22 November 2007

Ketika Teater "Tidak Bergerak"


PADA dasarnya, teater merupakan sebuah perkawinan spiritual yang diciptakan oleh setiap personality yang masuk dan terlibat di dalam lingkaran proses pencarian makna untuk pemanggungannya, yang kemudian membuatnya bermakna. Tentu saja perkawinan ini memiliki tujuan yang mulia yakni sebuah pemuaian gagasan hingga melahirkan suatu bentuk bahasa ungkap pertunjukan, yang pada akhirnya melakukan tindakan lalu menganalisisnya.

Perkawinan spiritual ini tidak begitu saja terjadi dan berlangsung dengan mudah, melainkan harus melewati sebuah tahap pencarian rekoleksi teks atau artistik yang punya daya personal. Ketika pertemuan itu terjalin, semua kepentingan berjalan menuju sebuah titik pertemuan (pengharapan), akibatnya teater sebagai sebuah pertunjukan akan semakin mewujud dalam bentuk yang sesuai dengan komitmen dan konsekuensi yang riil. Sebuah score miniature berupa bentuk visual, ideogram, ataupun tanda akan muncul dalam prinsip ekspresi yang disepakati.

Pencapaian teater modern yang ada di lingkungan kita ini sekarang sebenarnya merupakan rangkaian pekerjaan yang belum tuntas. Tetapi rangkaian kerja yang masih harus terus dikerjakan kembali tanpa henti. Pencapaian kerja artistik bukan hal yang begitu saja selesai dalam kurun pementasan belaka, namun masih terus harus dihidupkan dalam produk pengalaman yang sifatnya personal. Maka kenyataannya, teater modern membutuhkan kreator-kreator yang punya lapangan ideogram untuk mencipta teater modern yang luas tanpa henti. Di sinilah tepatnya makna perkawinan yang terjadi dalam peristiwa teater modern, sebuah kontak lahir batin para pekerja teater yang melahirkan pencapaian spiritual pementasan dalam bentuk pertunjukan.

Perumpamaan di atas mungkin tepat untuk menggambarkan apa yang dilakukan oleh Teater LUGU fak. Psikologi UMS dengan garapan terbarunya berjudul "Rimba Cermin-Cermin (Serigala)" karya Z. Pangaduan Lubis yang dipentaskan pada 0800507 di Hall gedung C FKIP UMS. Walhasil, pementasan ini memberikan satu tawaran tafsir teater yang cukup menarik dari tafsir pemanggungannya. Perkawinan spiritual personal dari perempuan hadir dan menjelma dalam panggung yang memakan waktu kurang lebih 60 menit.

Pertunjukan teater LUGU ini memberikan satu gambaran filosofis tentang kegelisahan manusia yang sangat sederhana.

Pengungkapan bahasa panggung sederhana yang ditampilkan oleh Teater LUGU tidak mengurangi esensi teks yang dijadikan kendaraan imajinasinya. Naskah "Rimba Cermin-Cermin" ini memberi peluang yang cukup unik, bagi gaya pemanggungannya. Karena pada realitas pertunjukannya karikatural yang lucu hadir dan bisa membawa penonton untuk berfikir. Rasa mengharukan dari sisi kemanusiaan pun muncul. Memang pertunjukan teater "LUGU" ini menggambarkan bagaimana perbedaan perempuan utuh dan tak utuh. Pertemuan itu bisa memberikan satu ruang kekayaan dialog dan kebebasan personal mereka, walaupun akhirnya tidak akan bisa menyatu.

Namun kehadiran pertunjukan teater LUGU masih terlihat jauh dari sempurna. Dony P. Herwanto sebagai sutradara kurang berani menampilkan sesuatu yang jauh lebih hebat. Panggung tampil alakadarnya, terbungkus layar hitam. Di sini tidak tampak proses penghadiran artistik yang menggambarkan satu rangkaian tempat kejadian/peristiwa yang bisa memberikan kesan suram untuk pertunjukan tersebut.

Bogor, 231107

Tidak ada komentar: