menjadi bagian dari proses kreatif masyarakat. Dan Hanna, lewat kumpulan puisi tersebut membuktikan itu.
Buku terbitan KataKita setebal 141 halaman dengan 66 judul itu makin mendedahkan HF, bahwa etnis Tionghoa patut diperhatikan. Perempuan kelahiran Kota Seribu Kuil, Singkawang, Kalimantan Barat, 31 Mei 1979 itu seakan-akan meminta para pembaca kumpulan puisinya ikut terlibat merasakan perjalanan HF di kota kelahirannya, Singkawang.
Keahlian HF mendeskripsikan kondisi geografis Singkawang, mengingatkan kita kepada penyair Tasikmalaya, Jawa Barat, Acep Zamzam Noor. HF begitu kuat dalam hal ini. Selain itu, HF, dalam mayaoritas puisinya, tak bisa melepaskan diri dari persoalan domestik kaum perempuan, seperti memasak alias kuliner. SDD dan penyair Joko Pinurbo, yang ditunjuk sebagai pembicara diskusi peluncuran buku KPH di Gothe Haus, Gothe Institute, Jakarta pun mengamini hal itu.
Keduanya menilai, HF adalah penyair yang mampu menghadirkan sastra kuliner dengan kejam. Berkali-kali, dalam diskusi yang dimoderatori esais Agus R. Sarjono itu, berkata, HF cukup berhasil membawa pembaca masuk ke dunia yang dilukiskannya. Dunia kuliner yang tak melulu sedap dan lezat.
Menurut SDD, usai diskusi, puisi-puisi HF menyadarkan dirinya bahwa masyarakat Indonesia ini berbagai-bagai, sebagian bahkan hibrid. Dan sastra kita, kata SDD, memang hibrid, itu sebabnya sangat sehat dan jauh lebih kuat dari keadaannya sebelum menjalani penyilangan.
Sementara itu, Joko Pinurbo, seperti yang tertulis dalam pengantar yang tertera dalam agenda acara mengaku tergagap ketika kali pertama melihat warna baju buku tersebut. “Buku ini benar-benar merah,” kata Joko Pinurbo. Bahkan sampul novel karya Iwan Simatupang, Merahnya Merah (1968) warnanya tak sekuat baju HF. Merah menurut etnis Tionghoa membawa keberkahan. Ini simbolik.
Menurut Joko Pinurbo yang ditemui usai diskusi mengatakan, masalah jati diri itu tak sesederhana yang dibayangkan. Persoalannya acapkali pelik, sensitif dan sarat trauma etnis. Dan sekali lagi, HF dengan terang-terangan membuktikan bahwa peranakan etnis Tionghoa di Indonesia tak bisa dilepaskan dari sejarah peradaban bangsa ini. Meski, sejarah kelam pernah HF rasakan. Tentu saja, trauma yang berkepanjangan.
Sejak kecil, saya menyukai kesendirian. Memandang rumputan, memperhatikan capung meluruskan sayap seperti pesawat kecil yang meluncur ke angkasa, juga belalang yang memiliki kaki panjang untuk melompat. Saya juga menyukai warna kupu-kupu, dan seringkali membayangkan bisa terbang dengan sayap warna-warni. Begitu tulis HF dalam kata pengantar buku kumpulan puisi perdananya itu. Begitu.
Sastra Poskolonial Indonesia, Relevankah Diperbincangkan?
Antonio Gramsci (22 January 1891 – 27 April 1937) filsuf Italia, dan juga salah seorang penulis besar di masanya pernah menulis tentang hegemoni – salah satu tanda kemunculan poskolonialisme – dan inilah yang melahirkan konsep Gramscian. Hegemoni sendiri menurut Gramsci merupakan sebuah relasi kuasa di mana terjadi dominasi dan subordinasi, hingga tingkat bahasa, yang sejak awal menjadi ruh perbincangan para poskolonialis.
Isu di atas membentuk satu pengertian yang kini menjadi kelumrahan intelektual. Menurut Radhar Panca Dahana dalam makalah yang disampaikan dalam diskusi sastra yang diselenggarakan oleh Arena Studi dan Apresiasi Sastra (ASAS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, di Lembang belum lama ini, perjalanan dan orientasi sastra modern – jika tak dikendalikan – akan dipengaruhi secara kuat oleh kerja-kerja politik. Kerja-kerja yang menempatkan hegemoni sebagai perangkat utama keberadaannya, mekanisme yang mengalirkan kepentingannya.
Sastra modern Indonesia banyak dianggap sebagai hasil warisan dari politik etis pemerintah kolonial Belanda melalui badan bentukannya, seperti penerbit Balai Pustaka. Dan Radhar meminta pemakluman atas sejarah waris itu. “Sesama pekerja sastra, alangkah baiknya memafhumi bila dalam Balai Pustaka, banyak terdapat kepentingan-kepentingan kolonial. Mulai dari ideology, politik, ekonomi hingga budaya,” kata Radhar.
Dalam Cinta di Zaman Kolonial, Ras dan Roman dalam sebuah Novel Awal di Indonesia karya Paul Tickell, dibahas novel Matahariah karya Mas Maarco Kartodikromo. Karya tersebut mengangkat pemikiran multikulturalisme. Itu disebabkan teksnya ditulis dalam teks heteroglossic, yakni percampuran aneka bahasa, seperti Melayu, Belanda dan Jawa. Tickell menunjukkan bahwa Matahariah memiliki tema hibriditas antara gagasan-gagasan barat dan cara berfikir tokoh-tokoh pribumi yang mengungkapkan peranan ras dan gender masa itu.
Selain cerita percintaan, sastra poskolonial Indonesia juga diwarnai dengan konsep pahlawan, sekaligus wacana colonial tentang ras. Ini bisa kita lihat dalam novel Bumi Manusia, karya Pramoedya Ananta Toer yang dibahas Henk Maier. Dalam esainya yang berjudul Si Tukang Dobrak dan Pintu yang Keropos, Maier mengatakan, Bumi Manusia merupakan dongeng yang kuat sebagai titik tolak peranan pahlawan kebudayaan sekaligus simbol si tokoh, Minke, dalam peranannya melawan arus kolonialisme Belanda dan otoriter rezim Orde Baru.
Menurut Maier, Pram termasuk para pendobrak wacana kolonialisme, mengisyaratkan kebebasan gelisah tetapi menyala-nyala. Akan tetapi, ia juga mengkritik pemikiran Pram yang ditumpahkan dalam karya-karyanya, bahwa Pram hanya menceritakan sebuah dongeng dari pengalamannya, yang akhirnya terlalu fokus pada estetikisme dan otonomi serta keinginan menampung koherensi. Dan masih banyak lagi karya-karya yang mendedahkan sastra poskolonial Indonesia, diantaranya Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang, dan Belenggu. Karya-karya tersebut juga bisa dijadikan penanda sastra pascakolonialisme Indonesia.
Relevankah mengungkit sastra poskolonial Indonesia di tengah dominasi sastra modern – jika boleh disebut demikian – sebab hingga kini, kita acapkali disuguhi pelbagai macam karya sastra yang justeru mengungkit-ungkit kekelaman sejarah bangsa ini. Jadi, masih relevankah?
Isu di atas membentuk satu pengertian yang kini menjadi kelumrahan intelektual. Menurut Radhar Panca Dahana dalam makalah yang disampaikan dalam diskusi sastra yang diselenggarakan oleh Arena Studi dan Apresiasi Sastra (ASAS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, di Lembang belum lama ini, perjalanan dan orientasi sastra modern – jika tak dikendalikan – akan dipengaruhi secara kuat oleh kerja-kerja politik. Kerja-kerja yang menempatkan hegemoni sebagai perangkat utama keberadaannya, mekanisme yang mengalirkan kepentingannya.
Sastra modern Indonesia banyak dianggap sebagai hasil warisan dari politik etis pemerintah kolonial Belanda melalui badan bentukannya, seperti penerbit Balai Pustaka. Dan Radhar meminta pemakluman atas sejarah waris itu. “Sesama pekerja sastra, alangkah baiknya memafhumi bila dalam Balai Pustaka, banyak terdapat kepentingan-kepentingan kolonial. Mulai dari ideology, politik, ekonomi hingga budaya,” kata Radhar.
Dalam Cinta di Zaman Kolonial, Ras dan Roman dalam sebuah Novel Awal di Indonesia karya Paul Tickell, dibahas novel Matahariah karya Mas Maarco Kartodikromo. Karya tersebut mengangkat pemikiran multikulturalisme. Itu disebabkan teksnya ditulis dalam teks heteroglossic, yakni percampuran aneka bahasa, seperti Melayu, Belanda dan Jawa. Tickell menunjukkan bahwa Matahariah memiliki tema hibriditas antara gagasan-gagasan barat dan cara berfikir tokoh-tokoh pribumi yang mengungkapkan peranan ras dan gender masa itu.
Selain cerita percintaan, sastra poskolonial Indonesia juga diwarnai dengan konsep pahlawan, sekaligus wacana colonial tentang ras. Ini bisa kita lihat dalam novel Bumi Manusia, karya Pramoedya Ananta Toer yang dibahas Henk Maier. Dalam esainya yang berjudul Si Tukang Dobrak dan Pintu yang Keropos, Maier mengatakan, Bumi Manusia merupakan dongeng yang kuat sebagai titik tolak peranan pahlawan kebudayaan sekaligus simbol si tokoh, Minke, dalam peranannya melawan arus kolonialisme Belanda dan otoriter rezim Orde Baru.
Menurut Maier, Pram termasuk para pendobrak wacana kolonialisme, mengisyaratkan kebebasan gelisah tetapi menyala-nyala. Akan tetapi, ia juga mengkritik pemikiran Pram yang ditumpahkan dalam karya-karyanya, bahwa Pram hanya menceritakan sebuah dongeng dari pengalamannya, yang akhirnya terlalu fokus pada estetikisme dan otonomi serta keinginan menampung koherensi. Dan masih banyak lagi karya-karya yang mendedahkan sastra poskolonial Indonesia, diantaranya Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang, dan Belenggu. Karya-karya tersebut juga bisa dijadikan penanda sastra pascakolonialisme Indonesia.
Relevankah mengungkit sastra poskolonial Indonesia di tengah dominasi sastra modern – jika boleh disebut demikian – sebab hingga kini, kita acapkali disuguhi pelbagai macam karya sastra yang justeru mengungkit-ungkit kekelaman sejarah bangsa ini. Jadi, masih relevankah?
Napak Tilas Sastra Bogor
Selera bersastra Pemerintah Hindia Belanda pada masa penjajahan di Bogor, sekitar tahun 1752 cukup tinggi. Daerah peristirahatan di sisi selatan Ibukota Jakarta pun dinamai Buitenzorg – yang dalam bahasa Belanda – artinya alam ketenangan. Mengapa Buitenzorg? Sebab, pada masa itu, banyak pelancong luar negeri yang merasa nyaman dan tenang tinggal di daerah yang akhirnya bernama Bogor itu.
Mengapa saya bilang selera bersastra Pemerintah Hindia Belanda cukup tinggi? Tak lain dan tak bukan, nama Buitenzorg sungguh puitis. Alam ketenangan. Ya, inilah salah satu alasan saya berkata demikian, meski masih banyak alasan yang tak mungkin disebutkan satu per satu di rubrik ini. Dan saya pikir, alasan itu bisa diterima bersama. Alam ketenganan. Seperti sebuah judul puisi yang sengaja maupun tidak sengaja diberikan Pemerintah Hindia Belanda.
Kecurigaan asal memberikan nama pun luruh ketika saya mendengar cerita dari pelbagai sumber hal ihwal Bogor masa lalu – yang tentunya jauh dari kemacetan, kesumpekan, bising dan panas. Bogor – kata banyak orang – adalah kota dalam taman. Tentunya ini tak terlepas dari keberadaan Kebun Raya Bogor di pusat Kota Bogor. Selain itu – hingga kini – pohon-pohon berusia tua masih banyak berdiri di sepanjang Jalan Ahmad Yani hingga Sudirman. Identitas Buitenzorg makin kuat. Tapi itu dulu. Kini Bogor, khususnya Kota Bogor, jauh dari kesan Buitenzorg itu.
Bogor dengan pelbagai aktivitas masyarakat urbannya telah menyulap dirinya sendiri. Alam ketenangan yang bagi banyak penulis (cerpen, puisi, novel dan prosa) sering dijadikan tema tulisan berubah menjadi alam kesemerawutan. Dari ketenangan inilah, penulis, budayawan dan negarawan, macam Hatta, Sitor Situmorang, Taufik Ismail, Hamsad Rangkuti, Pamusuk Eneste, Maman S. Mahayana dan Hasan Aspahani lekat dengan alam di Bogor. Meski nama-nama besar itu bukan asli orang Bogor, paling tidak, ada sejarah yang menuliskan bahwa nama-nama besar itu pernah menjejakkan kaki dan kreativitasnya di Bogor – tentunya dengan ketenangan yang disajikan.
Bahkan menurut pengakuan Sitor Situmorang dalam buku catatan kepenyairannya, Bogor merupakan salah satu kota pelarian yang nyaman. Tentu saja, pelarian mencari ide untuk berkarya, khususnya karya sastra, puisi. Bagi Sitor, Bogor menghipnotis dirinya untuk terus menulis. Entah bagi yang lain, tulisnya. Bagi saya, ini adalah kesepakatan bersama, bahwa Bogor merupakan satu daerah Selatan Jakarta yang nyaman untuk berkarya, terutama karya sastra.
Berangkat dari itulah, Ruang 8 Jurnal Bogor dan Wahana Tesilik Seni dan Sastra berencana menggelar hajatan bersama bertajuk Festival Sastra Bogor 2010. Penamaan itu bukan dimaksudkan sebagai upaya gagah-gagahan dan mencari sensasi, melainkan sebagai satu bentuk usaha kelahiran iklim bersastra di Bogor. Jika menilik sejarah, warga Bogor patut berbangga diri. Pasalnya, banyak penulis besar Indonesia menjejakkan karyanya di Bogor.
Mengapa saya memberi judul tulisan ini Napak Tilas Sastra Bogor? karena menurut saya, ada sebuah keterputusan sejarah yang mesti segera dicarikan solusinya. Keterputusan itu, tak terlepas dari adanya Fakultas Sastra Universitas Pakuan (Unpak) Bogor, yang hingga kini belum nyata kontribusinya bagi kemajuan sastra di Bogor. Karya-karya – baik puisi, cerpen dan novel – yang ditelurkan mahasiswa sastra Pakuan pun tak banyak dimuat media lokal maupun nasional (jika ukurannya dilihat dari seberapa seringkah karya dimuat di media).
Festival Sastra Bogor 2010 adalah sebagian kecil upaya komunitas sastra Bogor menggeliatkan iklim bersastra di Bogor.
Mengapa saya bilang selera bersastra Pemerintah Hindia Belanda cukup tinggi? Tak lain dan tak bukan, nama Buitenzorg sungguh puitis. Alam ketenangan. Ya, inilah salah satu alasan saya berkata demikian, meski masih banyak alasan yang tak mungkin disebutkan satu per satu di rubrik ini. Dan saya pikir, alasan itu bisa diterima bersama. Alam ketenganan. Seperti sebuah judul puisi yang sengaja maupun tidak sengaja diberikan Pemerintah Hindia Belanda.
Kecurigaan asal memberikan nama pun luruh ketika saya mendengar cerita dari pelbagai sumber hal ihwal Bogor masa lalu – yang tentunya jauh dari kemacetan, kesumpekan, bising dan panas. Bogor – kata banyak orang – adalah kota dalam taman. Tentunya ini tak terlepas dari keberadaan Kebun Raya Bogor di pusat Kota Bogor. Selain itu – hingga kini – pohon-pohon berusia tua masih banyak berdiri di sepanjang Jalan Ahmad Yani hingga Sudirman. Identitas Buitenzorg makin kuat. Tapi itu dulu. Kini Bogor, khususnya Kota Bogor, jauh dari kesan Buitenzorg itu.
Bogor dengan pelbagai aktivitas masyarakat urbannya telah menyulap dirinya sendiri. Alam ketenangan yang bagi banyak penulis (cerpen, puisi, novel dan prosa) sering dijadikan tema tulisan berubah menjadi alam kesemerawutan. Dari ketenangan inilah, penulis, budayawan dan negarawan, macam Hatta, Sitor Situmorang, Taufik Ismail, Hamsad Rangkuti, Pamusuk Eneste, Maman S. Mahayana dan Hasan Aspahani lekat dengan alam di Bogor. Meski nama-nama besar itu bukan asli orang Bogor, paling tidak, ada sejarah yang menuliskan bahwa nama-nama besar itu pernah menjejakkan kaki dan kreativitasnya di Bogor – tentunya dengan ketenangan yang disajikan.
Bahkan menurut pengakuan Sitor Situmorang dalam buku catatan kepenyairannya, Bogor merupakan salah satu kota pelarian yang nyaman. Tentu saja, pelarian mencari ide untuk berkarya, khususnya karya sastra, puisi. Bagi Sitor, Bogor menghipnotis dirinya untuk terus menulis. Entah bagi yang lain, tulisnya. Bagi saya, ini adalah kesepakatan bersama, bahwa Bogor merupakan satu daerah Selatan Jakarta yang nyaman untuk berkarya, terutama karya sastra.
Berangkat dari itulah, Ruang 8 Jurnal Bogor dan Wahana Tesilik Seni dan Sastra berencana menggelar hajatan bersama bertajuk Festival Sastra Bogor 2010. Penamaan itu bukan dimaksudkan sebagai upaya gagah-gagahan dan mencari sensasi, melainkan sebagai satu bentuk usaha kelahiran iklim bersastra di Bogor. Jika menilik sejarah, warga Bogor patut berbangga diri. Pasalnya, banyak penulis besar Indonesia menjejakkan karyanya di Bogor.
Mengapa saya memberi judul tulisan ini Napak Tilas Sastra Bogor? karena menurut saya, ada sebuah keterputusan sejarah yang mesti segera dicarikan solusinya. Keterputusan itu, tak terlepas dari adanya Fakultas Sastra Universitas Pakuan (Unpak) Bogor, yang hingga kini belum nyata kontribusinya bagi kemajuan sastra di Bogor. Karya-karya – baik puisi, cerpen dan novel – yang ditelurkan mahasiswa sastra Pakuan pun tak banyak dimuat media lokal maupun nasional (jika ukurannya dilihat dari seberapa seringkah karya dimuat di media).
Festival Sastra Bogor 2010 adalah sebagian kecil upaya komunitas sastra Bogor menggeliatkan iklim bersastra di Bogor.
Mari Bergoyang
Pekan depan, Senin-Selasa (9-10/8), sastra Bogor akan bergoyang. Kenapa? Karena, pada tanggal tersebut, Kota Bogor – khususnya di Universitas Pakuan Bogor – akan digelar hajatan besar bertajuk Festival Sastra Bogor 2010. Puluhan sastrawan dan kritikus sastra, seperti Taufik Ismail, Maman S. Mahayana, Ahmadun Yosi Herfanda, Soni Farid Maulana, Jajang C. Noer, Hanna Fransiska, Dharmadi, Khrisna Pabichara dan Cunong N. Suraja bakal hadir dan memeriahkan acara persembahan ruang 8 Jurnal Bogor, Wahana Telisik Seni dan Sastra (WTS) dan Fakultas Sastra Unpak.
Acara tersebut akan diisi dengan diskusi dan apresiasi. Untuk diskusi, tema yang diusung adalah memetakan sastra Bogor di tengah-tengah dominasi dua kanon sastra, Jakarta dan Bandung. Di hari pertama, diskusi akan membahas seputar perkembangan sastra di kampus dan sekolah. Harapan diskusi tersebut untuk mencari tahu sejauhmana pengajaran sastra di kampus sastra dan sekolah-sekolah di Bogor. Pembicara untuk mengulas masalah tersebut adalah, Jafar Fakhrurozi, guru Bahasa Indonesia SMA Dwiwarna, Parung, Kabupaten Bogor dan Fatkurrahman Abdul Karim, salah seorang penggerak sastra di kampus IPB.
Diharapkan, kedua pembicara tersebut mampu membongkar tabir hitam di dunia pendidikan, khususnya di Bogor. Mengapa? Karena, hingga sekarang, Bogor belum mampu melahirkan sastrawan atau kritikus sastra yang kuat dan cukup disegani di jagat sastra Indonesia (sejenak kita lupakan nama besar Maman S. Mahayana dan Cunong N. Suraja). Semoga, dua pembicara yang bisa dibilang masih muda tersebut mampu melakukan penelisikan sehingga menemukan satu formula memajukan iklim bersastra di Bogor. Di hari pertama ini juga, akan menghadirkan beberapa pelajar dan mahasiswa untuk tampil dihadapan peserta Festival Sastra Bogor 2010. Hari pertama akan dimulai pada pukul 14.00 wib.
Di hari kedua – yang akan dimulai pukul 09.00 wib akan menghadirkan tiga pembicara yang saat ini cukup diperhitungkan di jagat sastra Indonesia, Maman S. Mahayan, Cunong N. Suraja dan Khrisna Pabichara. Ketiganya akan membahas sejarah dan perkembangan sastra di Bogor. Ini akan menarik. Sebab, peserta Festival Sastra Bogor 2010 akan mendapatkan banyak wawasan seputar sejarah sastra di Bogor yang selama ini – bagi sebagian besar generasi muda – kehilangan tempat di kalangan sebagian generasi muda Bogor.
Usai diskusi, peserta akan dimanjakan dengan launching novel Memed Gunawan, salah seorang mantan pegawai Departemen Pertanian yang kini tinggal dan menetap di Bogor. dan pembedahnya adalah, Taufik Ismail dan Ahmadun Yosi Herfanda. Tampil untuk memeriahkan acara, pembacaan fragmen novel Memed oleh Susy Ayu, dan Asrizal Nur. Di akhir acara, peserta akan dimanjakan dengan pembacaan puisi oleh sejumlah penyair, sebut saja Khrisna Pabichara, Handoko F. Zainsam, Fatkurrahman Abdul Karim, Kurniawan Junaedhi, Hanna Fransiska, Jamal D. Rahman, Dharmadi dan penampilan sejumlah penyair Bogor dari pelbagai komunitas.
Jadi, mari ikut bergoyang dan menjadi saksi kebangkitan sastra di Bogor. Yuuuukkkk Maaaaaang….Digoyang.
Acara tersebut akan diisi dengan diskusi dan apresiasi. Untuk diskusi, tema yang diusung adalah memetakan sastra Bogor di tengah-tengah dominasi dua kanon sastra, Jakarta dan Bandung. Di hari pertama, diskusi akan membahas seputar perkembangan sastra di kampus dan sekolah. Harapan diskusi tersebut untuk mencari tahu sejauhmana pengajaran sastra di kampus sastra dan sekolah-sekolah di Bogor. Pembicara untuk mengulas masalah tersebut adalah, Jafar Fakhrurozi, guru Bahasa Indonesia SMA Dwiwarna, Parung, Kabupaten Bogor dan Fatkurrahman Abdul Karim, salah seorang penggerak sastra di kampus IPB.
Diharapkan, kedua pembicara tersebut mampu membongkar tabir hitam di dunia pendidikan, khususnya di Bogor. Mengapa? Karena, hingga sekarang, Bogor belum mampu melahirkan sastrawan atau kritikus sastra yang kuat dan cukup disegani di jagat sastra Indonesia (sejenak kita lupakan nama besar Maman S. Mahayana dan Cunong N. Suraja). Semoga, dua pembicara yang bisa dibilang masih muda tersebut mampu melakukan penelisikan sehingga menemukan satu formula memajukan iklim bersastra di Bogor. Di hari pertama ini juga, akan menghadirkan beberapa pelajar dan mahasiswa untuk tampil dihadapan peserta Festival Sastra Bogor 2010. Hari pertama akan dimulai pada pukul 14.00 wib.
Di hari kedua – yang akan dimulai pukul 09.00 wib akan menghadirkan tiga pembicara yang saat ini cukup diperhitungkan di jagat sastra Indonesia, Maman S. Mahayan, Cunong N. Suraja dan Khrisna Pabichara. Ketiganya akan membahas sejarah dan perkembangan sastra di Bogor. Ini akan menarik. Sebab, peserta Festival Sastra Bogor 2010 akan mendapatkan banyak wawasan seputar sejarah sastra di Bogor yang selama ini – bagi sebagian besar generasi muda – kehilangan tempat di kalangan sebagian generasi muda Bogor.
Usai diskusi, peserta akan dimanjakan dengan launching novel Memed Gunawan, salah seorang mantan pegawai Departemen Pertanian yang kini tinggal dan menetap di Bogor. dan pembedahnya adalah, Taufik Ismail dan Ahmadun Yosi Herfanda. Tampil untuk memeriahkan acara, pembacaan fragmen novel Memed oleh Susy Ayu, dan Asrizal Nur. Di akhir acara, peserta akan dimanjakan dengan pembacaan puisi oleh sejumlah penyair, sebut saja Khrisna Pabichara, Handoko F. Zainsam, Fatkurrahman Abdul Karim, Kurniawan Junaedhi, Hanna Fransiska, Jamal D. Rahman, Dharmadi dan penampilan sejumlah penyair Bogor dari pelbagai komunitas.
Jadi, mari ikut bergoyang dan menjadi saksi kebangkitan sastra di Bogor. Yuuuukkkk Maaaaaang….Digoyang.
Antologi Cerpen dan Sebuah Novel
Buku cerita 9 Dari Nadira, karya Leila S Chudori dikatakan Maman S. Mahayana sebagai antologi cerpen dan sekaligus sebagai novel. Mengapa demikian? Karena, struktur atau kerangka kerja yang digunakan Leila, mendekati konsep cerpen dan novel. “Ini buku antologi cerpen sekaligus sebuah novel,” kata Maman dihadapan ratusan peserta Bedah Buku Sastra yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa (Hima) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Diksastrasia) FKIP Bahasa Indonesia, Universitas Pakuan (Unpak), di Ruang Serbaguna FKIP, kemarin.
Cerita yang dibangun, kata Maman – kritikus sastra yang baru saja pulang dari Korea – lekat dengan konsep novel. Fragmen-fragmen yang ada saling kait mengait. Seperti sebuah novel bukan? Nah, itulah yang menyebabkan Maman berstatmen seperti itu. Dan apa yang dikerjakan Leila melalui bukunya ini merupakan pembaruan di ranah sastra Indonesia, khususnya cerpen dan novel.
Tentu, Maman tak main-main akan hal ini. Dan sebagai seorang kritikus sastra, Maman harus berani mempertanggungjawabkannya dihadapan publik tentang statmennya tersebut. Dengan kata lain, kebaruan yang coba diusung Leila S. Chudori memang original. “9 Dari Nadira ini buku cerita yang luar biasa. Fragmennya seperti mata rantai. Itu sebabnya, saya berani katakana, ini antologi cerpen dan juga sebuah novel,” tegas Maman.
Meski Maman berkata seperti itu, Leila S. Chudori yang duduk sebagai pembicara menolak jika buku 9 Dari Nadira dikatakan sebagai antologi cerpen dan juga sebuah novel. “Saya tetap menyebut buku ini sebuah cerita. Itu sebabnya, saya tidak menuliskan di sampul buku sebagai antologi cerpen atau novel,” ujar Leila.
Kendati demikian, Leila tetap membuka diri ketika Maman menyebut bukunya sebagai antologi cerpen yang novel dan sebuah novel yang juga antologi cerpen. “Saya tak ingin mengelompokkan karya ke dalam pembagian-pembagian tertentu. Sebagai penulis, tugas saya ya, menulis. Dan pengelompokan itu adalah tugas kritikus sastra,” katanya.
Sementara itu, penyair dan esais, Jakarta Handoko F. Zainsam, menolak jika buku 9 Dari Nadira adalah pembaruan. Menurutnya, jauh sebelum Leila meluncurkan karyanya, sastra Indonesia telah memiliki cerita bersambung (cerbung). Dan Handoko menyebut buku Leila tersebut sebagai cerita bersambung. Bukan antologi cerpen yang juga sebuah novel, begitu sebaliknya.
Selain membedah buku Leila S. Chudori, buku antologi puisi penyair perempuan pendatang baru, Susy Ayu berjudul Rahim Kata-kata juga dibedah. Dosen Perbandingan Budaya FKIP Bahasa Inggris Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor, Cunong N. Suraja dan esais serta penyair, Jakarta Handoko F. Zainsam berkesempatan membedah buku tersebut.
Cerita yang dibangun, kata Maman – kritikus sastra yang baru saja pulang dari Korea – lekat dengan konsep novel. Fragmen-fragmen yang ada saling kait mengait. Seperti sebuah novel bukan? Nah, itulah yang menyebabkan Maman berstatmen seperti itu. Dan apa yang dikerjakan Leila melalui bukunya ini merupakan pembaruan di ranah sastra Indonesia, khususnya cerpen dan novel.
Tentu, Maman tak main-main akan hal ini. Dan sebagai seorang kritikus sastra, Maman harus berani mempertanggungjawabkannya dihadapan publik tentang statmennya tersebut. Dengan kata lain, kebaruan yang coba diusung Leila S. Chudori memang original. “9 Dari Nadira ini buku cerita yang luar biasa. Fragmennya seperti mata rantai. Itu sebabnya, saya berani katakana, ini antologi cerpen dan juga sebuah novel,” tegas Maman.
Meski Maman berkata seperti itu, Leila S. Chudori yang duduk sebagai pembicara menolak jika buku 9 Dari Nadira dikatakan sebagai antologi cerpen dan juga sebuah novel. “Saya tetap menyebut buku ini sebuah cerita. Itu sebabnya, saya tidak menuliskan di sampul buku sebagai antologi cerpen atau novel,” ujar Leila.
Kendati demikian, Leila tetap membuka diri ketika Maman menyebut bukunya sebagai antologi cerpen yang novel dan sebuah novel yang juga antologi cerpen. “Saya tak ingin mengelompokkan karya ke dalam pembagian-pembagian tertentu. Sebagai penulis, tugas saya ya, menulis. Dan pengelompokan itu adalah tugas kritikus sastra,” katanya.
Sementara itu, penyair dan esais, Jakarta Handoko F. Zainsam, menolak jika buku 9 Dari Nadira adalah pembaruan. Menurutnya, jauh sebelum Leila meluncurkan karyanya, sastra Indonesia telah memiliki cerita bersambung (cerbung). Dan Handoko menyebut buku Leila tersebut sebagai cerita bersambung. Bukan antologi cerpen yang juga sebuah novel, begitu sebaliknya.
Selain membedah buku Leila S. Chudori, buku antologi puisi penyair perempuan pendatang baru, Susy Ayu berjudul Rahim Kata-kata juga dibedah. Dosen Perbandingan Budaya FKIP Bahasa Inggris Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor, Cunong N. Suraja dan esais serta penyair, Jakarta Handoko F. Zainsam berkesempatan membedah buku tersebut.
Menyingkap Peta Sastrawan Bogor
Bogor tidak hanya berjuluk Kota Hujan dan kota sejuta angkot. Bogor adalah tempat berdirinya kerajaan pertama di Indonesia, Kerajaan Hindu Tarumanagara di abad kelima. Beberapa kerajaan lainnya memilih untuk bermukim di tempat yang sama dikarenakan daerah pegunungannya yang secara alamiah membuat lokasi ini mudah untuk dijadikan benteng pertahanan dari ancaman musuh.
Alm. Prof. Uka Tjandrasasmita – seorang arkeolog – pernah melakukan penelitian terkait hal tersebut. Namun hingga akhir hayatnya, keberadaan tepat dan situs penting yang menyatakan eksistensi kerajaan tersebut, hingga kini masih belum ditemukan bukti otentiknya.
Salah satu prasasti – yang diketahui berasal dari tahun 1533 – pun ditemukan. Prasasti tersebut menceritakan kekuasaan Raja Prabu Surawisesa dari Kerajaan Pajajaran – salah satu kerajaan yang paling berpengaruh di Pulau Jawa. Dan diyakini, prasasti ini memiliki kekuatan gaib, keramat dan dilestarikan hingga sekarang.
Sejarah kota ini mencatat, Pakwan yang merupakan ibukota pemerintahan Kerajaan Pajajaran diyakini dan bahkan menjadi kesepakatan bersama ada di Kota Bogor. Secara otomatis, Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja Ratu Haji I Pakuan Pajajaran) menjadikan Kota Bogor sebagai pusat pemerintahan. Prabu Siliwangi sendiri dinobatkan sebagai raja pada tanggal 3 Juni 1482.
Zaman poskolonial menulis, setelah penyerbuan tentara Banten, catatan mengenai Kota Pakwan hilang, dan baru ditemukan kembali oleh ekspedisi Belanda yang dipimpin oleh Scipio dan Riebeck pada 1687. Mereka melakukan penelitian atas Prasasti Batutulis dan beberapa situs lainnya, dan menyimpulkan bahwa pusat pemerintahan Kerajaan Pajajaran terletak di Kota Bogor.
Pada tahun 1745, Gubernur Jenderal Gustaaf Willem baron van Imhoff membangun Istana Bogor seiring dengan pembangunan Jalan Raya Daendels yang menghubungkan Batavia dengan Bogor. Bogor direncanakan sebagai sebagai daerah pertanian dan tempat peristirahatan bagi Gubernur Jenderal. Dengan pembangunan-pembangunan ini, wilayah Bogor pun mulai berkembang.
Lantas, apa hubungan semua ini dengan peta sastra di Bogor? Sejauhmana kota ini melahirkan sastrawan-sastrawan besar? Jika melihat sejarah di atas, kita, khususnya warga Bogor patut mencermati dan menggali lebih dalam potensi kota tersebut, selain menilik dari sisi ekonomi dan pembangunan fisik kota.
Terakhir. Mampukah Festival Sastra Bogor 2010 persembahan ruang 8 Jurnal Bogor, Wahana Telisik Seni dan Sastra, serta Fakultas Sastra Universitas Pakuan menjadi batu loncatan menyingkap peta sastrawan Bogor? Ini saatnya menggoyang Bogor dengan sastra.
Alm. Prof. Uka Tjandrasasmita – seorang arkeolog – pernah melakukan penelitian terkait hal tersebut. Namun hingga akhir hayatnya, keberadaan tepat dan situs penting yang menyatakan eksistensi kerajaan tersebut, hingga kini masih belum ditemukan bukti otentiknya.
Salah satu prasasti – yang diketahui berasal dari tahun 1533 – pun ditemukan. Prasasti tersebut menceritakan kekuasaan Raja Prabu Surawisesa dari Kerajaan Pajajaran – salah satu kerajaan yang paling berpengaruh di Pulau Jawa. Dan diyakini, prasasti ini memiliki kekuatan gaib, keramat dan dilestarikan hingga sekarang.
Sejarah kota ini mencatat, Pakwan yang merupakan ibukota pemerintahan Kerajaan Pajajaran diyakini dan bahkan menjadi kesepakatan bersama ada di Kota Bogor. Secara otomatis, Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja Ratu Haji I Pakuan Pajajaran) menjadikan Kota Bogor sebagai pusat pemerintahan. Prabu Siliwangi sendiri dinobatkan sebagai raja pada tanggal 3 Juni 1482.
Zaman poskolonial menulis, setelah penyerbuan tentara Banten, catatan mengenai Kota Pakwan hilang, dan baru ditemukan kembali oleh ekspedisi Belanda yang dipimpin oleh Scipio dan Riebeck pada 1687. Mereka melakukan penelitian atas Prasasti Batutulis dan beberapa situs lainnya, dan menyimpulkan bahwa pusat pemerintahan Kerajaan Pajajaran terletak di Kota Bogor.
Pada tahun 1745, Gubernur Jenderal Gustaaf Willem baron van Imhoff membangun Istana Bogor seiring dengan pembangunan Jalan Raya Daendels yang menghubungkan Batavia dengan Bogor. Bogor direncanakan sebagai sebagai daerah pertanian dan tempat peristirahatan bagi Gubernur Jenderal. Dengan pembangunan-pembangunan ini, wilayah Bogor pun mulai berkembang.
Lantas, apa hubungan semua ini dengan peta sastra di Bogor? Sejauhmana kota ini melahirkan sastrawan-sastrawan besar? Jika melihat sejarah di atas, kita, khususnya warga Bogor patut mencermati dan menggali lebih dalam potensi kota tersebut, selain menilik dari sisi ekonomi dan pembangunan fisik kota.
Terakhir. Mampukah Festival Sastra Bogor 2010 persembahan ruang 8 Jurnal Bogor, Wahana Telisik Seni dan Sastra, serta Fakultas Sastra Universitas Pakuan menjadi batu loncatan menyingkap peta sastrawan Bogor? Ini saatnya menggoyang Bogor dengan sastra.
Menghidupkan Kembali Tembok Hitam
Tembok hitam. Ya, itulah nama yang diberikan warga Bogor untuk dinding yang hingga kini kokoh berdiri di pintu masuk Botani Square, Kota Bogor. Sejak dibangun pada tahun 90-an, ‘tembok hitam’ itu menjadi saksi bisu banyaknya aktivitas kesenian yang terjadi di kota ini. Mulai dari pameran lukisan hingga aksi teaterikal kelompok teater pelajar, mahasiswa dan umum.
Pada masa lalu – dan mungkin hingga sekarang – ‘tembok hitam’ tercatat sebagai salah satu tempat ‘wajib’ bagi seniman Bogor menggelar pertunjukan atau pameran. Pernah – pada waktu itu – ada istilah di kalangan seniman Bogor : kalau belum pentas atau pameran di ‘tembok hitam’ belum disebut seniman. Istilah ini serupa dengan di kota-kota lain, macam Bandung, Jakarta, Solo, Yogyakarta dan Semarang.
Sejak geliat bisnis di Kota Bogor, khususnya yang terjadi di Botani Square, tinggi dan mencuri perhatian warga untuk hidup konsumtif, aktivitas berkesenian mulai lesu. ‘tembok hitam’ beralih menjadi area pedagang kaki lima (PKL). Sungguh, PKL telah menggusur art center itu. Bagi saya, ‘tembok hitam’ sungguh ideal disebut art center.
Bayangkan. Letaknya di pusat keramaian, di sekitar tugu kebanggaan warga Bogor, Tugu Kujang. Di pusat arus lalu-lintas yang setiap akhir pekan menyebabkan kemacetan luar biasa. Tempatnya terbuka. Artinya, ketika ada aktivitas kesenian sekecil apapun, akan dengan mudah terlihat. Dan satu lagi, akhir-akhir ini, di sekitar ‘tembok hitam’, khususnya menjelang pergantian sore ke malam, banyak dimanfaatkan warga Bogor untuk bersantai. Sungguh ideal bukan?
Namun seiring iklim perpolitikan di Bogor dan nasional kian panas, ‘tembok hitam’ kembali menjadi saksi. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi pergerakan memanfaatkan dinding tersebut sebagai papan provokasi dan saling hujat.
Visualisasinya pun bermacam-macam. Ada dengan menempel spanduk, ada pula dengan aksi demonstrasi. Ini tak bisa dihindari. Pasalnya, letak ‘tembok hitam’ sangat sentral. Dan cocok sebagai tempat menyuarakan kegelisahan.
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Diploma IPB yang bergerak di bidang fotografi, Obscura menangkap kegelisahan itu. ‘tembok hitam’ tak dibiarkan diam. Riska Hasnawaty, Ketua Obscura Diploma IPB dengan berani menggelar Pameran Fotografi bertajuk The Power of Digital Photography, hari ini, Minggu 22/8. Kata Riska, ini kali keduanya Obscura menggelar pameran fotografi di ‘tembok hitam’.
Sebanyak 40 karya hasil jepretan anggota Obscura akan dipajang di dinding itu. Tujuannya tak lain, menghasut warga Bogor untuk menghidupkan kembali public area itu. “Pameran ini baru kali pertama ada di Bogor. Kalau di kota-kota lain sih sudah sering. Jujur, saya iri dengan aktivitas berkreasi di kota lain,” kata Riska kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dan apa yang dilakukan sekarang, adalah pengulangan tahun lalu. Menurut pengakuan Riska, pameran fotografi tahun lalu menuai kesuksesan. Artinya, target menarik perhatian warga Bogor terpenuhi. “Banyak warga yang hendak masuk ke Botani Square menyempatkan diri menyimak jepretan mahasiswa Diploma IPB. Dan semoga kali ini lebih sukses dari tahun lalu,” harapnya.
Terlepas dari aktivitas yang kini digelar Obscura, saya bayangkan ada satu strategi khusus menghidupkan kembali geliat kesenian di ‘Tembok Hitam’. Ada satu rangsangan yang harus dimunculkan secara sabar dan telaten agar seniman-seniman Bogor – dari pelbagi jenis disiplin kesenian – dengan senang hati menggelar aktivitas berkesenian di area ‘tembok hitam’.
Mungkin bisa dibuat penjadwalan aktivitas. Maksudnya, ada agenda – tentunya dengan kesepakatan bersama – tetap yang harus ditaati. Program kerja, barangkali bisa dibuat. Dalam bayangan saya, setiap akhir pekan, ada aktivitas kesenian di sana. Jika sudah ada rutinitas, Bogor tak lagi mendapat julukan kota sepi aktivitas berkesenian. Bogor bakal menjadi kota barometer aktivitas kesenian. Begitu.
Pada masa lalu – dan mungkin hingga sekarang – ‘tembok hitam’ tercatat sebagai salah satu tempat ‘wajib’ bagi seniman Bogor menggelar pertunjukan atau pameran. Pernah – pada waktu itu – ada istilah di kalangan seniman Bogor : kalau belum pentas atau pameran di ‘tembok hitam’ belum disebut seniman. Istilah ini serupa dengan di kota-kota lain, macam Bandung, Jakarta, Solo, Yogyakarta dan Semarang.
Sejak geliat bisnis di Kota Bogor, khususnya yang terjadi di Botani Square, tinggi dan mencuri perhatian warga untuk hidup konsumtif, aktivitas berkesenian mulai lesu. ‘tembok hitam’ beralih menjadi area pedagang kaki lima (PKL). Sungguh, PKL telah menggusur art center itu. Bagi saya, ‘tembok hitam’ sungguh ideal disebut art center.
Bayangkan. Letaknya di pusat keramaian, di sekitar tugu kebanggaan warga Bogor, Tugu Kujang. Di pusat arus lalu-lintas yang setiap akhir pekan menyebabkan kemacetan luar biasa. Tempatnya terbuka. Artinya, ketika ada aktivitas kesenian sekecil apapun, akan dengan mudah terlihat. Dan satu lagi, akhir-akhir ini, di sekitar ‘tembok hitam’, khususnya menjelang pergantian sore ke malam, banyak dimanfaatkan warga Bogor untuk bersantai. Sungguh ideal bukan?
Namun seiring iklim perpolitikan di Bogor dan nasional kian panas, ‘tembok hitam’ kembali menjadi saksi. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi pergerakan memanfaatkan dinding tersebut sebagai papan provokasi dan saling hujat.
Visualisasinya pun bermacam-macam. Ada dengan menempel spanduk, ada pula dengan aksi demonstrasi. Ini tak bisa dihindari. Pasalnya, letak ‘tembok hitam’ sangat sentral. Dan cocok sebagai tempat menyuarakan kegelisahan.
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Diploma IPB yang bergerak di bidang fotografi, Obscura menangkap kegelisahan itu. ‘tembok hitam’ tak dibiarkan diam. Riska Hasnawaty, Ketua Obscura Diploma IPB dengan berani menggelar Pameran Fotografi bertajuk The Power of Digital Photography, hari ini, Minggu 22/8. Kata Riska, ini kali keduanya Obscura menggelar pameran fotografi di ‘tembok hitam’.
Sebanyak 40 karya hasil jepretan anggota Obscura akan dipajang di dinding itu. Tujuannya tak lain, menghasut warga Bogor untuk menghidupkan kembali public area itu. “Pameran ini baru kali pertama ada di Bogor. Kalau di kota-kota lain sih sudah sering. Jujur, saya iri dengan aktivitas berkreasi di kota lain,” kata Riska kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Dan apa yang dilakukan sekarang, adalah pengulangan tahun lalu. Menurut pengakuan Riska, pameran fotografi tahun lalu menuai kesuksesan. Artinya, target menarik perhatian warga Bogor terpenuhi. “Banyak warga yang hendak masuk ke Botani Square menyempatkan diri menyimak jepretan mahasiswa Diploma IPB. Dan semoga kali ini lebih sukses dari tahun lalu,” harapnya.
Terlepas dari aktivitas yang kini digelar Obscura, saya bayangkan ada satu strategi khusus menghidupkan kembali geliat kesenian di ‘Tembok Hitam’. Ada satu rangsangan yang harus dimunculkan secara sabar dan telaten agar seniman-seniman Bogor – dari pelbagi jenis disiplin kesenian – dengan senang hati menggelar aktivitas berkesenian di area ‘tembok hitam’.
Mungkin bisa dibuat penjadwalan aktivitas. Maksudnya, ada agenda – tentunya dengan kesepakatan bersama – tetap yang harus ditaati. Program kerja, barangkali bisa dibuat. Dalam bayangan saya, setiap akhir pekan, ada aktivitas kesenian di sana. Jika sudah ada rutinitas, Bogor tak lagi mendapat julukan kota sepi aktivitas berkesenian. Bogor bakal menjadi kota barometer aktivitas kesenian. Begitu.
“Different Soil Produce Different Crops,” kata Fang Lijun
Di Ark Galerie, Jalan Senopati Raya 92 Jakarta Selatan, tengah berlangsung Sea Drawing Exhibition, mulai 24 Juli hingga 24 Agustus 2010. Di galeri yang terintegrasi dengan kedai kopi tersebut dipamerkan karya sembilan pedrawing Asia Tenggara. Karya-karya mereka sangat menghasut. Ya, kegelisahan, realisme sosial, dan goncangan psikologis masyarakat urban menjadi kekuatan dasar sembilan pedrawing itu.
Sembilan pedrawing itu, Ahmad Zakii Anwar, Jalani Abu Hassan (Malaysia), Angie Seah (Singapore), Jose Legaspi (Philipines), J. Ariadhitya Pramuhendra, Agung Kurniawan, Dewa Gede Ratayoga, Oktianita Kusmugiarti dan Dede Wahyudin (Indonesia). Dan tak salah, ketika saya menulis judul tulisan ini, ‘Different Soil Produce Different Crops’.
Rifky Effendy, kurator pameran, memulai amatannya dengan menuliskan sejarah seni drawing di Asia Tenggara. Begini kata Rifky – seperti yang tertulis dalam katalog – praktek seni modern (drawing.red) di wilayah ini mempunyai sejarah dan perkembangan yang berbeda, walaupun pada awalnya, praktik seni rupa modern diadaptasi dari lembaga-lembaga kolonial abad 19-20. namun – masih ditulis Rifky – seringkali terkait dan bersinggungan dengan aspek-aspek kelokalan atau bentuk seni yang sebelumnya telah menjadi tradisi atau ritual sebuah budaya masyarakat, maupun dengan nilai-nilai budaya.
“Ditambah dengan perkembangan aspek ekonomi di wilayah Asia yang menjadikan karya seni rupa kontemporer sebagai komoditi yang sedang ‘dirayakan’,” kata Rifky. Tentu, Rifky tak main-main soal pendapatnya itu. Aspek ekonomi – di manapun tempatnya – menjadi salah satu pendorong perubahan, tak terkecuali karya seni.
Sejarah di Asia Tenggara sering dikatakan tidak memiliki keutuhan tema hingga masuknya peradaban industri modern, yakni selama seratus tahun terakhir. Ada tradisi yang memiliki asal-usul yang sama, namun berkembang menjadi tradisi yang khas di masing-masing wilayah sesuai dengan kebudayaan masing-masing wilayah. Hal itu menunjukkan bahwa terdapat ciri-ciri asli yang khusus dari masing-asing bangsa.
Tak luput, kesembilan pedrawing itu menunjukkan gejala perbedaan konsep pengkaryaan. Dan sekali lagi, apa yang diucapkan Fang Lijun – seorang seniman terkemuka asal China – pantas dijadikan rujukan bersama. Tanah yang berbeda pasti menghasilkan tanaman yang berbeda pula, begitu kata Fang Lijun.
Selain beda konsep, perbedaan kematangan penggalian kegelisahan pun tampak jelas. Meski sama-sama mengusung kegelisahan masyarakat urban di Ibukota, Dede Wahyudin, kelahiran 1975, yang menampilkan dua karya terbaiknya berjudul Hotel Prodea (200 x 175 cm), Charcoal on Canvas dan Lempar Batu Sembunyi Tangan (200 x 175 cm), Charcoal on Canvas terlihat lebih matang – dari segi apapun – dibanding Oktianita Kusmugiarti, kelahiran 1987 dengan dua karyanya, My Thoughts (173 x 73 cm), pen on paper dan My Day to Day Suit (173 x 73 cm), pen on paper.
Saya bukan membandingkan secara usia, melainkan dari tangkapan, penggalian dan kejelian menangkap serta membaca arah fenomena sosial disekitarnya. Saya anggap, kedua pedrawing beda generasi tersebut memiliki insting kegelisahan sosial yang sama. Cuma, karya Dede lebih terlihat garang dan padat. Dua karya drawing Dede bernuansa realisme sosial, orang-orang bergumul, berkelahi, ribut, berteriak, ada yang jumawa, perkelahian dan lain sebagainya.
Menurut Rifky, karya Dede mengartikulasikan juktaposisi persoalan tersebut dalam satu bidang. Dan Dede, kata Rifky, mampu meresponnya dengan mengolah komposisi dan gestur dari tiap elemen manusia di dalamnya sebagai bentuk-bentuk perwakilan. Sementara itu, Oktianita Kusmugiarti, pedrawing muda pendatang baru Indonesia – demikian kata Rifky – lebih bermain pada makna simbol.
Subyek pergumulan di dalam dirinya di proyeksikan melalui drawing garis yang jernih dan padat. Ketika melihat karya Okti, sapaan akrabnya, simbol-simbol gaya hidup masyarakat urban ibukota tampak jelas. Trend, kematian, kriminalitas dan pendidikan menyatu dalam satu ruang. Meski keduanya sama-sama mengusung makna simbolik, kedalaman garapan sungguh jauh berbeda. Dapat ditarik benang merah, Dede – tidak menilik dari usia – jauh lebih matang dibanding Okti dalam hal penangkapan realita sosial dan aspek-aspek disekitarnya. Untuk kesekian kalinya, ucapan Fang Lijun terbukti. Beda tanah, beda tanaman. Meski keduanya berasal dari tanah yang sama, Indonesia.
Sekarang, mari kita tilik karya perupa Malaysia, Ahmad Zakii Anwar, berjudul Reclining Figure (76 x 211 cm), Charcoal on Paper. Karya tersebut, menurut Rifky, condong ke arah seni yang formil atau akademis. Ini terlihat dari unsur subyek yang digambar tunggal dalam satu komposisi lewat gerak dan hitam-putih fotorealis. Kecenderungan tersebut, bersumber pada salah satu aspek sejarah seni rupa Malaysia tahun 1930-an.
Kata Rifky, di tahun itu lukisan naturalisme mulai dipraktekkan. Hal itulah yang mendorong munculnya karya Melayu masa depan. Tetapi Zakii, ungkap Rifky, berani membebaskan diri dari cara melukis abstraksi maupun yang terkait dengan nilai-nilai etik muslim yang dianut para pendahulunya. Jika dibandingkan dengan karya Dede dan Okti, karya Zakii susah ditangkap. Realitas karya belum tentu menjamin makna realitas.
Historiografi di Asia Tenggara pada mulanya banyak dipengaruhi oleh agama. Agama membawa bentuk seni yang berbeda. Namun semakin maju pola pikir dan kebudayaan masyarakat di Asia Tenggara membuat historiografi juga mengalami perkembangan yang pesat. Setelah Perang Dunia II dan setelah bangsa-bangsa di Asia Tenggara merdeka, mulai menyadari bahwa seni modern itu penting. Dan karya yang dipamerkan di Ark Galerie, patut dijadikan penanda kebangkitan seni modern tersebut.
Sembilan pedrawing itu, Ahmad Zakii Anwar, Jalani Abu Hassan (Malaysia), Angie Seah (Singapore), Jose Legaspi (Philipines), J. Ariadhitya Pramuhendra, Agung Kurniawan, Dewa Gede Ratayoga, Oktianita Kusmugiarti dan Dede Wahyudin (Indonesia). Dan tak salah, ketika saya menulis judul tulisan ini, ‘Different Soil Produce Different Crops’.
Rifky Effendy, kurator pameran, memulai amatannya dengan menuliskan sejarah seni drawing di Asia Tenggara. Begini kata Rifky – seperti yang tertulis dalam katalog – praktek seni modern (drawing.red) di wilayah ini mempunyai sejarah dan perkembangan yang berbeda, walaupun pada awalnya, praktik seni rupa modern diadaptasi dari lembaga-lembaga kolonial abad 19-20. namun – masih ditulis Rifky – seringkali terkait dan bersinggungan dengan aspek-aspek kelokalan atau bentuk seni yang sebelumnya telah menjadi tradisi atau ritual sebuah budaya masyarakat, maupun dengan nilai-nilai budaya.
“Ditambah dengan perkembangan aspek ekonomi di wilayah Asia yang menjadikan karya seni rupa kontemporer sebagai komoditi yang sedang ‘dirayakan’,” kata Rifky. Tentu, Rifky tak main-main soal pendapatnya itu. Aspek ekonomi – di manapun tempatnya – menjadi salah satu pendorong perubahan, tak terkecuali karya seni.
Sejarah di Asia Tenggara sering dikatakan tidak memiliki keutuhan tema hingga masuknya peradaban industri modern, yakni selama seratus tahun terakhir. Ada tradisi yang memiliki asal-usul yang sama, namun berkembang menjadi tradisi yang khas di masing-masing wilayah sesuai dengan kebudayaan masing-masing wilayah. Hal itu menunjukkan bahwa terdapat ciri-ciri asli yang khusus dari masing-asing bangsa.
Tak luput, kesembilan pedrawing itu menunjukkan gejala perbedaan konsep pengkaryaan. Dan sekali lagi, apa yang diucapkan Fang Lijun – seorang seniman terkemuka asal China – pantas dijadikan rujukan bersama. Tanah yang berbeda pasti menghasilkan tanaman yang berbeda pula, begitu kata Fang Lijun.
Selain beda konsep, perbedaan kematangan penggalian kegelisahan pun tampak jelas. Meski sama-sama mengusung kegelisahan masyarakat urban di Ibukota, Dede Wahyudin, kelahiran 1975, yang menampilkan dua karya terbaiknya berjudul Hotel Prodea (200 x 175 cm), Charcoal on Canvas dan Lempar Batu Sembunyi Tangan (200 x 175 cm), Charcoal on Canvas terlihat lebih matang – dari segi apapun – dibanding Oktianita Kusmugiarti, kelahiran 1987 dengan dua karyanya, My Thoughts (173 x 73 cm), pen on paper dan My Day to Day Suit (173 x 73 cm), pen on paper.
Saya bukan membandingkan secara usia, melainkan dari tangkapan, penggalian dan kejelian menangkap serta membaca arah fenomena sosial disekitarnya. Saya anggap, kedua pedrawing beda generasi tersebut memiliki insting kegelisahan sosial yang sama. Cuma, karya Dede lebih terlihat garang dan padat. Dua karya drawing Dede bernuansa realisme sosial, orang-orang bergumul, berkelahi, ribut, berteriak, ada yang jumawa, perkelahian dan lain sebagainya.
Menurut Rifky, karya Dede mengartikulasikan juktaposisi persoalan tersebut dalam satu bidang. Dan Dede, kata Rifky, mampu meresponnya dengan mengolah komposisi dan gestur dari tiap elemen manusia di dalamnya sebagai bentuk-bentuk perwakilan. Sementara itu, Oktianita Kusmugiarti, pedrawing muda pendatang baru Indonesia – demikian kata Rifky – lebih bermain pada makna simbol.
Subyek pergumulan di dalam dirinya di proyeksikan melalui drawing garis yang jernih dan padat. Ketika melihat karya Okti, sapaan akrabnya, simbol-simbol gaya hidup masyarakat urban ibukota tampak jelas. Trend, kematian, kriminalitas dan pendidikan menyatu dalam satu ruang. Meski keduanya sama-sama mengusung makna simbolik, kedalaman garapan sungguh jauh berbeda. Dapat ditarik benang merah, Dede – tidak menilik dari usia – jauh lebih matang dibanding Okti dalam hal penangkapan realita sosial dan aspek-aspek disekitarnya. Untuk kesekian kalinya, ucapan Fang Lijun terbukti. Beda tanah, beda tanaman. Meski keduanya berasal dari tanah yang sama, Indonesia.
Sekarang, mari kita tilik karya perupa Malaysia, Ahmad Zakii Anwar, berjudul Reclining Figure (76 x 211 cm), Charcoal on Paper. Karya tersebut, menurut Rifky, condong ke arah seni yang formil atau akademis. Ini terlihat dari unsur subyek yang digambar tunggal dalam satu komposisi lewat gerak dan hitam-putih fotorealis. Kecenderungan tersebut, bersumber pada salah satu aspek sejarah seni rupa Malaysia tahun 1930-an.
Kata Rifky, di tahun itu lukisan naturalisme mulai dipraktekkan. Hal itulah yang mendorong munculnya karya Melayu masa depan. Tetapi Zakii, ungkap Rifky, berani membebaskan diri dari cara melukis abstraksi maupun yang terkait dengan nilai-nilai etik muslim yang dianut para pendahulunya. Jika dibandingkan dengan karya Dede dan Okti, karya Zakii susah ditangkap. Realitas karya belum tentu menjamin makna realitas.
Historiografi di Asia Tenggara pada mulanya banyak dipengaruhi oleh agama. Agama membawa bentuk seni yang berbeda. Namun semakin maju pola pikir dan kebudayaan masyarakat di Asia Tenggara membuat historiografi juga mengalami perkembangan yang pesat. Setelah Perang Dunia II dan setelah bangsa-bangsa di Asia Tenggara merdeka, mulai menyadari bahwa seni modern itu penting. Dan karya yang dipamerkan di Ark Galerie, patut dijadikan penanda kebangkitan seni modern tersebut.
Buka Puisi
Filsuf Jerman, Ludwig von Wittgenstein berkata “Die Grenzen meiner Sprache bedeuten die Grenzen meniner Welt” yang dalam bahasa Indonesia berarti batas bahasaku adalah batas duniaku. Lantas apa hubungannya dengan judul tulisan ini?
Di bulan Ramadhan, seperti sekarang, istilah ‘buka puasa’ sudah sering kita dengar dan ucapkan. Hampir setiap hari menjelang adzan Magrib – tentunya dengan jam yang berbeda di setiap daerah – seluruh umat Islam melakukan aktivitas buka puasa. Entah sendiri, bersama keluarga atau bersama rekan-rekan semasa sekolah, kuliah atau rekan kantor. Istilah buka puasa tak lagi menjadi asing di telinga kita.
Lantas ‘Buka Puisi’? Apakah memiliki korelasi dengan aktivitas di bulan Ramadhan? Apakah sama dengan aktivitas buka puasa? Ya, pasti pembaca akan menanyakan korelasi judul itu dengan segudang aktivitas di bulan puasa ini.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan, puasa berarti menghindari makan, minum, dsb dng sengaja (terutama bertalian dng keagamaan); 2 n Isl salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yg membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari; saum. Jadi buka puasa adalah aktivitas membatalkan pantangan makan, minum dan lain sebagainya.
Sedangkan Puisi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan memiliki arti 1 ragam sastra yg bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait; 2 gubahan dl bahasa yg bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus; 3 sajak. Jadi, buka puisi adalah aktivitas membuka ragam sastra yang bahasanya terikat dengan pelbagai cara.
Apa jadinya jika dua aktivitas berbeda itu disatukan dalam satu momentum. Artinya, dapatkah buka puisi dilakukan waktu buka puasa? Atau sebaliknya, buka puasa sambil buka puisi.
Baru-baru ini, di Komunitas Salihara, Jakarta, digelar Mendaras Puisi. Panitia memilih 4 penyair untuk mendaraskan puisinya di hadapan penonton usai Shalat Tarawih, tepatnya pukul 20.00 wib. Keempat penyair itu, Joko Pinurbo, D. Zawawi Imron, Remy Sylado dan Acep Zamzam Noor. Keempat penyair ini dianggap panitia menggarap tradisi keagamaan tempat mereka lahir dan tumbuh, tanpa menundukkan sastra di kaki panglima agama.
Mendaras Puisi, merupakan aktivitas apresiasi sastra di bulan Ramadhan. Artinya, meski umat Islam sedang khusyuk menjalankan rukun Islam yang ketiga – puasa – aktivitas bersastra tetap berjalan tanpa mengganggu satu sama lain. Bagaimana di Bogor?
Sebagai mitra Kota Jakarta, Bogor tak mau ketinggalan. Apresiasi seni bertajuk ‘Ngabuburit Teater I’tibar’ MAN 2 Kota Bogor akan menjadi bukti bahwa di bulan Ramadhan tahun ini, aktivitas kesenian tetap ada. Acara itu akan digelar, Jumat, 3 September 2010, pukul 15.00 wib bertempat di Aula MAN 2 Kota Bogor.
Galibnya kelompok teater dimanapun berada, ngabuburit atau menanti waktu buka puasa, pasti akan diisi dengan sejumlah pertunjukan. Informasi yang saya terima, ada beberapa guru – yang jelas bukan hanya guru bahasa Indonesia dan guru seni – akan tampil membacakan puisi sembari menunggu bedug adzan Magrib. Usai parade pembacaan puisi – masih menurut informasi yang saya terima – anggota Teater I’tibar yang digawangi Neno Suhartini, guru seni budaya MAN 2 Kota Bogor tampil sebagai acara puncak. Bentuk pementasannya, masih dirahasikan, kata Neno lewat pesan singkatnya.
Menurut Neno, acara ini terbuka untuk umum. Artinya, siapa pun orangnya, bukan saja warga MAN 2 Bogor, boleh ikut atau menyaksikan apresiasi seni di bulan Ramadhan ini. Tentunya dengan tidak mengurangi pahala puasa Anda.
Saya bayangkan, buka puasa sambil berbuka puisi. Semoga tak menjadi batas dunia dan batas bahasa. Selamat Menunaikan Ibadah Puisi.
Di bulan Ramadhan, seperti sekarang, istilah ‘buka puasa’ sudah sering kita dengar dan ucapkan. Hampir setiap hari menjelang adzan Magrib – tentunya dengan jam yang berbeda di setiap daerah – seluruh umat Islam melakukan aktivitas buka puasa. Entah sendiri, bersama keluarga atau bersama rekan-rekan semasa sekolah, kuliah atau rekan kantor. Istilah buka puasa tak lagi menjadi asing di telinga kita.
Lantas ‘Buka Puisi’? Apakah memiliki korelasi dengan aktivitas di bulan Ramadhan? Apakah sama dengan aktivitas buka puasa? Ya, pasti pembaca akan menanyakan korelasi judul itu dengan segudang aktivitas di bulan puasa ini.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan, puasa berarti menghindari makan, minum, dsb dng sengaja (terutama bertalian dng keagamaan); 2 n Isl salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yg membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari; saum. Jadi buka puasa adalah aktivitas membatalkan pantangan makan, minum dan lain sebagainya.
Sedangkan Puisi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan memiliki arti 1 ragam sastra yg bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait; 2 gubahan dl bahasa yg bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus; 3 sajak. Jadi, buka puisi adalah aktivitas membuka ragam sastra yang bahasanya terikat dengan pelbagai cara.
Apa jadinya jika dua aktivitas berbeda itu disatukan dalam satu momentum. Artinya, dapatkah buka puisi dilakukan waktu buka puasa? Atau sebaliknya, buka puasa sambil buka puisi.
Baru-baru ini, di Komunitas Salihara, Jakarta, digelar Mendaras Puisi. Panitia memilih 4 penyair untuk mendaraskan puisinya di hadapan penonton usai Shalat Tarawih, tepatnya pukul 20.00 wib. Keempat penyair itu, Joko Pinurbo, D. Zawawi Imron, Remy Sylado dan Acep Zamzam Noor. Keempat penyair ini dianggap panitia menggarap tradisi keagamaan tempat mereka lahir dan tumbuh, tanpa menundukkan sastra di kaki panglima agama.
Mendaras Puisi, merupakan aktivitas apresiasi sastra di bulan Ramadhan. Artinya, meski umat Islam sedang khusyuk menjalankan rukun Islam yang ketiga – puasa – aktivitas bersastra tetap berjalan tanpa mengganggu satu sama lain. Bagaimana di Bogor?
Sebagai mitra Kota Jakarta, Bogor tak mau ketinggalan. Apresiasi seni bertajuk ‘Ngabuburit Teater I’tibar’ MAN 2 Kota Bogor akan menjadi bukti bahwa di bulan Ramadhan tahun ini, aktivitas kesenian tetap ada. Acara itu akan digelar, Jumat, 3 September 2010, pukul 15.00 wib bertempat di Aula MAN 2 Kota Bogor.
Galibnya kelompok teater dimanapun berada, ngabuburit atau menanti waktu buka puasa, pasti akan diisi dengan sejumlah pertunjukan. Informasi yang saya terima, ada beberapa guru – yang jelas bukan hanya guru bahasa Indonesia dan guru seni – akan tampil membacakan puisi sembari menunggu bedug adzan Magrib. Usai parade pembacaan puisi – masih menurut informasi yang saya terima – anggota Teater I’tibar yang digawangi Neno Suhartini, guru seni budaya MAN 2 Kota Bogor tampil sebagai acara puncak. Bentuk pementasannya, masih dirahasikan, kata Neno lewat pesan singkatnya.
Menurut Neno, acara ini terbuka untuk umum. Artinya, siapa pun orangnya, bukan saja warga MAN 2 Bogor, boleh ikut atau menyaksikan apresiasi seni di bulan Ramadhan ini. Tentunya dengan tidak mengurangi pahala puasa Anda.
Saya bayangkan, buka puasa sambil berbuka puisi. Semoga tak menjadi batas dunia dan batas bahasa. Selamat Menunaikan Ibadah Puisi.
Wajah Global Seni Rupa Kontemporer
Pop Art, Conceptual Art dan Minimal Art merupakan masa transisi dari seni rupa modern menunju seni rupa kontemporer. Penentangan pada konteks spiritual kesenimanan dan sublimasi seni lukis menyebabkan seni lukis pada awal tahun 70-an mendapatkan stigma, dan untuk beberapa saat mengalami titik nadir.
Secara perlahan, new media art menjadi salah satu harapan lahirnya seni kontemporer. Hal ini ditandai dengan penggunaan media yang tak sebatas cat minyak dan kanvas. Berbeda dengan masa seni lukis modern, seni lukis kontemporer bangkit dengan menempatkan dirinya sebagai kemungkinan medium representasional - bukan sebagai entitas esensial dan sublim seni rupa.
Pencapaiannya tak berhenti pada estetika, melainkan sudah melangkah pada pencapaian makna filosofis dengan pendalaman kontemplasi. Rifky Setiadi, salah satu perupa Bogor mengatakan, seni kontemporer – khususnya seni rupa – lahir karena banyaknya aturan baku – yang barangkali menurut sebagian besar perupa – sangat mengekang nilai-nilai eksplorasi.
“Seni rupa kontemporer muncul karena ingin menentang sesuatu yang establish. Artinya, perupa kontemporer ingin melakukan pembongkaran nilai yang sudah ada. Intinya, ketidakpuasan dan ingin eksplorasi,” kata Rifky.
Pluralitas seni rupa kontemporer menunjukkan dirinya dengan menerima setiap kemungkinan seni, baik dari segi teori, konsep, medium, material dan ruang kehadiran serta asal usul seniman. Terbukti bahwa seni rupa kontemporer semakin menunjukkan wajah globalnya.
Tentu saja tak bisa dipungkiri tetap hadirnya kekuatan-kekuatan penentu di balik praktek produksi dan konsumsi seni rupa kontemporer. Sebagai contoh, tak bisa disangkal bahwa kebangkitan seni lukis tidak lepas dari maraknya pasar seni rupa, dan itu ditandai oleh maraknya art-fair di pusat-pusat ekonomi dunia, termasuk pusat-pusat ekonomi baru.
Yang menarik, bangkitnya gambar atau lebih tepat seni gambar dalam dekade terahir ini ditengarai tidak terlepas dari kembalinya seni lukis. Seni lukis melihat peluang bahwa seni rupa kontemporer dengan kepercayaan pada pluralisme dan “apapun boleh” - tidak memiliki alasan untuk menolak eksistensi seni lukis.
Rudi, perupa asal Bojonggede yang setia memilih media pena sebagai alat lukisnya mengaku bahwa apapun yang dijadikan media adalah pilihan. Artinya, kata Rudi, kesetiaan kepada pilihan media harus dibarengi dengan eksplorasi dan kreativitas. “Dan saya nyaman menggunakan pena untuk melukis,” ungkapnya.
Dan di Bogor, geliat seni rupa kontemporer sudah jauh berjalan. Media yang digunakan pun makin beragam. Selain media – dalam arti alat – perupa Bogor pun tak kekurangan gagasan untuk memperkenalkan karyanya kepada publik – meski sampai sekarang, keberadaan mereka kurang dilirik pemegang otoritas dan masyarakat pada umumnya. Begitu.
Secara perlahan, new media art menjadi salah satu harapan lahirnya seni kontemporer. Hal ini ditandai dengan penggunaan media yang tak sebatas cat minyak dan kanvas. Berbeda dengan masa seni lukis modern, seni lukis kontemporer bangkit dengan menempatkan dirinya sebagai kemungkinan medium representasional - bukan sebagai entitas esensial dan sublim seni rupa.
Pencapaiannya tak berhenti pada estetika, melainkan sudah melangkah pada pencapaian makna filosofis dengan pendalaman kontemplasi. Rifky Setiadi, salah satu perupa Bogor mengatakan, seni kontemporer – khususnya seni rupa – lahir karena banyaknya aturan baku – yang barangkali menurut sebagian besar perupa – sangat mengekang nilai-nilai eksplorasi.
“Seni rupa kontemporer muncul karena ingin menentang sesuatu yang establish. Artinya, perupa kontemporer ingin melakukan pembongkaran nilai yang sudah ada. Intinya, ketidakpuasan dan ingin eksplorasi,” kata Rifky.
Pluralitas seni rupa kontemporer menunjukkan dirinya dengan menerima setiap kemungkinan seni, baik dari segi teori, konsep, medium, material dan ruang kehadiran serta asal usul seniman. Terbukti bahwa seni rupa kontemporer semakin menunjukkan wajah globalnya.
Tentu saja tak bisa dipungkiri tetap hadirnya kekuatan-kekuatan penentu di balik praktek produksi dan konsumsi seni rupa kontemporer. Sebagai contoh, tak bisa disangkal bahwa kebangkitan seni lukis tidak lepas dari maraknya pasar seni rupa, dan itu ditandai oleh maraknya art-fair di pusat-pusat ekonomi dunia, termasuk pusat-pusat ekonomi baru.
Yang menarik, bangkitnya gambar atau lebih tepat seni gambar dalam dekade terahir ini ditengarai tidak terlepas dari kembalinya seni lukis. Seni lukis melihat peluang bahwa seni rupa kontemporer dengan kepercayaan pada pluralisme dan “apapun boleh” - tidak memiliki alasan untuk menolak eksistensi seni lukis.
Rudi, perupa asal Bojonggede yang setia memilih media pena sebagai alat lukisnya mengaku bahwa apapun yang dijadikan media adalah pilihan. Artinya, kata Rudi, kesetiaan kepada pilihan media harus dibarengi dengan eksplorasi dan kreativitas. “Dan saya nyaman menggunakan pena untuk melukis,” ungkapnya.
Dan di Bogor, geliat seni rupa kontemporer sudah jauh berjalan. Media yang digunakan pun makin beragam. Selain media – dalam arti alat – perupa Bogor pun tak kekurangan gagasan untuk memperkenalkan karyanya kepada publik – meski sampai sekarang, keberadaan mereka kurang dilirik pemegang otoritas dan masyarakat pada umumnya. Begitu.
Mendadak Penyair
Bogor | Jurnal Bogor
Ngabuburit Baca Eja Puisi yang digelar MAN 2 Kota Bogor, Jumat (3/9) mencatatkan sejarah baru. Tak hanya bagi sekolah itu sendiri, melainkan bagi denyut nadi kesenian di Kota Bogor. Bayangkan, puluhan guru – yang notabene tak bergelut dengan dunia kesenian, khususnya pembacaan puisi – tampil membacakan puisi miliknya atau milik sejumlah penyair yang sudah diakui kualitas karyanya.
Kalimat-kalimat pesimis, kerapkali terlontar dari para pembaca puisi ketika naik ke atas panggung. ‘Berhubung saya bukan penyair, jadi harap maklum jika membaca puisinya jelek’ begitu kalimat yang meluncur dihadapan ratusan siswa MAN 2 Kota Bogor dan tamu undangan. Bagi saya, guru-guru itu tak seharusnya mengucapkan prolog seperti itu.
Sebab – jika menggunakan kacamata ilmu psikologi komunikasi – ucapan itu bisa membuat penyimak (audience) malas menyaksikan penampilannya. Penampil saja tak percaya diri, apalagi penyimak. Bahasa gaulnya, malas ah.
Kendati begitu, ada yang patut digarisbawahi dari acara tersebut. Pertama, tradisi baca, khususnya baca puisi di kalangan pendidik sudah saatnya dibangkitkan. Kedua, momentum bulan Ramadhan ternyata tak menghambat proses berkesenian di sekolah yang terbilang memiliki kegiatan pendidikan padat.
Itulah – barangkali – sejumlah alasan yang dapat dijadikan panduan bagi kita membaca aktivitas kesenian yang terjadi di MAN 2 Kota Bogor. Betapa pun, Ngabuburit Baca Eja Puisi – yang intinya adalah silaturahmi antara warga sekolah dengan penggiat kesenian di Kota Bogor – menyisakan pertanyaan. Jangan-jangan, acara tersebut hanya sebuah ceremonial. Artinya, Ngabuburit Baca Eja Puisi mendadak mencetak penyair – meski saya tahu, itu bukan tujuan utama acara tersebut.
Saya teringat tulisan Suwardi Endraswara bahwa pengajaran sastra mulai tidak sehat sejak tahun 1975. Pengajaran sastra Indonesia sudah terkena infeksi berlarut-larut karena di dalamnya terhinggapi kanker ganas. Pengajaran sastra di sekolah memang menjadi persoalan pelik yang belum menemukan obat mujarab.
Saya menganggap, Ngabuburit Baca Eja Puisi merupakan ruh dari Sastra Masuk Sekolah yang digagas Pusat Bahasa (Departemen Pendidikan Nasional) pada tahun 1999. Guru yang notabene menjadi sosok pengajar – meski bukan guru sastra – memiliki tanggungjawab besar menumbuhkan geliat bersastra (baca dan tulis) di kalangan peserta didik.
Sastra sebagai pengalaman adalah stimulus pada murid untuk bisa meleburkan diri dalam proses apresiasi sastra. Pengalaman menjadi kunci agar murid memiliki pandangan bahwa sastra itu bukan sesuatu yang asing dalam laku kehidupan. Sastra sebagai bahasa adalah kompetensi murid untuk mengekpresikan diri dalam konstruksi bahasa dengan pertimbangan estetika dan linguistic. Belajar sastra menjadi proses belajar dalam praktik bahasa. Pemahaman inilah yang membuat relasi sastra dan bahasa berada dalam wilayah ‘keromantisan yang akut’.
Bagaimanapun juga, Ngabuburit Baca Eja Puisi MAN 2 Kota Bogor merupakan manuver kesenian yang patut diperbincangkan, walaupun, Divisi Sastra Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kota Bogor (DK3B) mulai berancang-ancang menggelar forum sastra Bogor, Oktober mendatang. Langkah MAN 2 Kota Bogor bisa menjadi batu loncatan aktivitas sastra di sekolah-sekolah lain. Dan semoga, manuver-manuver yang dilakukan dan akan dilakukan tak mendadak mencetak penyair. Begitu. n Dony P. Herwanto
Ngabuburit Baca Eja Puisi yang digelar MAN 2 Kota Bogor, Jumat (3/9) mencatatkan sejarah baru. Tak hanya bagi sekolah itu sendiri, melainkan bagi denyut nadi kesenian di Kota Bogor. Bayangkan, puluhan guru – yang notabene tak bergelut dengan dunia kesenian, khususnya pembacaan puisi – tampil membacakan puisi miliknya atau milik sejumlah penyair yang sudah diakui kualitas karyanya.
Kalimat-kalimat pesimis, kerapkali terlontar dari para pembaca puisi ketika naik ke atas panggung. ‘Berhubung saya bukan penyair, jadi harap maklum jika membaca puisinya jelek’ begitu kalimat yang meluncur dihadapan ratusan siswa MAN 2 Kota Bogor dan tamu undangan. Bagi saya, guru-guru itu tak seharusnya mengucapkan prolog seperti itu.
Sebab – jika menggunakan kacamata ilmu psikologi komunikasi – ucapan itu bisa membuat penyimak (audience) malas menyaksikan penampilannya. Penampil saja tak percaya diri, apalagi penyimak. Bahasa gaulnya, malas ah.
Kendati begitu, ada yang patut digarisbawahi dari acara tersebut. Pertama, tradisi baca, khususnya baca puisi di kalangan pendidik sudah saatnya dibangkitkan. Kedua, momentum bulan Ramadhan ternyata tak menghambat proses berkesenian di sekolah yang terbilang memiliki kegiatan pendidikan padat.
Itulah – barangkali – sejumlah alasan yang dapat dijadikan panduan bagi kita membaca aktivitas kesenian yang terjadi di MAN 2 Kota Bogor. Betapa pun, Ngabuburit Baca Eja Puisi – yang intinya adalah silaturahmi antara warga sekolah dengan penggiat kesenian di Kota Bogor – menyisakan pertanyaan. Jangan-jangan, acara tersebut hanya sebuah ceremonial. Artinya, Ngabuburit Baca Eja Puisi mendadak mencetak penyair – meski saya tahu, itu bukan tujuan utama acara tersebut.
Saya teringat tulisan Suwardi Endraswara bahwa pengajaran sastra mulai tidak sehat sejak tahun 1975. Pengajaran sastra Indonesia sudah terkena infeksi berlarut-larut karena di dalamnya terhinggapi kanker ganas. Pengajaran sastra di sekolah memang menjadi persoalan pelik yang belum menemukan obat mujarab.
Saya menganggap, Ngabuburit Baca Eja Puisi merupakan ruh dari Sastra Masuk Sekolah yang digagas Pusat Bahasa (Departemen Pendidikan Nasional) pada tahun 1999. Guru yang notabene menjadi sosok pengajar – meski bukan guru sastra – memiliki tanggungjawab besar menumbuhkan geliat bersastra (baca dan tulis) di kalangan peserta didik.
Sastra sebagai pengalaman adalah stimulus pada murid untuk bisa meleburkan diri dalam proses apresiasi sastra. Pengalaman menjadi kunci agar murid memiliki pandangan bahwa sastra itu bukan sesuatu yang asing dalam laku kehidupan. Sastra sebagai bahasa adalah kompetensi murid untuk mengekpresikan diri dalam konstruksi bahasa dengan pertimbangan estetika dan linguistic. Belajar sastra menjadi proses belajar dalam praktik bahasa. Pemahaman inilah yang membuat relasi sastra dan bahasa berada dalam wilayah ‘keromantisan yang akut’.
Bagaimanapun juga, Ngabuburit Baca Eja Puisi MAN 2 Kota Bogor merupakan manuver kesenian yang patut diperbincangkan, walaupun, Divisi Sastra Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kota Bogor (DK3B) mulai berancang-ancang menggelar forum sastra Bogor, Oktober mendatang. Langkah MAN 2 Kota Bogor bisa menjadi batu loncatan aktivitas sastra di sekolah-sekolah lain. Dan semoga, manuver-manuver yang dilakukan dan akan dilakukan tak mendadak mencetak penyair. Begitu. n Dony P. Herwanto
Langganan:
Postingan (Atom)