01 April 2008

Sastra Sebagai Nenek Moyang Kesenian

Bogor, Jurnal Bogor

Minat siswa untuk belajar sastra khususnya sastra Indonesia ternyata kurang menarik perhatian. Keengganan belajar sastra sama artinya menjauhkan siswa dengan olah rasa. Selain itu,
Minat belajar sastra sangat kecil karena tidak ada peluang bagi siswa untuk membuka pengalaman baru. “Pelajaran sastra juga tidak mampu memberi perhatian besar kepada kegiatan mencipta di kalangan siswa,” kata Atang Supriatna S.Sn, dosen sastra Universitas Pakuan kepada Jurnal Bogor, kemarin.
Menurut Atang, tertutupnya ruang sastra dikalangan siswa membuat sastra lokal atau daerah luntur. “Indonesia puya kekayaan sastra yang melimpah, tergantung dari siapa yang mengolahnya. Jika tak bisa mengolah, maka kekayaan sastra akan hilang,” ungkap alumnus STSI Bandung jurusan karya cipta itu.
Diakui Atang, dengan mempelajari karya sastra daerah atau lokal merupakan bagian dari studia humanistis. Sastra daerah menekankan kepada upaya meluhurkan martabat manusia dan keberadaan istimewa manusia dalam alam semesta.
“Dari sastralah nilai-nilai kemanusiaan diperoleh. Tapi paradigma yang salah telah membuat anak malu untuk belajar sastra,” ucapnya, seraya menegaskan, mereka malu dibilang cengeng dan sok romantis.
Atang menilai, keterbatasan guru untuk menyisihkan waktu membimbing siswa menjadi indikator hilangnya gairah bersastra pada anak. “Sastra sebaiknya diperkenalkan sejak dini, seperti memberi kebebasan pada anak untuk membuat karangan,” paparnya.
Selain itu, lanjut dia, sastra sebagai nenek moyang bagi kesenian serta berbanding lurus dengan kebudayaan menjadi tonggak kejayaan khasanah kesusastraan tanah air. “Peninggalan nenek moyang harus dipertahankan demi keutuhan bangsa ini,” imbuhnya.
Generasi muda sekarang, imbuhnya, nyaris enggan mendalami sastra lokal atau daerah, apalagi mengenal filsafat moral maupun sejarah. Diakui Atang, kebanyakan siswa hanya menghafalkan definisi puisi atau jenis sastra tanpa mau mengekploitasi karya-karya agung.
“Memang ada beberapa sekolah dasar sampai sekolah menengah atas yang melengkapi kekurangan itu lewat ekstrakurikuler. Para siswa diajak mendiskusikan karya sastra dalam kelompok kecil dan diajak memahami nilai kemanusiaan yang diusung,” ungkap koreografer kahot itu.
Terkait dengan belajar sastra sejak dini, diakui Atang, membuat anak punya budi pekerti dan sopan santun pada sesama. “Dengan belajar sastra, anak akan belajar tentang lingkungan dan cara merawatnya,” tegasnya.
“Belajar sastra hanya bagian kecil dari upaya membangun generasi humanis, tetapi perannya dalam dunia pendidikan cukup besar. Tinggal bagaimana itikad para pembuat kebijakan pendidikan,” paparnya.
Fakta bahwa siswa enggan belajar sastra harus disikapi serius. Perlu dicarikan jalan keluar, agar siswa itu belajar sastra. “Beberapa sekolah di Bogor yang rutin mendatangkan para sastrawan, merupakan jalan keluar yang bisa dipilih. Sastra memang patut masuk sekolah. Kita patut prihatin jika generasi muda tumbuh tanpa sifat humanis itu,” imbuhnya.

Tidak ada komentar: