Menyikapi Kemunculan Batik Bogor
Cibinong | Jurnal Bogor
Batik merupakan hasil seni budaya yang memiliki keindahan visual dan mengandung makna filosofis pada setiap motifnya. Pada zaman kerajaan, batik digunakan untuk membedakan status, baik raja, ratu, pangeran, abdi dalem hingga masyarakat di luar lingkungan kerajaan.
Banyaknya makna filosofis yang terkandung dalam setiap goresan canting ke kain, menjadikan batik sulit dikerjakan dalam hitungan minggu atau bulan. Sebab, pemaknaan yang dalam memberikan tempat tafsir atas motif batik yang digunakan.
Kata batik berasal dari Bahasa Jawa yakni amba yang artinya menulis dan titik. Jadi bisa dikatakan bahwa batik adalah upaya menuliskan titik-titik di atas sehelai kain dengan pemaknaan akan simbol.
Penciptaan karya seni, khususnya batik memang bukan dominasi Kota Solo, Yogyakarta, Pekalongan dan Cirebon. Semua daerah berhak memiliki karya seni tersebut. Sebab, batik merupakan wujud hasil proses budaya. Secara sadar, penciptaan karya seni itu kadang-kadang menampakkan kewenangan di tiap-tiap daerah yang memiliki kultur sejarah kerajaan yang kuat, macam Solo, Yogyakarta dan Cirebon.
Di tiga kota inilah, batik muncul sebagai salah satu proses kreatif manusia yang didasarkan kepada sebuah simbol daerah itu sendiri. Karya-karya ini lahir sebagai akibat dari sistem sosial budaya yang menuntut adanya status sosial.
Jika menilik upaya Rukoyah Suswoyo, penggagas Batik khas Bogor yang mulai diperkenalkan kepada khayalak ramai saat Hari Jadi Bogor (HJB) ke-527 di Bogor Nirwana Residence (BNR), Kamis (4/6) lalu itu, sedikit banyak mengubah arah kultur sejarah batik. Pasalnya, simbol atau corak yang diangkat Rukoyah hanyalah sebatas pengangkatan ciri khas Bogor, seperti kujang, kijang dan variasi-variasi bunga teratai.
Dengan gagasan Rukoyah meluncurkan batik Bogor yang diberi merk Tradisiku, stigma bahwa batik penuh dengan nilai-nilai filosofis tingkat tinggi dan penanda status sosial serta fungsi penggunaannya hilang. Sebab, menurut Rukoyah, pembuatan batik Bogor itu hanya sebatas mengharumkan nama Bogor. Tak lebih. Padahal batik adalah karya seni purba dengan tingkat kesulitan dan pemaknaan yang tinggi.
Bisa dikatakan, Rukoyah tidak berupaya memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengenal batik karyanya dari sisi filosofi melainkan sekedar menunjukkan bahwa simbol yang dipakai merupakan ciri khas Bogor. Lantas apa bedanya dengan yang dilakukan negara tetangga kita, Malaysia, ketika mereka mengklaim bahwa batik adalah milik mereka?
Jika kita teliti lebih dalam, kesalahan itu ada pada kekurang konsistenan kita memertahankan simbol yang ada di dalam batik itu sendiri (terlepas dari unsur fashion tentunya). Seandainya mampu memertahankan simbol, upaya pengklaiman batik sebagai hasil budaya bisa diminimalisir. Paling tidak, ada nilai-nilai sejarah yang itu semua tak bisa diklaim. Menurut hemat penulis, biarlah batik tetap menjadi identitas Surakarta, Pekalongan, Yogyakarta, Mojokerto dan Cirebon. Sebab, di kota-kota inilah tumbuh sejarah batik dengan pemaknaan filosofi yang tinggi. Dan mustahil diikuti negara atau kota lain.
Dalam buku Budaya dan Masyarakat, Kuntowijoyo dengan tegas mengatakan bahwa perubahan kebudayaan dan tata nilai di masyarakat disebabkan karena adanya tuntutan pasar. Ini artinya, Batik Bogor bukanlah usaha untuk mengembalikan identitas bangsa. Melainkan tuntutan pasar dan mode (fashion). Dengan kata lain menggunakan peluang perkembangan zaman.
Kenapa Rukoyah hanya mengangkat corak kijang, kujang dan bunga teratai? Jika alasannya ciri khas Bogor, mengapa tidak sekalian memasukkan angkutan kota atau hujan (sebutan Kota Hujan) ke dalam batik buatannya? Toh keduanya juga ciri khas Bogor yang sudah mendunia.
Inilah alasan penulis menggunakan judul degradasi simbol dan dominasi mode. Bukan berarti, Rukoyah menghilangkan simbol sebagai tempat tafsir masyarakat dalam batik karyanya. Sebab, kujang, kijang dan teratai juga simbol. Tapi Rukoyah yang bukan asli warga Bogor lupa bahwa batik tak sekedar mengangkat ciri khas kota tempat batik berasal.
Misalnya, Solo (Surakarta.red). Batik khas Solo yang dibuat di daerah Laweyan, salah satu tempat berdirinya Syarekat Dagang Islam pada tahun 1912 itu justeru tak memasukkan ciri khas Kota Solo. Para pembatik di kawasan Laweyan malah memasukkan karakter-karakter atau pola tingkah laku masyarakat Jawa yang santun. Ini bisa kita lihat dari pemilihan warna dan tebal tipis coraknya.
Inilah perbedaan yang dimaksudkan itu. Simbol yang dijadikan corak tak sekedar apa yang ada di daerah itu saja, melainkan apa yang menjadi kebiasaan dan adat istiadat setempat.
Semoga apa yang telah dilakukan Rukoyah dengan produk Batik Bogor mampu menunjukkan bahwa Indonesia kaya akan hasil budaya, khususnya batik. Ini satu nilai plus menangkal pengklaiman karya purba tersebut.
Dony P. Herwanto