02 Januari 2011

Bogor dalam Seni Rupa Kontemporer




Dalam sebuah buku sejarah seni rupa kontemporer Eropa, istilah Stuckisme atau gerakan stuckism banyak dijadikan rujukan gerakan kesenian kala itu. Adalah Billy Childish dan Charles Tompson yang memulai gerakan itu. Gerakan seni ini muncul sebagai reaksi dari dominasi wacana estetika dan pasar seni dari eksponen-eksponen Young British Artists (YBA).

Seperti yang tertulis dalam buku sejarah seni rupa di Inggris yang ditulis sendiri oleh Billy, dominasi YBA yang begitu besar juga didukung oleh monopoli pasar oleh dealer seni Charles Saacthi, yang ditandai oleh tersingkirnya para seniman lain yang berada di luar form mereka. Gerakan ini selain mempertentangkan persoalan dominasi YBA, monopoli Saacthi, juga menentang ideologi seni postmo dan conceptual art yang dianggap sudah terlalu establish di Inggris.

Selain itu, para stuckisme juga menyoroti permainan-permainan kotor para pejabat dan skandal di Tate Britain. Aksi mereka banyak mandapat sorotan publik terutama ketika mereka membeberkan beberapa skandal yang terjadi di seni rupa kepada dewan kehormatan seni.

Penamaan stuckism diambil begitu saja dari sebuah puisi Tracey Emin ketika mengomentari lukisan Billy Childish, pacarnya. Stuckism berasal dari kata “stuck” yang merupakan kata yang sering diulang oleh tracey emin dalam puisinya itu ” Your panting are stuck, …. Stuck! Stuck! Stuck!). Anggota yang bergabung dalam kelompok stuckisme ini disebut stuckist.

Untuk menandai keberadaannya, para stuckist ini membuatkan manifesto-manifesto yang intinya berisikan sikap mereka terhadap seni postmo dan conceptual art serta ketidakpercayaan mereka terhadap para kritikus seni dan pejabat. Manifesto pertama mereka menentang sikap anti proses dari seni postmo, pemakaian artisan, dimana seniman tidak lagi terlibat secara fisik dalam pembuatan karya seni.

Pada manifesto kedua, mereka menyatakan keinginan untuk menggusur seni postmo dengan paham remodernisme sebagai periode pembaharuan nilai spiritual seni, sosial dan kebudayaan.

***

Pameran Seni Rupa Bogor ArtSpirit 2010 di Gedung Kemuning Gading, Kota Bogor 13-19 Desember hampir luput dari perhatian banyak kalangan. Padahal, pameran tersebut merupakan peristiwa penting yang barangkali dapat menjawab pelbagai masalah aktual di Indonesia, khususnya di Bogor, seperti kegelisahan masyarakat urban sampai global warming. Isu-isu seperti itu masih layak diperbincangkan dalam seni rupa kontemporer. Dan di pameran seni rupa Bogor ArtSpirit 2010, ada sejumlah lukisan yang merefleksikan peristiwa-peristiwa tersebut.

Pameran yang dijadikan salah satu penanda kebangkitan seni rupa di Bogor ini pun digadang-gadang banyak perupa Bogor bernafas panjang. Ini tak terlepas dari tradisi berkesenian di Bogor yang sering muncul-tenggelam seiring minimnya apresiasi dari masyarakat, pun mungkin dari para senimannya sendiri. Dan pameran ini pun belum dapat disebut sebagai sebuah gerakan baru berkesenian di Bogor. Pasalnya, jauh sebelum pameran yang menampilkan 102 lukisan dari 42 lukisan, beberapa seniman, khususnya perupa Bogor pernah melakukan hal yang sama. Bahkan bisa dibilang lebih ekstrim.

Tahun 2003, beberapa seniman atau lebih tepatnya perupa Bogor menggelar pameran lukisan dan patung yang digelar di tempat terbuka. Itu artinya, kegelisahan terhadap kebijakan atau apresiasi dari pemerintah terhadap seni rupa sangat minim. Mengapa? Pameran di ruang terbuka memiliki arti perlawanan. Apa yang dilawan? Hanya perupa-perupa Bogor kala itu yang tahu. Dan ketika saya mencari tahu sebab musababnya, sebagian besar perupa yang ketika itu terlibat dalam perlawanan tersebut enggan berkomentar banyak. Entah dengan alasan apa, informasi sejarah peristiwa 2003 ditutupi.

Yang jelas tercatat dalam ingatan beberapa perupa Bogor kala itu adalah ketidakpedulian pemerintah Kota Bogor terhadap seniman Bogor, khususnya perupa. Pemerintah Kota Bogor hanya peduli terhadap seni tradisi yang menurut mereka (Pemerintah Kota Bogor.red) mampu mengangkat nama baik Kota Bogor di mata dunia. Itu hanya secuil kisah masa lalu proses berkesenian di Kota Bogor. Seiring waktu, seniman-seniman Bogor lebih banyak diam. Artinya, setiap proses kreatif sudah tidak memedulikan perhatian dan sumbangsih dari pemerintah yang entah karena apa, sengaja atau tidak, seolah menutup diri.

Dan kini, gerakan yang dimotori Himpunan Pelukis Bogor (HPB) ini, melanjutkan apa yang pernah dilakukan sebelumnya. Entah dengan orang-orang yang sama atau tidak. Tetapi, dari 42 pelukis yang ikut memamerkan karyanya, ada beberapa yang pernah terlibat dalam gerakan tahun 2003 itu, salah satunya Yana WS. Pematung Bogor ini menjadi salah satu saksi hidup perjuangan seniman Bogor menembus barikade birokrasi yang dipraktekkan pejabat Kota Bogor kala itu. Dan spirit perlawanan dan kegelisahan itu masih hidup hingga kini.

Apa yang sekarang ini dikerjakan HPB bersama Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kota Bogor sama halnya dengan yang dilakukan kaum stuckist di Inggris. Gerakan perlawanan melalui pameran menjadi satu penanda kebangkitan perupa Bogor. Pertanyaannya, mampukah HPB, melalui pameran seni rupa Bogor ArtSpirit 2010 ini mengubah kebandelan dan ketakpedulian Pemerintah Kota Bogor akan keberadaan perupa-perupa Bogor yang ternyata jumlahnya tak sedikit. Dan perlukah, HPB memaklumatkan manifesto kesenian di Bogor? Kita tunggu bersama kelanjutan program kreatif HPB. Begitu.

Tidak ada komentar: