14 November 2008

Hasan Aspahani, Reinkarnasi Sapardi dan Sutardji

Ada Sapardi Djoko Damono (SDD) di diri penyair Batam Hasan Aspahani (HAH). Itu kesan kali pertama ketika membaca sajak berjudul Malam Membimbingku Menjabat Tanganmu, salah satu puisi yang ditempatkan diawal dari kumpulan puisi Lelaki yang Dicintai Bidadari, terbitan Bookerfly yang di dalamnya memuat 78 puisi karya HAH yang sengaja atau tak sengaja lupa menuliskan tahun dan tanggal pembuatan puisi-puisi itu.

SDD yang dikenal lewat kekuatan daya cipta kata dan kesadaran akan realita yang tinggi seakan melekat di setiap goresan tinta dan imaji yang dituangkan HAH. Sajak pembuka yang mengambarkan tentang proses pencarian akan-Nya sama percis dengan bunyi dan gaya bahasa serta penulisan sajak SDD berjudul Aku Ingin. Coba tengok gaya bahasa yang ditampilkan SDD dalam puisi berjudul Aku Ingin:

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

(Sapardi Djoko Damono, Aku Ingin)

Kemudian lihat karya HAH berjudul Malam Membimbingku Menjabat Tanganmu:
Aku ingin belajar pada malam
bagaimana membisikkan suara
yang lebih lirih daripada sepi

: malam mengajariku mengucapkan cinta
lewat mimpi-mimpimu
.
(Hasan Aspahani, Malam Membimbingku Menjabat Tanganmu, Lelaki yang Dicintai Bidadari)

Dua sajak itu mencoba mengisahkan tentang usaha atau upaya mencapai kesempurnaan. SDD lebih kepada kesempurnaan cinta dan HAH mengejar kesempurnaan tentang kesunyian. Tapi inti dari pencapaian itu sama, yakni mencari yang sempurna. Meski kedua penyair ini berbeda generasi, namun untuk urusan daya imaji SDD dan HAH patut disejajarkan. Paling tidak untuk kini.

Kekuatan daya cipta HAH berangkat dari kemampuannya membuat komik strip sejak kecil. Ketika membaca beberapa puisi HAH, baik itu di blogspot, antologi puisi Orgasmaya, Telimpuh dan Lelaki yang Dicintai Bidadari seolah kita sedang membaca satu cerita bergambar yang amat menarik.

Buktinya, dalam setiap kata yang dia susun menjadi kalimat tak luput dari kehidupan nyata. Kesadaran HAH akan ruang dan waktu, membantunya mencipta satu karya yang fantastis. Keberanian HAH mengolah kata merupakan hasil reka ulang dari proses membaca karya sastra asing. Artinya, referensi yang diperoleh bukan saja lewat pemaknaan realita melainkan pemaknaan bahasa. Yang dalam hal ini dia dapatkan dari beberapa buku kumpulan puisi karya penyair Amerika dan Eropa, khususnya Spanyol.

Selain ada SDD dalam diri HAH, kredo sang presiden penyair Sutardji Calzoum Bachri (SCB) pun dia bawa dalam tas berisi jutaan kata-kata yang siap ditata apik menjadi satu tumpukan kalimat. ’Bebaskan kata dari maknanya’, satu kredo dari SCB rupanya menguntit di setiap lekuk sajaknya.

Inilah sajak yang dimaksud itu:

AKU mau jadi sebuah huruf,
sebuah konsonan yang hidup,
menyelinap di antara abjadmu
.
(HAH, Menyelinap di Antara Abjadmu, Lelaki yang Dicintai Bidadari)

Dari sajak di atas, HAH berhasil melepaskan diri dari makna yang sederhana. Permainan kata dan makna tampak jelas. Anehnya, HAH tak terjebak dengan pola itu. Di negeri ini, tak banyak penyair yang berani mengubah struktur pakem. Meski tampak sederhana, HAH mampu menghadirkan sesuatu yang luar biasa.

Seperti kredo puisi yang diucapkan SCB, demikian bunyinya:

Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.


Rupanya, HAH paham betul akan makna bebas dan kata adalah pengertian itu sendiri. HAH benar-benar unik, dia lahir di zaman yang tepat. Zaman dimana semua orang masih memercayai kata sebagai pengantar.

Meski dia bukan Sapardi Djoko Damono, bukan pula Sutardji Calzoum Bachri, tapi HAH berhasil menghidupkan karakter mereka di alam imaji. HAH dengan bebas memungut setiap kata yang memang sudah lama dia simpan di alam pikirnya, dan ketika kata itu dibutuhkan, maka kapan saja HAH dengan mudah memungutnya, seperti pemulung.

Satu hal yang perlu digaris bawahi, yakni kumpulan puisi Lelaki yang Dicintai Bidadari sangat nikmat dibaca sambil minum kopi di sore hari dan sesekali mendengarkan cericit burung dan desau angin, dan sesekali pula memejamkan mata serta menguatkan indera pendengaran untuk mendengarkan bebisik kata yang disampaikan kata kepada angin yang menjadikannya senja.

Buitenzorg

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Kueren nh, Ajarin bikin puisi dunk Bozzzz