02 Januari 2011

Reaksi dan Traumatik

Oleh : Dony P. Herwanto

Naluri-naluri dan segala jabarannya dapat dijajarkan sebagai pasangan-pasangan yang bertentangan, seperti hidup-mati, benci-cinta dan perbuatan-pasivitas. Kalau salah satu dari naluri-naluri menimbulkan kecemasan dengan mengadakan tekanan terhadap ego, baik langsung maupun melalui perantara superego, ego dapat mencoba untuk mengalihkan impuls yang ofensif itu dengan memusatkannya terhadap lawan.

Sigmund Freud mencontohkan, kalau perasaan benci orang lain, ego dapat mendorong arus rasa cinta untuk menyembunyikan rasa permusuhan itu. Kita dapat berkata, cinta menjadi pengganti kebencian tetapi ini tidak benar, karena perasaan agresif masih ada di bawah lapisan perasaan sayang.

Hasan Aspahani (HAH) – penyair yang kini tinggal di Batam – pernah menulis puisi berjudul, Bibirku Bersujud di Bibirmu – puisi yang ia bacakan di Taman Ismail Marzuki, 29 Januari 2006. Ini salah satu penggalan kalimat yang saya catat. Aku masih sabar menunggu, kau kirim tanda zikir-zikir/Semakin mendekat gemetar bibir, pada persujudan pasir/rukuk musafir, sampai mengerti isyarat ombak terakhir.

Apa yang kita dapatkan dari kutipan kalimat di atas? Ada semacam pertentangan batin yang tersembunyi dari ‘aku lirik’. Kesabaran ‘aku lirik’, merupakan satu pertentangan batin atau naluri. Menilik teori Freud, apa yang dilakukan HAH adalah upaya pembentukan reaksi. Kalimat, aku masih sabar dari penggalan di atas menjadi satu kedok yang menyembunyikan satu ketergesa-gesaan.

Menurut Freud, pembentukan reaksi adalah alat yang digunakan untuk menyembunyikan naluri dari kesadaran dengan mempergunakan lawannya. Bisa dibilang, ‘aku lirik’ berhasil menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Di sinilah, perasaan sabar yang sesungguhnya ditekan sebagai reaksi dari kemarahan atau semacam kekecewaan. Sabar sedemikian adalah palsu dan kepalsuan ini muncul akibat penekanan ego melalui perantara superego.

Sifat yang lain dari pembentukan reaksi ini adalah sifat paksaannya. Mari kita simak penggalan kalimat tersebut, Semakin mendekat gemetar bibir, pada persujudan pasir/rukuk musafir, sampai mengerti isyarat ombak terakhir. Dari penggalan tersebut, sampai mengerti isyarat ombak terakhir merupakan sifat paksaan dari pembentukan reaksi. Inilah naluri yang dijajarkan sebagai pasangan-pasangan yang bertentangan. Sabar menunggu dan memaksakan mengerti isyarat ombak terakhir.

Altruisme dapat menyembunyikan kepentingan diri sendiri, kesalahan dapat menyembunyikan kejahatan. Puisi Bibirku Bersujud di Bibirmu adalah pembentukan reaksi dari libido kekuasaan. Pertanyaannya, seberapa seringkah, HAH menyembunyikan perasaan sebenarnya itu? Proses penyembunyian perasaan inilah yang melatarbelakangi munculnya libido kekuasaan.

Bagi Freud, pembentukan-pembentukan reaksi dipergunakan baik terhadap ancaman dari luar maupun dari dalam. Seseorang yang takut terhadap orang lain, dapat memaksa diri untuk sangat ramah. Atau – kata Freud lagi – ketakutan terhadap masyarakat dapat mengambil bentuk ketaatan yang kuat terhadap tata tertib masyarakat.

Di puisi Bibirku Bersujud di Bibirmu merupakan satu bentuk ketaatan kepada masyarakat. HAH - sebagai penulis – beberapakali mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Jelas, sebagai puisi, makna kata bisa bias. Artinya, pertanyaan itu akan ditujukan kepada siapa. Berikut beberapa pertanyaan yang diajukan HAH, tanpa mengubah tipografi aslinya.

Siapa yang menangis di dermaga? Siapa menghangatkan
laut dengan airmata? Siapa yang melambai di atas palka?

Siapa yang menghentak kaki berlari ke surut samudera?
Siapa mengarak riak jadi mahagelombang maharaksasa?

Bagi saya, HAH bukan sekedar mengajukan pertanyaan-pertanyaan. HAH – menurut saya – cemas menghadapi kenyataan. Menurut Freud – dalam teori kecemasan – kecemasan tentang kenyataan adalah suatu pengalaman perasaan sebagai akibat pengamatan suatu bahaya dalam dunia luar. Bahaya adalah setiap keadaan dalam lingkungan seseorang yang mengancam untuk mencelakakannya.

Pertanyaan atau kecemasan yang diajukan HAH sangat wajar. Karena kecemasan atau ketakutan bersifat pembawaan. Artinya bahwa seseorang mewarisi kecenderungan untuk menjadi takut kalau ia berada dekat benda-benda tertentu atau keadaan tertentu dari lingkungannya.

Telah diketahui juga, ketakutan dapat membunuh seseorang. Dalam puisi ini, HAH tak mencoba membunuh orang lain. Dia membunuh perasaannya sendiri. Ya, dengan cara pembentukan reaksi dan lahirnya rasa cemas terhadap lingkungan sekitar.

Akan tetapi, kita dapat belajar untuk mengambil sikap efektif jika lonceng kecemasan itu dibunyikan. Kita lari dari bahaya atau kita berbuat sesuatu untuk meniadakannya. Kita bisa menganalisa kecemasan itu, sebelum kecemasan itu menjadi traumatik. Di puisi itu, traumatik ‘aku lirik’ terdapat dalam kalimat tanya, kenapa harus gelombang.

Kadang-kadang, pembentukan reaksi dapat memuaskan keinginan yang semula, yang terhadapnya diadakan pertahanan. Calvin S. Hall dalam bukunya Kecemasan Perpisahan, mengatakan, seorang ibu takut mengakui bahwa ia membenci anak-anaknya mungkin demikian banyak mencampuri kehidupan mereka di bawah alasan sangat memikirkan kesejahteraan dan keselamatan mereka, sehingga perlindungan yang berlebih-lebihan ini sebenarnya adalah bentuk hukuman.

Pembentukan reaksi dalam puisi Bibirku Bersujud di Bibirmu adalah satu penyesuaian yang irasional terhadap kecemasan. Sikap ini mempergunakan energi untuk tujuan-tujuan yang bukan sebenarnya. Bibirku Bersujud di Bibirmu adalah sikap HAH untuk mengaburkan kenyataan. Begitu.

Pada akhirnya, Aku semakin tak sanggup. Dengar. Dendang itu semakin sayup*

*) Diambil dari puisi Hasan Aspahani berjudul Bibirku Bersujud di Bibirmu

Tidak ada komentar: