Oleh : Dony P. Herwanto
Maret 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melawat ke Australia. Di negeri Kanguru itu, Presiden SBY disambut hangat mantan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd. Rombongan kepresidenan – waktu itu – tak menyangka jika Presiden SBY memberikan Kopi Luwak kepada Sang Perdana Menteri. Kalangan pers Australia menyebut peristiwa tersebut, Dung Diplomacy.
***
Baru-baru ini, saya menemui seorang kawan dari Jakarta di Food Life Yogya Bogor Junction. Kawan saya itu, seorang sastrawan dan pengusaha. Usahanya itu tak jauh dari dunia tulis menulis. Kawan saya itu memiliki perusahaan penerbitan. Saya mengenalnya dengan nama Handoko F. Zainsam. Nama kawan saya itu, mulai naik daun di Kota Bogor.
Beberapakali, dia sering diminta menjadi pembicara di acara-acara sastra di Kota Bogor. Selain pembicara yang handal, Kang Han, begitu kami (rekan-rekan komunitas sastra) mengakrabinya, juga cakap membaca puisi. Oh iya, dia juga seorang marketing yang handal. Tak percaya? Satu waktu, Anda harus menemuinya!
Sebagai sastrawan, Kang Han, sudah menerbitkan beberapa buku, baik puisi, naskah drama, dan novel. Buku puisi teranyarnya, Ma’rifat Bunda Sunyi. Sebagai pengusaha yang bergerak di bidang penerbitan buku, Kang Han yang memiliki penerbitan Mata Aksara dan Genta Pustaka sudah banyak membantu penulis menerbitkan buku, baik karya tunggal maupun antologi.
Sekilas, Kang Han ini, wajahnya mirip, hampir mirip dengan gitaris grup band Padi. Piyu. Ya, itu benar. Sekilas memang mirip. Rambut gondrong, kurus, tirus, dan mata yang tajam. Kebetulan, kedua orang yang dibicarakan ini berasal dari provinsi yang sama, Jawa Timur. Selain kemiripan fisik, entah kebetulan atau tidak, kedua-duanya suka sastra. Kuat dugaan, Kang Han dan Piyu Padi saudara sedarah. Ketika saya bertanya, benarkah ada hubungan saudara, Kang Han hanya mengumbar senyum seraya berkata, “Ah, kamu bisa saja,”
***
Sabtu (4/12) sore, saya memutuskan berakhir pekan di Food Life Yogya Bogor Junction. Itu pun atas rekomendasi kawan sekantor. Katanya, tempatnya nyaman dan menu-menunya tak kalah enak dengan menu masakan di restoran yang ada di Bogor. Tanpa pikir lama, saya pun tergoda mencoba tempat itu. Dan benar, apa yang dikatakan kawan sekantor saya itu.
Kebetulan juga, akhir pekan ini, saya ada janji dengan Kang Han. Rencana, ingin membicarakan satu proyek kerjasama, antara Jurnal Bogor dan penerbitan miliknya itu. Sekitar pukul 17.00 wib, saya sudah semeja dengan Kang Han. “Tempat barumu enak juga,” katanya, ketika melihat sekeliling food life ini.
Sehari sebelum pertemuan ini, kebetulan, Store Manager Yogya Bogor Junction, Endang Yudhi menyuguhi Kopi Luwak. Mendung di Kota Bogor memang pas untuk menikmati kopi termahal itu. Sebagai coff-a-holic, saya tak menyia-nyiakannya. Terimakasih Pak Yudhi.
Seperti membayar ucapan terimakasih Store Manager Yogya Bogor Junction, saya pun menawarkan Kopi Luwak kepada Kang Han. Dia menerima tawaran saya itu. Tanpa menunggu lama, saya segera memesan kopi kami, Kopi Luwak. Tak lama, pesanan pun datang. Lantas, kami menyeduhnya dengan hati-hati, sangat hati-hati.
***
Teguk demi teguk, kami menikmati Kopi Luwak di Food Life Yogya Bogor Junction. Di sela-sela tegukan, saya mendiskusikan ide Jurnal Bogor Literary Award, sebuah penghargaan kepada penulis cerpen dan puisi yang karyanya pernah dimuat di Jurnal Bogor. Kang Han menyimak dengan serius, seperti seorang ayah mendengarkan cerita dari anaknya usai pulang sekolah.
Satu per satu rencana yang sudah saya susun - jauh sebelum pertemuan ini – didengarkan dengan sesekali mengajukan pertanyaan, seperti kapan rencana itu akan dimulai, berapa banyak karya yang akan diikutkan Jurnal Bogor Literary Award, sampai jenis penghargaannya. Tapi yang jelas – karena ini murni ide saya – penghargaan itu akan berbentuk buku. Artinya, cerpen atau puisi yang saat ini ada di Jurnal Bogor akan dibukukan.
Sebagai seorang pengusaha di bidang penerbitan, dia langsung menyetujui dan tertarik dengan ide itu. Dia pun menawarkan diri menerbitkan buku kumpulan cerpen dan puisi Jurnal Bogor. Lantas, dia bertanya, “Siapa kuratornya?,” Nah, untuk yang satu ini belum bisa saya jawab. Kemudian, dia merekomendasikan beberapa nama untuk dijadikan kurator. Jika ada kurator, saya harus menyiapkan anggaran untuk honornya. Yang pasti, honor ini dalam jumlah yang tidak sedikit.
Kelak, jika buku itu terbit – rencananya – semua keuntungan penjualan akan masuk ke Jurnal Bogor. Sebab, karya-karya itu sudah menjadi hak milik Jurnal Bogor sejak dikirim penulisnya. Kemungkinan, Jurnal Bogor akan memberikan semacam bonus dari hasil penjualan itu. Kang Han pun berjanji, buku-buku itu akan masuk ke semua toko buku ternama yang ada di Indonesia.
Saya berimajinasi, ada sponsor yang mau memberikan modal untuk penerbitan buku kumpulan cerpen dan puisi terbaik Jurnal Bogor ini. Nah, sekarang adakah yang mau memberi kami modal? Semoga ini bukan seperti dung diplomacy itu. Begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar