01 Oktober 2010

Pelukis Jalanan dan Kota Bogor

Ambisi Kota Bogor untuk menjadi kota metropolis telah mengubur impian sebagian besar seniman lukis, khususnya pelukis jalanan yang mengatasnamakan kelompoknya GSJ (Galeri Sisi Jalanan). Impian memiliki galeri atau ruang-ruang pameran, kalah pamor dengan pelbagai bangunan-bangunan mewah dan program yang belum jelas arahnya.

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Istilah inipun lekat dalam setiap jengkal langkah para pelukis yang saban hari menggelar karya di pinggir jalan, tepatnya di samping Kantor Pos, Jalan Juanda, Kota Bogor. Kondisi tersebut jelas bertolakbelakang dengan penjual bunga, yang dengan penuh perhatian, diberi tempat istimewa. Sungguh ironis. Padahal, seni lukis bisa menjadi salah satu aset wisata yang bisa dibanggakan.

Saat ini, seni lukis pinggir jalan adalah fenomena kota. Bentuk seni lukis ini, yang umumnya menggambar potret atau menyalin potret-potret orang terkenal, apakah kaum selebritis ataupun tokoh-tokoh negara, hidup di tengah hiruk pikuk kota metropolitan dengan kecongkakannya. Berbeda dengan pertumbuhan sebagian seni lukis atas yang sibuk dengan “nilai-nilai”, seni lukis pinggir jalan berhadapan dengan realitas sehari-hari pelakunya, dan kebutuhan-kebutuhan praktis konsumennya.

Dalam menjalani kegiatan sehari sebagai pelukis pinggir jalan, tak jarang persoalan yang mereka hadapi seperti pengalaman para pedagang di kaki lima yang senantiasa terancam oleh petugas ketertiban umum. Namun di sisi lain, mereka juga sering berhadapan dengan para pembeli atau konsumen dari kalangan pejabat-pejabat penting yang memesan lukisan dari mereka.

Sebagai pelukis pinggir jalan, mereka senyatanya adalah seniman pinggiran yang tentu kurang mendapat tempat di galeri-galeri di pusat-pusat kota yang kian hari kian marak pertumbuhannya. Padahal, jika kita mau meluangkan perhatian mengkaji teknik dan semangat kerja yang mereka tuangkan, banyak karya-karya mereka yang tidak kalah kuatnya dari segi teknik dari karya-karya pelukis modern lainnya.

Selain itu, sebagai pelukis yang memiliki kemampuan yang memadai, mereka dapat memandang hidup secara lebih realistis dan bijak. Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka membuat lukisan “pesanan”, namun dalam waktu luangnya, mereka membuat karya-karya yang lebih memperlihatkan ungkapan “bebas” mereka sebagai pribadi.

Minimnya ruang pameran di Kota Bogor diakui R. Manggala, pelukis jalanan yang sudah lima tahun menggelar hasil kreativitasnya di pinggir jalan. “Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor kurang peduli dengan kami. Meski dibiarkan menggelar lukisan di pinggir jalan, itu bukan berarti, mereka (Pemkot.red) peduli dan perhatian dengan aktivitas kami. Sudah selayaknya, Kota Bogor memiliki ruang pameran,” ujar Manggala kepada Jurnal Bogor, kemarin.

Menurut pengakuan Manggala, beberapa tahun yang lalu, GSJ pernah berniat menemui Walikota Bogor, Diani Budiarto. Namun, lagi-lagi, sistem birokrasi memupuskan harapan mereka bertemu langsung dengan Walikota Bogor. Keinginan menyampaikan aspirasipun kandas di tengah jalan. “Dulu jumlah kami delapan orang. Kami berniat menemui Walikota. Tapi sayang, birokrasi menghalangi kami menemui orang nomor satu di Kota Bogor ini,” ungkap pelukis yang mentasbihkan diri menggeluti lukis potret itu.

Terlepas dari suara hati pelukis jalanan, agenda-agenda kebudayaan atau apresiasi kesenian pun jarang terlihat. Prioritas untuk agenda kesenian yang besar, justru lahir dari pelbagai kantung-kantung kesenian dan kebudayaan. Inipun tak sertamerta mendapatkan dukungan penuh dari pihak-pihak terkait.

Kendati tak mendapatkan perhatian dari pemerintah, Manggala dan rekan-rekan sesama pelukis tak surut semangat mengenalkan karya-karya di pinggir jalan depan BCA, Jalan Juanda. Baginya, melukis di jalanan memiliki kepuasan tersendiri, terlepas dari keinginan memiliki galeri dan ruang pameran khusus yang memajang karya-karya pelukis Bogor yang saat ini lebih banyak menggelar pameran di luar kota.

Di GSJ ini, hampir semua pelukis memilih jalur lukis foto yang dikemas dengan karikatur. Pasalnya, menurut Manggala, lukis foto lebih diminati sebagian besar warga yang kebetulan lalu-lalang di sekitar Kantor Pos Kota Bogor. Tak jarang, banyak wisatawan mancanegara memesan lukisan kawan-kawan GSJ.

Sejujurnya, dari lubuk hati terdalam, Manggala dan kawan-kawan tak ingin menggelar karya di pinggir jalan. Tapi apa mau dikata, keterbatasan fasilitas dan perhatian pemerintah terhadap kemajuan seni budaya sungguh minim. Perhatian pemerintah yang tampak terlihat adalah ketika Kota Bogor kedatangan tamu asing atau pemerintah daerah lain.

Mereka sibuk menyiapkan diri dan merias tempat-tempat yang sekiranya bakal dikunjungi tamu-tamu tersebut. Segala bentuk kesenian yang dimiliki ditampilkan. Ini sekedar gagah-gagahan atau memang sudah menjadi tradisi? Usai tamu meninggalkan Kota Bogor, perhatian pemerintah kepada seniman turut pergi. Inilah yang saat ini terjadi di Bogor. Pemerintahnya lebih asik membangun pusat-pusat perbelanjaan dan mengusir pedagang kaki lima serta anak jalanan. Inilah wajah Kota Bogor.

Sebagai kota tujuan wisata, sudah sepantasnya pemerintah memerhatikan hal-hal tersebut. Sebab, ruang pameran atau galeri-galeri mampu mendatangkan pengunjung yang fanatik, baik dari luar Kota Bogor maupun dalam kota. Pertanyaannya, beranikah Pemerintah Kota membangun satu ruang pameran yang mampu menampung karya-karya pelukis lokal?

Tidak ada komentar: